RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan dengan
larutan koloid dan kristaloid adalah suatu intervensi di berbagai tempat dalam
penatalaksanaan akut. Pemilihan dan penggunaan cairan resusitasi berdasarkan
pada prinsip-prinsip fisiologis, tetapi pada praktek klinis, hal tersebut
sangat ditentukan oleh pilihan dokter, dengan variasi sesuai wilayah. Tidak ada
cairan resusitasi yang ideal. Terdapat bukti bahwa jenis dan dosis cairan
resusitasi dapat mempengaruhi hasil pada pasien.
Meskipun dapat disimpulkan dari
prinsip-prinsip fisiologis, larutan koloid tidak memberikan kelebihan
substantif dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam efek hemodinamik.
Albumin dianggap sebagai pilihan dari larutan koloid, tetapi karena biayanya
yang mahal sehingga menjadi batasan dalam penggunaannya. Meskipun albumin telah
ditetapkan aman untuk digunakan sebagai cairan resusitasi pada kebanyakan
pasien dalam keadaan kritis dan sepsis, namun penggunaan albumin dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas pada pasien trauma cedera otak. Penggunaan
larutan hydroxyethyl starch (HES)
dihubungankan dengan peningkatan insidensi transplantasi ginjal dan efek
samping pada pasien di unit perawatan intensif (intensive care unit/ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan
penggunaan larutan koloid semisintetik lainnya.
Larutan garam yang seimbang
adalah cairan resusitasi awal yang pragmatis, meskipun hanya ada sedikit bukti
mengenai keamanan penggunaan larutan ini. Penggunaan larutan saline (NaCl) juga
dikaitkan dengan perkembangan asidosis metabolik dan penyakit ginjal akut.
Sedangkan, keamanan dari larutan hipertonik sampai kini belum diketahui.
Semua cairan resusitasi dapat
menyeababkan munculnya edema interstitial, terutama dalam keadaan inflamasi di
mana cairan resusitasi digunakan secara berlebihan. Dokter pada unit perawatan
intensif harus mempertimbangkan penggunaan cairan resusitasi karena mereka juga
menggunakan obat intravena lainnya. Pemilihan cairan harus didasarkan pada
indikasi, kontraindikasi, dan efek toksik untuk memaksimalkan efektivitas dan
meminimalkan toksisitas.
RIWAYAT RESUSITASI CAIRAN
Pada tahun 1832, Robert Lewins
menjelaskan efek dari pemberian larutan garam basa melalui intravena dalam
mengobati pasien kolera. Dia mengamati bahwa “jumlah yang perlu diinjeksi
tergantung pada jumlah cairan yang hilang; tujuannya agar jumlah darah yang
beredar di pembuluh darah pasien dalam batas normal.” Observasi dari Lewin
relevan dengan saat ini, setelah hampir 200 tahun yang lalu.
Resusitasi cairan asanguinous pada era modern dikemukakan
oleh Alexis Hartmann, yang memodifikasi larutan garam fisiologis yang
dikembangkan pada tahun 1885 oleh Sidney Ringer untuk rehidrasi anak-anak
dengan gastroenteritis. Dengan perkembangan fraksinasi darah pada tahun 1941,
albumin manusia digunakan untuk pertama kalinya dalam jumlah besar untuk
resusitasi pasien yang mengalami luka bakar selama penyerangan Pearl Harbor
pada tahun yang sama.
Hari ini, cairan asanguinous digunakan di hampir semua
pasien yang menjalani anestesi umum untuk operasi besar, pasien dengan trauma
berat, luka bakar, dan pada pasien unit perawatan intensif. Ini adalah salah
satu intervensi yang paling banyak ditemukan pada penatalaksanaan akut.
Terapi cairan merupakan salah
satu komponen resusitasi hemodinamik yang kompleks. Hal ini bertujuan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, karena aliran balik vena seimbang dengan
curah jantung, respon simpatis mengatur dengan baik sirkulasi eferen (vena) dan
aferen (arteri) selain kontraktilitas miokard. Terapi tambahan pada resusitasi
cairan, seperti penggunaan katekolamin berguna untuk meningkatkan kontraksi jantung
dan aliran balik vena sehingga dapat mencegah kegagalan sirkulasi. Selain itu,
perubahan mikrosirkulasi pada organ vital bervariasi dari waktu ke waktu dan
pada kondisi patologis yang berbeda-beda.
Lapisan glikokaliks endotel
yaitu sebuah jaringan glikoprotein dan proteoglikan yang terikat oleh membran
pada sel endotel, yang mengatur permeabilitas membran pada berbagai sistem organ.
