RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan dengan larutan koloid dan kristaloid adalah suatu intervensi di berbagai tempat dalam penatalaksanaan akut. Pemilihan dan penggunaan cairan resusitasi berdasarkan pada prinsip-prinsip fisiologis, tetapi pada praktek klinis, hal tersebut sangat ditentukan oleh pilihan dokter, dengan variasi sesuai wilayah. Tidak ada cairan resusitasi yang ideal. Terdapat bukti bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi dapat mempengaruhi hasil pada pasien.
Meskipun dapat disimpulkan dari prinsip-prinsip fisiologis, larutan koloid tidak memberikan kelebihan substantif dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam efek hemodinamik. Albumin dianggap sebagai pilihan dari larutan koloid, tetapi karena biayanya yang mahal sehingga menjadi batasan dalam penggunaannya.
Meskipun albumin telah ditetapkan aman untuk digunakan sebagai cairan resusitasi pada kebanyakan pasien dalam keadaan kritis dan sepsis, namun penggunaan albumin dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien trauma cedera otak. Penggunaan larutan hydroxyethyl starch (HES) dihubungankan dengan peningkatan insidensi transplantasi ginjal dan efek samping pada pasien di unit perawatan intensif (intensive care unit/ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan penggunaan larutan koloid semisintetik lainnya.
Larutan garam yang seimbang adalah cairan resusitasi awal yang pragmatis, meskipun hanya ada sedikit bukti mengenai keamanan penggunaan larutan ini. Penggunaan larutan saline (NaCl) juga dikaitkan dengan perkembangan asidosis metabolik dan penyakit ginjal akut. Sedangkan, keamanan dari larutan hipertonik sampai kini belum diketahui.
Semua cairan resusitasi dapat menyeababkan munculnya edema interstitial, terutama dalam keadaan inflamasi di mana cairan resusitasi digunakan secara berlebihan. Dokter pada unit perawatan intensif harus mempertimbangkan penggunaan cairan resusitasi karena mereka juga menggunakan obat intravena lainnya. Pemilihan cairan harus didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, dan efek toksik untuk memaksimalkan efektivitas dan meminimalkan toksisitas.
SEJARAH DAN RIWAYAT PEMBERIAN RESUSITASI CAIRAN
Pada tahun 1832, Robert Lewins menjelaskan efek dari pemberian larutan garam basa melalui intravena dalam mengobati pasien kolera. Dia mengamati bahwa “jumlah yang perlu diinjeksi tergantung pada jumlah cairan yang hilang; tujuannya agar jumlah darah yang beredar di pembuluh darah pasien dalam batas normal.” Observasi dari Lewin relevan dengan saat ini, setelah hampir 200 tahun yang lalu.
Resusitasi cairan asanguinous pada era modern dikemukakan oleh Alexis Hartmann, yang memodifikasi larutan garam fisiologis yang dikembangkan pada tahun 1885 oleh Sidney Ringer untuk rehidrasi anak-anak dengan gastroenteritis. Dengan perkembangan fraksinasi darah pada tahun 1941, albumin manusia digunakan untuk pertama kalinya dalam jumlah besar untuk resusitasi pasien yang mengalami luka bakar selama penyerangan Pearl Harbor pada tahun yang sama.
Hari ini, cairan asanguinous digunakan di hampir semua pasien yang menjalani anestesi umum untuk operasi besar, pasien dengan trauma berat, luka bakar, dan pada pasien unit perawatan intensif. Ini adalah salah satu intervensi yang paling banyak ditemukan pada penatalaksanaan akut.
Terapi cairan merupakan salah satu komponen resusitasi hemodinamik yang kompleks. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan volume intravaskuler, karena aliran balik vena seimbang dengan curah jantung, respon simpatis mengatur dengan baik sirkulasi eferen (vena) dan aferen (arteri) selain kontraktilitas miokard.
Terapi tambahan pada resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamin berguna untuk meningkatkan kontraksi jantung dan aliran balik vena sehingga dapat mencegah kegagalan sirkulasi. Selain itu, perubahan mikrosirkulasi pada organ vital bervariasi dari waktu ke waktu dan pada kondisi patologis yang berbeda-beda.
