PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI
PERATURAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN IMUNISASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa
untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
diperlukan upaya
untuk mencegah terjadinya suatu
penyakit melalui imunisasi;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 132 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlu
mengatur ketentuan mengenai penyelenggaraan imunisasi;
c.
bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Menteri
Kesehatan tentang Penyelenggaraan Imunisasi;
Mengingat : 1.
Undang-Undang Nomor
4
Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143);
2. Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3273);
3. Undang-Undang Nomor
23
Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor
4235)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 237, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946);
4.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor 4431);
5. Undang-Undang Nomor
32
Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009
Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5059);
6.
Undang-Undang Nomor
36
Tahun 2009
tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor 5063);
7. Undang-Undang Nomor
23
Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
8.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun
2014
Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
9. Undang-Undang Nomor
38
Tahun 2014
tentang Keperawatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5612);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor
3447);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan
Alat
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998
Nomor
138,
Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3781);
12.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 124,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014
Nomor 333, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5617);
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran;
15.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun
2014 tentang Upaya Kesehatan Anak
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 825);
16.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 1113);
17.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1676);
18.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun
2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1755);
19.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun
2015 tentang Penanggulangan Hepatitis
Virus (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 1126);
20. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor
64
Tahun 2015
tentang Organisasi dan
Tata Kerja
Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1508);
21.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun
2016 tentang Pemberian Sertifikat Vaksinasi
Internasional (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
578);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI
KESEHATAN TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang
dimaksud dengan:
1. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit sehingga bila suatu saat
terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan.
2. Vaksin adalah produk
biologi yang berisi
antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau
masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin
mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang
ditambahkan dengan zat lainnya, yang
bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
3. Imunisasi Program adalah imunisasi
yang
diwajibkan
kepada seseorang sebagai bagian dari
masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
4. Imunisasi Pilihan
adalah imunisasi yang dapat diberikan
kepada
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan
dari penyakit tertentu.
5. Auto
Disable
Syringe yang selanjutnya disingkat ADS adalah alat suntik sekali pakai
untuk
pelaksanaan
pelayanan imunisasi.
6. Safety Box adalah sebuah tempat
yang berfungsi untuk menampung sementara limbah bekas ADS
yang telah digunakan dan harus
memenuhi persyaratan khusus.
7. Cold
Chain adalah sistem pengelolaan Vaksin yang
dimaksudkan untuk memelihara dan menjamin mutu Vaksin dalam pendistribusian
mulai dari pabrik pembuat Vaksin
sampai pada sasaran.
8. Peralatan
Anafilaktik
adalah
alat
kesehatan dan obat untuk penanganan syok anafilaktik.
9. Dokumen
Pencatatan Pelayanan Imunisasi adalah formulir pencatatan dan pelaporan yang
berisikan cakupan imunisasi, laporan KIPI, dan logistik
imunisasi.
10. Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi yang selanjutnya
disingkat KIPI adalah kejadian medik yang
diduga berhubungan dengan imunisasi.
11. Pusat Kesehatan
Masyarakat yang
selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat
dan
upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk
mencapai derajat
kesehatan
masyarakat
yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
12. Komite Nasional
Pengkajian
dan
Penanggulangan
Kejadian Ikutan
Pasca
Imunisasi yang
selanjutnya disebut Komnas PP KIPI adalah komite independen yang melakukan pengkajian untuk penanggulangan
kasus
KIPI di tingkat
nasional.
13.
Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disebut Komda PP KIPI adalah komite independen yang melakukan pengkajian untuk penanggulangan
kasus KIPI di tingkat daerah
provinsi.
14. Pemerintah Pusat
adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil
Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang
memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di
bidang kesehatan.
17. Direktur Jenderal adalah
Direktur
Jenderal
pada
Kementerian Kesehatan
yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit.
Pasal 2
Ruang
lingkup pengaturan meliputi jenis Imunisasi,
penyelenggaraan Imunisasi Program, penyelenggaraan Imunisasi Pilihan, pemantauan dan
penanggulangan KIPI,
penelitian dan
pengembangan, peran serta
masyarakat, pencatatan dan pelaporan, serta pembinaan dan pengawasan.
