JENIS-JENIS CAIRAN RESUSITASI

JENIS CAIRAN RESUSITASI

Secara umum, terdapat variasi dalam praktik klinis yang berkaitan dengan pemilihan cairan resusitasi. Pemilihan cairan resusitasi, sebagian besar ditentukan oleh pilihan dokter yang berdasarkan pada protokol institusi masing-masing, ketersediaannya, biaya, dan pemasaran komersil. Dokumen konsensus tentang penggunaan cairan resusitasi telah dikembangkan terutama pada populasi pasien tertentu, tetapi rekomendasi tersebut didasarkan pada pendapat ahli atau bukti klinis yang berkualitas rendah. Tinjauan sistematis dari studi acak terkontrol secara konsisten menunjukkan bahwa resusitasi dengan satu jenis cairan mengurangi risiko kematian atau satu jenis cairan lebih efektif dan lebih aman.

Albumin

Albumin manusia (4-5%) dalam NaCl menjadi pilihan dari larutan koloid. Larutan ini dihasilkan oleh fraksinasi darah dan dipanaskan untuk mencegah transmisi dari virus patogen. Namun albumin mahal untuk diproduksi dan didistribusikan, serta ketersediaannya terbatas di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.
Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers mempublikasikan suatu perbandingan efek albumin dengan larutan kristaloid pada pasien hipovolemia, luka bakar, atau hipoalbuminemia dan menyimpulkan bahwa pemberian albumin dapat meningkatkan risiko kematian (risiko relatif, 1,68; interval kepercayaan 95% [CI], 1,26-2,23; P<0 nbsp="" span="">

Terlepas dari keterbatasannya, studi ini menyebabkan kegelisakan yang cukup besar, terutama di negara-negara yang sebagian besar menggunakan albumin untuk resusitasi.
Akibatnya, para peneliti di Australia dan Selandia Baru melakukan penelitian Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE), studi terkontrol secara acak, untuk memeriksa keamanan albumin pada 6.997 pasien dewasa di ICU. Studi ini menilai efek resusitasi dengan albumin 4%, dibandingkan dengan saline, selama 28 hari. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara albumin dan NaCl sehubungan dengan tingkat kematian (risiko relatif, 0,99; 95% CI, 0,91-1,09; P=0,87) atau perkembangan kegagalan organ baru.

 Analisis tambahan dari studi SAFE menghasilkan pemikiran baru mengenai resusitasi cairan pada pasien di ICU. Resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan peningkatan yang bermakna dalam tingkat kematian selama 2 tahun pada pasien trauma kepala (risiko relatif, 1,63; 95% CI, 1,17-2,26; P=0,003). Hasil ini telah dikaitkan dengan peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama minggu pertama setelah trauma. 

Resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan penurunan risiko kematian setelah 28 hari pada pasien sepsis berat (odds ratio, 0,71; 95% CI, 0,52-0,97; P=0,03), menunjukkan manfaat potensial pada pasien sepsis berat. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kematian setelah 28 hari yang diamati pada pasien dengan hipoalbuminemia (kadar albumin, ≤ 25 g per liter, odds ratio, 0,87; 95% CI, 0,73-1,05).

Dalam studi SAFE, tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil akhir resusitasi hemodinamik, seperti tekanan arteri atau denyut jantung, yang diamati antara kelompok albumin dan saline, meskipun penggunaan albumin dikaitkan dengan peningkatan kecil tekanan vena sentral. Rasio volume albumin dengan volume saline yang diberikan untuk mencapai hasil akhir ini adalah 1:1,4.

Pada tahun 2011, para peneliti di sub-Sahara Afrika melaporkan hasil penelitian acak terkontrol – studi Ekspansi Cairan sebagai Terapi Suportif (Fluid Expansion as Supportive Therapy/FEAST) – membandingkan penggunaan bolus albumin atau saline sebagai cairan resusitasi pada 3.141 anak yang demam dengan gangguan perfusi. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan yaitu resusitasi cairan dengan cara membolus albumin atau saline menghasilkan tingkat kematian yang hampir sama dalam 48 jam, tetapi terdapat peningkatan tingkat kematian yang bermakna jika dibandingkan pemberian resusitasi cairan tanpa terapi bolus dalam waktu 48 jam (risiko relatif, 1,45; 95% CI, 1,13-1,86; P=0,003). 
Penyebab utama kematian pada pasien akibat kolaps kardiovaskular dibandingkan kelebihan cairan atau penyebab neurologis. Meskipun percobaan ini dilakukan pada populasi pediatri tertentu dengan fasilitas perawatan kritis terbatas atau tidak ada, hasilnya mempertanyakan peran resusitasi cairan bolus dengan albumin atau saline pada populasi lain pasien sakit.