Lapisan glikokaliks endotel yaitu sebuah jaringan glikoprotein dan proteoglikan yang terikat oleh membran pada sel endotel, yang mengatur permeabilitas membran pada berbagai sistem organ. Gambar A, menunjukkan lapisan glikokaliks endotel yang sehat dan Gambar B, menunjukkan lapisan glikokaliks endotel yang rusak, dapat mengakibatkan edema interstisial pada pasien, terutama pada pasien yang mengalami inflamasi (misalnya, sepsis).
FISIOLOGI RESUSITASI CAIRAN
Selama beberapa dekade, untuk pemilihan cairan resusitasi, dokter berdasarkan pada model kompartemen klasik secara spesifik, kompartemen cairan intraseluler, komponen interstisial, dan komponen intravaskular dari kompartemen cairan ekstraseluler dan faktor-faktor yang menentukan distribusi cairan di seluruh kompartemen ini. Pada tahun 1896, ahli fisiologi Inggris Ernest Starling menemukan bahwa kapiler dan venule pasca kapiler bertindak sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan dari ruang interstisial. Prinsip ini untuk mengidentifikasi gradien tekanan hidrostatik dan onkotik yang melintasi membran semipermeabel sebagai penentu prinsip dari pertukaran transvaskuler.
Deskripsi terbaru telah mempertanyakan model klasik ini. Jaringan glikoprotein dan proteoglikan yang terikat pada membran sisi luminal sel endotel telah diidentifikasi sebagai lapisan glikokaliks endotel (Gambar 1). Ruang subglikokaliks menghasilkan tekanan onkotik koloid yang merupakan penentu dari aliran transkapiler. Kapiler non fenestrasi melalui ruang interstisial yang telah diidentifikasi, menunjukkan bahwa penyerapan cairan tidak terjadi melalui kapiler vena tetapi cairan dari ruang interstisial yang masuk melalui pori-pori kemudian kembali ke sirkulasi sebagai cairan limfe yang diatur melalui respon simpatis.
Struktur dan fungsi lapisan glikokaliks endotel adalah penentu permeabilitas membran di berbagai sistem organ vaskular. Integritas atau "kebocoran" pada lapisan ini berpotensi mengakibatkan munculnya edema interstitial, terutama pada kondisi inflamasi seperti sepsis dan setelah operasi atau trauma, ketika cairan resusitasi banyak digunakan.
CAIRAN RESUSITASI YANG IDEAL
Cairan resusitasi ideal adalah cairan yang mampu meningkatkan volume intravaskular yang dapat diprediksi dan berkelanjutan, memiliki komposisi kimiawi yang paling mendekati dengan cairan ekstraseluler, mampu dimetabolisme, dan diekskresikan sepenuhnya tanpa adanya akumulasi dalam jaringan, tidak menghasilkan efek metabolik atau sistemik yang merugikan, dan hemat biaya untuk peningkatan kesembuhan pasien. Saat ini, belum ada cairan ideal yang tersedia untuk penggunaan klinis.
Cairan resusitasi secara luas dikategorikan ke dalam larutan koloid dan kristaloid (Tabel 1). Larutan koloid adalah suspensi molekul dalam cairan pelarut yang secara relatif tidak mampu menembus membran kapiler semipermeabel normal karena berat molekuler yang dimilikinya. Larutan kristaloid adalah larutan ion yang secara bebas permeabel tetapi mengandung konsentrasi natrium dan klorida yang menentukan tonisitas cairan.
Pihak yang mendukung larutan koloid berpendapat bahwa, koloid lebih efektif dalam mengisi volume intravaskular karena koloid dipertahankan dalam ruang intravaskular dan mampu mempertahankan tekanan onkotik. Jika efek volume dari koloid dibandingkan dengan kristaloid, menjadi suatu keuntungan, yang secara konvensional dijelaskan dalam rasio 1:3 dari koloid terhadap kristaloid untuk mempertahankan volume intravaskular. Koloid semisintetis memiliki durasi efek yang lebih singkat dibandingkan dengan larutan albumin manusia (human albumin), tetapi dapat secara aktif dimetabolisme dan diekskresikan.