BAB II JENIS IMUNISASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Berdasarkan
jenis
penyelenggaraannya, Imunisasi dikelompokkan menjadi Imunisasi Program dan Imunisasi
Pilihan.
(2)
Vaksin
untuk Imunisasi Program dan Imunisasi
Pilihan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
izin edar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan.
Bagian Kedua
Imunisasi
Program
Pasal
4 (1) Imunisasi
Program terdiri atas:
a. Imunisasi rutin;
b.
Imunisasi tambahan; dan c. Imunisasi
khusus.
(2) Imunisasi
Program harus diberikan
sesuai dengan jenis Vaksin, jadwal atau waktu pemberian
yang ditetapkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Imunisasi
rutin dilaksanakan
secara terus menerus dan berkesinambungan.
(2) Imunisasi rutin
terdiri atas
Imunisasi
dasar
dan
Imunisasi
lanjutan.
Pasal 6
(1) Imunisasi
dasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan pada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun.
(2) Imunisasi
dasar
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
terdiri atas Imunisasi
terhadap penyakit:
a. hepatitis B;
b. poliomyelitis; c. tuberkulosis; d. difteri;
e. pertusis;
f. tetanus;
g. pneumonia dan meningitis
yang
disebabkan
oleh
Hemophilus Influenza tipe b (Hib); dan
h. campak.
Pasal 7
(1) Imunisasi lanjutan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2)
merupakan ulangan Imunisasi dasar
untuk
mempertahankan tingkat kekebalan dan
untuk memperpanjang masa perlindungan anak yang sudah mendapatkan Imunisasi
dasar.
(2) Imunisasi lanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
diberikan pada:
a. anak usia bawah dua tahun (Baduta);
b. anak usia sekolah dasar; dan c. wanita usia subur (WUS).
(3) Imunisasi
lanjutan yang
diberikan pada Baduta sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a terdiri atas Imunisasi terhadap
penyakit difteri, pertusis,
tetanus, hepatitis B, pneumonia
dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza
tipe b (Hib), serta campak.
(4) Imunisasi
lanjutan
yang
diberikan
pada
anak
usia
sekolah dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas Imunisasi
terhadap
penyakit
campak,
tetanus, dan difteri.
(5) Imunisasi
lanjutan
yang
diberikan
pada
anak
usia
sekolah dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(4)
diberikan pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS)
yang diintegrasikan dengan usaha kesehatan sekolah.
(6) Imunisasi
lanjutan yang
diberikan pada
WUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas Imunisasi terhadap penyakit tetanus dan difteri.
Pasal 8
(1) Imunisasi tambahan merupakan
jenis Imunisasi tertentu yang diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai
dengan
kajian epidemiologis pada periode waktu
tertentu.
(2)
Pemberian Imunisasi tambahan
sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) dilakukan untuk melengkapi Imunisasi dasar dan/atau lanjutan pada target sasaran yang belum tercapai.
(3) Pemberian Imunisasi tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban pemberian Imunisasi rutin.
(4) Penetapan pemberian Imunisasi
tambahaan berdasarkan kajian epidemiologis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Menteri,
kepala
dinas
kesehatan
provinsi, atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pasal 9
(1) Imunisasi
khusus
dilaksanakan untuk
melindungi seseorang dan masyarakat
terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu.
(2) Situasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berupa persiapan keberangkatan calon
jemaah haji/umroh, persiapan perjalanan
menuju
atau
dari
negara endemis penyakit tertentu,
dan kondisi kejadian luar
biasa/wabah penyakit tertentu.
(3) Imunisasi
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Imunisasi terhadap meningitis meningokokus, yellow fever (demam kuning), rabies, dan poliomyelitis.
(4) Menteri
dapat
menetapkan situasi
tertentu pada Imunisasi khusus selain situasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 10
(1) Menteri
dapat
menetapkan
jenis
Imunisasi
Program
selain yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dengan mempertimbangkan
rekomendasi dari Komite Penasehat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian
Technical
Advisory Group on
Immunization).