Hasil obeservasi dalam studi ini mempertanyakan konsep fisiologis mengenai efektivitas albumin dan perannya sebagai cairan resusitasi. Pada penyakit akut, tampak bahwa efek hemodinamik dari albumin sebagian besar seimbang dengan efek dari saline. Apapun populasi pasiennya, terutama mereka dengan sepsis berat, mendapat manfaat dari resusitasi albumin.

Koloid Semisintetik

Ketersediaan yang terbatas dan biaya yang relatif mahal dari albumin manusia telah mendorong pengembangan dan peningkatan penggunaan cairan koloid semisintetik selama 40 tahun terakhir. Secara umum, cairan HES adalah koloid semisintetik yang paling umum digunakan, terutama di Eropa. Koloid semisintetik lainnya termasuk gelatin suksinilasi, urealinked gelatin–preparat poligeline, dan cairan dekstran. Penggunaan cairan dekstran sebagian besar telah digantikan oleh penggunaan larutan semisintetis lainnya.

Cairan HES diproduksi oleh substitusi hidroksietil pada amilopektin yang diperoleh dari gandum, jagung, atau kentang. Derajat substitusi yang tinggi pada molekul melindungi terhadap hidrolisis oleh amilase nonspesifik dalam darah, sehingga dapat memperpanjang pemenuhan intravaskular, tetapi efek dari tindakan ini meningkatkan potensi HES terakumulasi dalam jaringan retikuloendotelial, seperti kulit (mengakibatkan pruritus), hati, dan ginjal.

Penggunaan HES, terutama preparat berat molekul yang tinggi, dikaitkan dengan perubahan dalam koagulasi, pengukuran viskoelastis, dan fibrinolysis, meskipun konsekuensi klinis dari efek ini belum diketahui pada populasi pasien tertentu, seperti yang menjalani operasi atau pasien ttrauma. Laporan penelitian ini telah mempertanyakan keamanan cairan HES (10%) dengan berat molekul lebih dari 200 kD dan rasio substitusi molar lebih dari 0,5 pada pasien dengan sepsis berat, dengan hasil peningkatan angka kematian, gagal ginjal akut, dan transplantasi ginjal.

Cairan HES yang digunakan saat ini telah dikurangi konsentrasinya (6%) dengan berat molekul 130 kD dan rasio substitusi molar 0,38-0,45. Cairan ini tersedia dalam berbagai jenis larutan pembawa kristaloid. Cairan HES secara luas digunakan pada pasien yang menjalani anestesi untuk operasi besar, terutama sebagai cairan perioperatif, sebagai cairan resusitasi lini pertama dalam militer, dan pada pasien ICU. Karena cairan ini berpotensi terakumulasi dalam jaringan sehingga dosis harian HES maksimum yang disarankan adalah 33 hingga 50 ml per kilogram berat badan per hari.

Dalam uji coba acak dan terkontrol yang melibatkan 800 pasien dengan sepsis berat di ICU, 30 peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan HES 6% (130/0,42) dibandingkan dengan ringer asetat, dikaitkan dengan peningkatan yang bermakna dalam angka kematian dalam 90 hari (risiko relatif, 1,17; 95% CI, 1,01-1,30; P=0,03) dan peningkatan yang bermakna yaitu 35% dalam tingkat transplantasi ginjal. 
Dalam studi acak dan terkontrol Crystalloid versus Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), melibatkan 7.000 pasien dewasa dalam ICU, penggunaan HES 6% (130/0,4) dibandingkan dengan saline memberikan hasil perbedaan yang tidak bermakna dari tingkat kematian dalam 90 hari (risiko relatif, 1,06; 95% CI, 0,96-1,18; P=0,26). Namun, penggunaan HES dikaitkan dengan peningkatan 21% pada angka transplantasi ginjal.

Baik studi Skandinavia maupun CHEST tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam hasil akhir resusitasi hemodinamik jangka pendek, terlepas dari peningkatan sementara tekanan vena sentral dan kebutuhan vasopressor yang lebih rendah dengan HES dalam CHEST. Rasio HES terhadap kristaloid yang diamati dalam uji coba ini adalah sekitar 1:1,3, sama dengan rasio albumin terhadap saline yang dilaporkan dalam penelitian SAFE dan pada uji coba acak dan terkontror baru-baru ini.

Pada CHEST, HES dikaitkan dengan peningkatan produksi urin pada pasien dengan risiko rendah gagal ginjal akut tetapi adanya peningkatan kadar kreatinin serum pada pasien dengan risiko tinggi gagal ginjal akut. Selain itu, penggunaan HES dikaitkan dengan peningkatan penggunaan produk darah dan peningkatan efek samping, terutama pruritus.