Sedangkan pihak yang mendukung larutan kristaloid berpendapat bahwa, koloid khususnya albumin manusia, lebih mahal dan tidak praktis jika digunakan sebagai cairan resusitasi. Kristaloid lebih murah dan tersedia secara luas serta memiliki peran sebagai cairan resusitasi lini pertama, namun penggunaan kristaloid juga dikaitkan dengan perkembangan dari edema interstisial secara klinis.
JENIS-JENIS CAIRAN RESUSITASI
Secara umum, terdapat variasi dalam praktik klinis yang berkaitan dengan pemilihan cairan resusitasi. Pemilihan cairan resusitasi, sebagian besar ditentukan oleh pilihan dokter yang berdasarkan pada protokol institusi masing-masing, ketersediaannya, biaya, dan pemasaran komersil. Dokumen konsensus tentang penggunaan cairan resusitasi telah dikembangkan terutama pada populasi pasien tertentu, tetapi rekomendasi tersebut didasarkan pada pendapat ahli atau bukti klinis yang berkualitas rendah. Tinjauan sistematis dari studi acak terkontrol secara konsisten menunjukkan bahwa resusitasi dengan satu jenis cairan mengurangi risiko kematian atau satu jenis cairan lebih efektif dan lebih aman.
Albumin
Albumin manusia (4-5%) dalam NaCl menjadi pilihan dari larutan koloid. Larutan ini dihasilkan oleh fraksinasi darah dan dipanaskan untuk mencegah transmisi dari virus patogen. Namun albumin mahal untuk diproduksi dan didistribusikan, serta ketersediaannya terbatas di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.
Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers mempublikasikan suatu perbandingan efek albumin dengan larutan kristaloid pada pasien hipovolemia, luka bakar, atau hipoalbuminemia dan menyimpulkan bahwa pemberian albumin dapat meningkatkan risiko kematian (risiko relatif, 1,68; interval kepercayaan 95% [CI], 1,26-2,23; P<0,01). Terlepas dari keterbatasannya, studi ini menyebabkan kegelisakan yang cukup besar, terutama di negara-negara yang sebagian besar menggunakan albumin untuk resusitasi.
Akibatnya, para peneliti di Australia dan Selandia Baru melakukan penelitian Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE), studi terkontrol secara acak, untuk memeriksa keamanan albumin pada 6.997 pasien dewasa di ICU. Studi ini menilai efek resusitasi dengan albumin 4%, dibandingkan dengan saline, selama 28 hari. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara albumin dan NaCl sehubungan dengan tingkat kematian (risiko relatif, 0,99; 95% CI, 0,91-1,09; P=0,87) atau perkembangan kegagalan organ baru.
Analisis tambahan dari studi SAFE menghasilkan pemikiran baru mengenai resusitasi cairan pada pasien di ICU. Resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan peningkatan yang bermakna dalam tingkat kematian selama 2 tahun pada pasien trauma kepala (risiko relatif, 1,63; 95% CI, 1,17-2,26; P=0,003). Hasil ini telah dikaitkan dengan peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama minggu pertama setelah trauma. Resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan penurunan risiko kematian setelah 28 hari pada pasien sepsis berat (odds ratio, 0,71; 95% CI, 0,52-0,97; P=0,03), menunjukkan manfaat potensial pada pasien sepsis berat. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kematian setelah 28 hari yang diamati pada pasien dengan hipoalbuminemia (kadar albumin, ≤ 25 g per liter, odds ratio, 0,87; 95% CI, 0,73-1,05).
Dalam studi SAFE, tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil akhir resusitasi hemodinamik, seperti tekanan arteri atau denyut jantung, yang diamati antara kelompok albumin dan saline, meskipun penggunaan albumin dikaitkan dengan peningkatan kecil tekanan vena sentral. Rasio volume albumin dengan volume saline yang diberikan untuk mencapai hasil akhir ini adalah 1:1,4.