Gambar A, menunjukkan lapisan glikokaliks endotel yang sehat dan Gambar B,
menunjukkan lapisan glikokaliks endotel yang rusak, dapat mengakibatkan edema
interstisial pada pasien, terutama pada pasien yang mengalami inflamasi
(misalnya, sepsis).
FISIOLOGI RESUSITASI CAIRAN
Selama beberapa dekade, untuk
pemilihan cairan resusitasi, dokter berdasarkan pada model kompartemen klasik
secara spesifik, kompartemen cairan intraseluler, komponen interstisial, dan
komponen intravaskular dari kompartemen cairan ekstraseluler dan faktor-faktor
yang menentukan distribusi cairan di seluruh kompartemen ini. Pada tahun 1896,
ahli fisiologi Inggris Ernest Starling menemukan bahwa kapiler dan venule pasca
kapiler bertindak sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan dari ruang
interstisial. Prinsip ini untuk mengidentifikasi gradien tekanan hidrostatik
dan onkotik yang melintasi membran semipermeabel sebagai penentu prinsip dari
pertukaran transvaskuler.
Deskripsi terbaru telah
mempertanyakan model klasik ini. Jaringan glikoprotein dan proteoglikan yang
terikat pada membran sisi luminal sel endotel telah diidentifikasi sebagai
lapisan glikokaliks endotel (Gambar 1). Ruang subglikokaliks menghasilkan
tekanan onkotik koloid yang merupakan penentu dari aliran transkapiler. Kapiler
non fenestrasi melalui ruang
interstisial yang telah diidentifikasi, menunjukkan bahwa penyerapan cairan
tidak terjadi melalui kapiler vena tetapi cairan dari ruang interstisial yang
masuk melalui pori-pori kemudian kembali ke sirkulasi sebagai cairan limfe yang
diatur melalui respon simpatis.
Struktur dan fungsi lapisan
glikokaliks endotel adalah penentu permeabilitas membran di berbagai sistem
organ vaskular. Integritas atau "kebocoran" pada lapisan ini
berpotensi mengakibatkan munculnya edema interstitial, terutama pada kondisi
inflamasi seperti sepsis dan setelah operasi atau trauma, ketika cairan
resusitasi banyak digunakan.
CAIRAN RESUSITASI YANG IDEAL
Cairan resusitasi ideal adalah
cairan yang mampu meningkatkan volume intravaskular yang dapat diprediksi dan
berkelanjutan, memiliki komposisi kimiawi yang paling mendekati dengan cairan
ekstraseluler, mampu dimetabolisme, dan diekskresikan sepenuhnya tanpa adanya
akumulasi dalam jaringan, tidak menghasilkan efek metabolik atau sistemik yang
merugikan, dan hemat biaya untuk peningkatan kesembuhan pasien. Saat ini, belum
ada cairan ideal yang tersedia untuk penggunaan klinis.
Cairan resusitasi secara luas
dikategorikan ke dalam larutan koloid dan kristaloid (Tabel 1). Larutan koloid adalah
suspensi molekul dalam cairan pelarut yang secara relatif tidak mampu menembus
membran kapiler semipermeabel normal karena berat molekuler yang dimilikinya.
Larutan kristaloid adalah larutan ion yang secara bebas permeabel tetapi
mengandung konsentrasi natrium dan klorida yang menentukan tonisitas cairan.
Pihak yang mendukung larutan
koloid berpendapat bahwa, koloid lebih efektif dalam mengisi volume
intravaskular karena koloid dipertahankan dalam ruang intravaskular dan mampu
mempertahankan tekanan onkotik. Jika efek volume dari koloid dibandingkan
dengan kristaloid, menjadi suatu keuntungan, yang secara konvensional
dijelaskan dalam rasio 1:3 dari koloid terhadap kristaloid untuk mempertahankan
volume intravaskular. Koloid semisintetis memiliki durasi efek yang lebih
singkat dibandingkan dengan larutan albumin manusia (human albumin), tetapi
dapat secara aktif dimetabolisme dan diekskresikan.
Sedangkan pihak yang mendukung
larutan kristaloid berpendapat bahwa, koloid khususnya albumin manusia, lebih
mahal dan tidak praktis jika digunakan sebagai cairan resusitasi. Kristaloid
lebih murah dan tersedia secara luas serta memiliki peran sebagai cairan
resusitasi lini pertama, namun penggunaan kristaloid juga dikaitkan dengan
perkembangan dari edema interstisial secara klinis.
Posting Komentar untuk "FISIOLOGI RESUSITASI CAIRAN PASIEN"