Apakah hasil ini dapat digeneralisasi untuk penggunaan larutan koloid semisintetik lainnya, seperti gelatin atau preparat poligeline, tidak diketahui. Penelitian observasional barubaru ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang risiko gagal ginjal akut yang terkait dengan penggunaan larutan gelatin. Namun, larutan ini belum diteliti dalam uji coba terkontrol acak berkualitas tinggi hingga saat ini. Mengingat bukti saat ini mengenai kurangnya manfaat klinis, nefrotoksisitas potensial, dan peningkatan biaya, penggunaan koloid semisintetik untuk resusitasi cairan pada pasien sakit kritis sulit untuk diputuskan.

Kristaloid

Natrium Klorida (saline) adalah larutan kristaloid yang paling umum digunakan, khususnya di Amerika Serikat. Saline normal (0,9%) mengandung natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, yang membuatnya isotonik dibandingkan dengan cairan ekstraseluler. Istilah "saline normal" berasal dari studi lisis eritrosit oleh ahli fisiologi Belanda Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, yang menunjukkan bahwa 0,9% adalah konsentrasi garam dalam darah manusia, dibandingkan dengan konsentrasi aktual 0,6%.

Perbedaan ion yang kuat dari saline 0,9% adalah nol, dengan hasil bahwa pemberian volume besar saline menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Efek sampingnya seperti disfungsi imun dan ginjal, meskipun konsekuensi klinis dari efek ini masih belum jelas.

Kekhawatiran tentang kelebihan natrium dan air yang terkait dengan resusitasi saline
telah menghasilkan konsep resusitasi kristaloid “volume kecil” dengan penggunaan larutan garam hipertonik (3%, 5%, dan 7,5%). Namun, penggunaan awal saline hipertonik untuk resusitasi, terutama pada pasien trauma kepala, belum menunjukkan perbaikan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Kristaloid dengan komposisi kimia yang mendekati cairan ekstraselular telah disebut sebagai larutan "seimbang" atau "fisiologis" dan merupakan turunan dari larutan Hartmann dan Ringer yang asli. Namun, tidak ada larutan paten yang benar-benar seimbang atau fisiologis.

Larutan garam seimbang relatif hipotonik karena mereka memiliki konsentrasi natrium yang lebih rendah daripada cairan ekstraseluler. Karena ketidakstabilan larutan yang mengandung bikarbonat dalam wadah plastik, anion alternatif, seperti laktat, asetat, glukonat, dan malat, telah digunakan. Pemberian larutan garam seimbang yang berlebihan dapat menyebabkan hiperlaktatemia, alkalosis metabolik, dan hipotonisitas (dengan natrium laktat) dan kardiotoksisitas (dengan asetat). Penambahan kalsium dalam beberapa larutan dapat menghasilkan mikrotrombus dengan transfusi eritrosit yang mengandung sitrat.

Mengingat kekhawatiran mengenai kelebihan natrium dan klorida yang terkait dengan garam normal, larutan garam seimbang semakin direkomendasikan sebagai cairan resusitasi lini pertama pada pasien yang menjalani operasi, trauma, dan pasien dengan ketoasidosis diabetik. Resusitasi dengan larutan garam seimbang adalah elemen kunci dalam pengobatan awal pasien dengan luka bakar, meskipun ada kekhawatiran yang meningkat tentang efek samping kelebihan cairan, dan strategi "hipovolemia permisif" pada pasien telah dianjurkan.

Sebuah studi observasional kohort berpasangan membandingkan tingkat komplikasi utama pada 213 pasien yang hanya menerima saline 0,9% dan 714 pasien yang hanya menerima larutan garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte) untuk mengganti kehilangan cairan pada hari operasi. Penggunaan larutan garam seimbang dikaitkan dengan penurunan tingkat komplikasi utama (odds ratio, 0,79; 95% CI, 0,66-0,97; P <0 asidosis.="" dan="" darah="" dari="" ginjal="" infeksi="" insiden="" investigasi="" lebih="" o:p="" operasi="" pasca="" rendah="" terkait="" termasuk="" transfusi="" transplantasi="" yang="">

Dalam penelitian pada ICU, penggunaan strategi cairan rendah klorida (menggunakan laktat dan cairan bebas kalsium) untuk menggantikan cairan intravena yang kaya klorida (saline 0,9%, gelatin suksinilasi, atau albumin 4%) dikaitkan dengan penurunan insidensi gagal ginjal akut dan tingkat transplantasi ginjal. Mengingat meluasnya penggunaan saline (> 200 juta liter per tahun di Amerika Serikat), data ini menunjukkan bahwa dibutuhkan uji coba terkontrol secara acak yang memeriksa keamanan dan efektivitas saline, dibandingkan dengan larutan garam yang seimbang.

Posting Komentar untuk "JENIS-JENIS CAIRAN RESUSITASI"