Pada tahun 2011, para peneliti di sub-Sahara Afrika melaporkan hasil penelitian acak terkontrol – studi Ekspansi Cairan sebagai Terapi Suportif (Fluid Expansion as Supportive Therapy/FEAST) – membandingkan penggunaan bolus albumin atau saline sebagai cairan resusitasi pada 3.141 anak yang demam dengan gangguan perfusi. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan yaitu resusitasi cairan dengan cara membolus albumin atau saline menghasilkan tingkat kematian yang hampir sama dalam 48 jam, tetapi terdapat peningkatan tingkat kematian yang bermakna jika dibandingkan pemberian resusitasi cairan tanpa terapi bolus dalam waktu 48 jam (risiko relatif, 1,45; 95% CI, 1,13-1,86; P=0,003). Penyebab utama kematian pada pasien akibat kolaps kardiovaskular dibandingkan kelebihan cairan atau penyebab neurologis. Meskipun percobaan ini dilakukan pada populasi pediatri tertentu dengan fasilitas perawatan kritis terbatas atau tidak ada, hasilnya mempertanyakan peran resusitasi cairan bolus dengan albumin atau saline pada populasi lain pasien sakit.
Hasil obeservasi dalam studi ini mempertanyakan konsep fisiologis mengenai efektivitas albumin dan perannya sebagai cairan resusitasi. Pada penyakit akut, tampak bahwa efek hemodinamik dari albumin sebagian besar seimbang dengan efek dari saline. Apapun populasi pasiennya, terutama mereka dengan sepsis berat, mendapat manfaat dari resusitasi albumin.
Koloid Semisintetik
Ketersediaan yang terbatas dan biaya yang relatif mahal dari albumin manusia telah mendorong pengembangan dan peningkatan penggunaan cairan koloid semisintetik selama 40 tahun terakhir. Secara umum, cairan HES adalah koloid semisintetik yang paling umum digunakan, terutama di Eropa. Koloid semisintetik lainnya termasuk gelatin suksinilasi, urealinked gelatin–preparat poligeline, dan cairan dekstran. Penggunaan cairan dekstran sebagian besar telah digantikan oleh penggunaan larutan semisintetis lainnya.
Cairan HES diproduksi oleh substitusi hidroksietil pada amilopektin yang diperoleh dari gandum, jagung, atau kentang. Derajat substitusi yang tinggi pada molekul melindungi terhadap hidrolisis oleh amilase nonspesifik dalam darah, sehingga dapat memperpanjang pemenuhan intravaskular, tetapi efek dari tindakan ini meningkatkan potensi HES terakumulasi dalam jaringan retikuloendotelial, seperti kulit (mengakibatkan pruritus), hati, dan ginjal.
Penggunaan HES, terutama preparat berat molekul yang tinggi, dikaitkan dengan perubahan dalam koagulasi, pengukuran viskoelastis, dan fibrinolysis, meskipun konsekuensi klinis dari efek ini belum diketahui pada populasi pasien tertentu, seperti yang menjalani operasi atau pasien ttrauma. Laporan penelitian ini telah mempertanyakan keamanan cairan HES (10%) dengan berat molekul lebih dari 200 kD dan rasio substitusi molar lebih dari 0,5 pada pasien dengan sepsis berat, dengan hasil peningkatan angka kematian, gagal ginjal akut, dan transplantasi ginjal.
Cairan HES yang digunakan saat ini telah dikurangi konsentrasinya (6%) dengan berat molekul 130 kD dan rasio substitusi molar 0,38-0,45. Cairan ini tersedia dalam berbagai jenis larutan pembawa kristaloid. Cairan HES secara luas digunakan pada pasien yang menjalani anestesi untuk operasi besar, terutama sebagai cairan perioperatif, sebagai cairan resusitasi lini pertama dalam militer, dan pada pasien ICU. Karena cairan ini berpotensi terakumulasi dalam jaringan sehingga dosis harian HES maksimum yang disarankan adalah 33 hingga 50 ml per kilogram berat badan per hari.
Dalam uji coba acak dan terkontrol yang melibatkan 800 pasien dengan sepsis berat di ICU, 30 peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan HES 6% (130/0,42) dibandingkan dengan ringer asetat, dikaitkan dengan peningkatan yang bermakna dalam angka kematian dalam 90 hari (risiko relatif, 1,17; 95% CI, 1,01-1,30; P=0,03) dan peningkatan yang bermakna yaitu 35% dalam tingkat transplantasi ginjal.
Dalam studi acak dan terkontrol Crystalloid versus Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), melibatkan 7.000 pasien dewasa dalam ICU, penggunaan HES 6% (130/0,4) dibandingkan dengan saline memberikan hasil perbedaan yang tidak bermakna dari tingkat kematian dalam 90 hari (risiko relatif, 1,06; 95% CI, 0,96-1,18; P=0,26). Namun, penggunaan HES dikaitkan dengan peningkatan 21% pada angka transplantasi ginjal.
Baik studi Skandinavia maupun CHEST tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam hasil akhir resusitasi hemodinamik jangka pendek, terlepas dari peningkatan sementara tekanan vena sentral dan kebutuhan vasopressor yang lebih rendah dengan HES dalam CHEST. Rasio HES terhadap kristaloid yang diamati dalam uji coba ini adalah sekitar 1:1,3, sama dengan rasio albumin terhadap saline yang dilaporkan dalam penelitian SAFE dan pada uji coba acak dan terkontror baru-baru ini.
Pada CHEST, HES dikaitkan dengan peningkatan produksi urin pada pasien dengan risiko rendah gagal ginjal akut tetapi adanya peningkatan kadar kreatinin serum pada pasien dengan risiko tinggi gagal ginjal akut. Selain itu, penggunaan HES dikaitkan dengan peningkatan penggunaan produk darah dan peningkatan efek samping, terutama pruritus.
Apakah hasil ini dapat digeneralisasi untuk penggunaan larutan koloid semisintetik lainnya, seperti gelatin atau preparat poligeline, tidak diketahui. Penelitian observasional barubaru ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang risiko gagal ginjal akut yang terkait dengan penggunaan larutan gelatin. Namun, larutan ini belum diteliti dalam uji coba terkontrol acak berkualitas tinggi hingga saat ini. Mengingat bukti saat ini mengenai kurangnya manfaat klinis, nefrotoksisitas potensial, dan peningkatan biaya, penggunaan koloid semisintetik untuk resusitasi cairan pada pasien sakit kritis sulit untuk diputuskan.
Kristaloid
Natrium Klorida (saline) adalah larutan kristaloid yang paling umum digunakan, khususnya di Amerika Serikat. Saline normal (0,9%) mengandung natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, yang membuatnya isotonik dibandingkan dengan cairan ekstraseluler. Istilah "saline normal" berasal dari studi lisis eritrosit oleh ahli fisiologi Belanda Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, yang menunjukkan bahwa 0,9% adalah konsentrasi garam dalam darah manusia, dibandingkan dengan konsentrasi aktual 0,6%.
Perbedaan ion yang kuat dari saline 0,9% adalah nol, dengan hasil bahwa pemberian volume besar saline menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Efek sampingnya seperti disfungsi imun dan ginjal, meskipun konsekuensi klinis dari efek ini masih belum jelas.
Kekhawatiran tentang kelebihan natrium dan air yang terkait dengan resusitasi saline
telah menghasilkan konsep resusitasi kristaloid “volume kecil” dengan penggunaan larutan garam hipertonik (3%, 5%, dan 7,5%). Namun, penggunaan awal saline hipertonik untuk resusitasi, terutama pada pasien trauma kepala, belum menunjukkan perbaikan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Kristaloid dengan komposisi kimia yang mendekati cairan ekstraselular telah disebut sebagai larutan "seimbang" atau "fisiologis" dan merupakan turunan dari larutan Hartmann dan Ringer yang asli. Namun, tidak ada larutan paten yang benar-benar seimbang atau fisiologis (Tabel 1).
Larutan garam seimbang relatif hipotonik karena mereka memiliki konsentrasi natrium yang lebih rendah daripada cairan ekstraseluler. Karena ketidakstabilan larutan yang mengandung bikarbonat dalam wadah plastik, anion alternatif, seperti laktat, asetat, glukonat, dan malat, telah digunakan. Pemberian larutan garam seimbang yang berlebihan dapat menyebabkan hiperlaktatemia, alkalosis metabolik, dan hipotonisitas (dengan natrium laktat) dan kardiotoksisitas (dengan asetat). Penambahan kalsium dalam beberapa larutan dapat menghasilkan mikrotrombus dengan transfusi eritrosit yang mengandung sitrat.
Mengingat kekhawatiran mengenai kelebihan natrium dan klorida yang terkait dengan garam normal, larutan garam seimbang semakin direkomendasikan sebagai cairan resusitasi lini pertama pada pasien yang menjalani operasi, trauma, dan pasien dengan ketoasidosis diabetik. Resusitasi dengan larutan garam seimbang adalah elemen kunci dalam pengobatan awal pasien dengan luka bakar, meskipun ada kekhawatiran yang meningkat tentang efek samping kelebihan cairan, dan strategi "hipovolemia permisif" pada pasien telah dianjurkan.
Sebuah studi observasional kohort berpasangan membandingkan tingkat komplikasi utama pada 213 pasien yang hanya menerima saline 0,9% dan 714 pasien yang hanya menerima larutan garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte) untuk mengganti kehilangan cairan pada hari operasi. Penggunaan larutan garam seimbang dikaitkan dengan penurunan tingkat komplikasi utama (odds ratio, 0,79; 95% CI, 0,66-0,97; P <0,05), termasuk insiden yang lebih rendah dari infeksi pasca operasi, transplantasi ginjal, transfusi darah, dan investigasi terkait asidosis.
Dalam penelitian pada ICU, penggunaan strategi cairan rendah klorida (menggunakan laktat dan cairan bebas kalsium) untuk menggantikan cairan intravena yang kaya klorida (saline 0,9%, gelatin suksinilasi, atau albumin 4%) dikaitkan dengan penurunan insidensi gagal ginjal akut dan tingkat transplantasi ginjal. Mengingat meluasnya penggunaan saline (> 200 juta liter per tahun di Amerika Serikat), data ini menunjukkan bahwa dibutuhkan uji coba terkontrol secara acak yang memeriksa keamanan dan efektivitas saline, dibandingkan dengan larutan garam yang seimbang.
DOSIS DAN VOLUME RESUSITASI CAIRAN
Kebutuhan dan respon terhadap resusitasi cairan sangat bervariasi bergantung pada setiap keadaan penyakit masing-masing. Tidak ada penilaian fisiologis atau biokimia tersendiri yang secara adekuat menggambarkan kompleksitas pengurangan cairan atau respon terhadap resusitasi cairan pada penyakit akut. Namun, hipotensi sistolik dan oliguria secara luas digunakan sebagai pencetus untuk memberikan "fluid challenge," mulai dari 200 hingga 1000 ml kristaloid atau koloid untuk pasien dewasa.
Penggunaan cairan resusitasi kristaloid dan koloid, seringkali diresepkan sebagai tambahan cairan hipotonis "pemeliharaan hipotonik”, menyebabkan peningkatan dosis kumulatif natrium dan air dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terkait dengan perkembangan edema interstisial sehingga dapat mengakibatkan disfungsi organ.
Hubungan antara peningkatan keseimbangan cairan positif dan efek samping jangka panjang telah dilaporkan pada pasien sepsis. Dalam uji coba strategi cairan berdasarkan sasaran atau restriktif pada pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut (terutama pada pasien perioperatif), strategi cairan terbatas dikaitkan dengan penurunan morbiditas. Namun, karena tidak ada konsensus mengenai definisi dari strategi ini, studi dilakukan pada populasi pasien tertentu yang diperlukan.
Meskipun penggunaan cairan resusitasi adalah salah satu intervensi yang paling banyak dalam kedokteran, tidak ada cairan resusitasi yang tersedia saat ini yang dapat dianggap ideal. Mengingat bukti yang berkualitas baru-baru ini, sekarang diperlukan penilaian kembali tentang bagaimana cairan resusitasi digunakan pada pasien yang sakit akut (Tabel 2). Pemilihan, waktu, dan dosis cairan intravena harus dievaluasi secara hati-hati sebagaimana obat intravena lainnya, dengan tujuan memaksimalkan efektivitas dan meminimalkan toksisitas iatrogenik.
Posting Komentar untuk " RESUSITASI CAIRAN, PRINSIP DAN PENATALAKSANAAN"