(2)
Komite Penasihat Ahli
Imunisasi Nasional
(Indonesian
Technical Advisory Group on Immunization) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(3) Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional
(Indonesian
Technical
Advisory Group on
Immunization) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas unsur
profesi, akademisi, dan peneliti yang memiliki integritas, keahlian, dan/atau pengalaman bidang imunisasi di tingkat
nasional/internasional.
(4)
Komite Penasihat Ahli
Imunisasi Nasional
(Indonesian
Technical Advisory Group
on
Immunization)
memiliki
tugas:
a. memantau dan mengkaji
perkembangan
keilmuan
Vaksin baik dalam aspek
teknologi, produksi,
maupun pengembangan
Vaksin baru
serta memperhatikan kondisi
yang
berkembang di masyarakat; dan
b. memilih teknologi di bidang Imunisasi dan penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Bagian Ketiga
Imunisasi
Pilihan
Pasal 11
(1) Imunisasi
Pilihan dapat berupa
Imunisasi terhadap
penyakit:
a. pneumonia
dan
meningitis
yang
disebabkan
oleh
pneumokokus;
b. diare yang disebabkan oleh rotavirus;
c. influenza;
d. cacar air (varisela);
e. gondongan (mumps);
f. campak jerman (rubela);
g. demam tifoid;
h. hepatitis A;
i. kanker
leher
rahim yang disebabkan oleh Human
Papillomavirus;
j. Japanese
Enchephalitis;
k. herpes zoster;
l. hepatitis B pada dewasa; dan m. demam berdarah.
(2) Menteri dapat menetapkan jenis Imunisasi Pilihan
selain yang diatur dalam Peraturan Menteri ini berdasarkan
rekomendasi dari Komite
Penasehat Ahli
Imunisasi
Nasional (Indonesian Technical Advisory Group
on Immunization).
(3) Menteri
dapat
menetapkan jenis
Imunisasi Pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi Imunisasi Program sesuai dengan kebutuhan berdasarkan rekomendasi dari
Komite Penasehat Ahli Imunisasi
Nasional (Indonesian Technical Advisory Group on
Immunization).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Imunisasi Pilihan diatur dalam Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi
tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
BAB III PENYELENGGARAAN IMUNISASI PROGRAM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
(1) Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Imunisasi Program.
(2) Penyelenggaraan Imunisasi Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. perencanaan;
b. penyediaan dan distribusi logistik;
c. penyimpanan dan pemeliharaan logistik;
d. penyediaan tenaga pengelola;
e. pelaksanaan pelayanan;
f. pengelolaan limbah; dan
g. pemantauan dan evaluasi.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 13
(1) Perencanaan penyelenggaraan Imunisasi
Program dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dengan mengacu pada komitmen global serta target pada RPJMN dan Renstra yang berlaku.
(2)
Perencanaan penyelenggaraan Imunisasi
Program
oleh
Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) juga harus memperhatikan usulan perencanaan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi secara berjenjang yang meliputi jumlah sasaran pada daerah kabupaten/kota, kebutuhan logistik, dan pendanaan Imunisasi
Program di tingkat pusat dan daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Perencanaan penyelenggaraan Imunisasi Program
oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi operasional penyelenggaraan pelayanan, pemeliharaan peralatan Cold
Chain,
penyediaan
alat
pendukung Cold Chain, dan
Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi.
Pasal 14
(1) Usulan perencanaan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) disampaikan
kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal paling lambat pada triwulan ketiga untuk tahun berikutnya.
(2) Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota
dan
Pemerintah Daerah provinsi tidak menyampaikan
usulan perencanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1), Pemerintah Pusat akan melakukan perencanaan berdasarkan estimasi dari perhitungan tahun sebelumnya.
(3) Usulan perencanaan penyelenggaraan Imunisasi Program
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan
Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan:
a. analisa hasil evaluasi;
b.
upaya yang sudah dilakukan; dan
c. rincian
data
sarana, prasarana, alat, tenaga,
dan
biaya.
(4) Apabila dibutuhkan verifikasi terhadap usulan perencanaan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi dapat dibentuk tim verifikasi
yang terdiri dari unit teknis terkait.
Bagian Ketiga
Penyediaan dan
Distribusi Logistik
Pasal 15
(1) Logistik yang
dibutuhkan dalam
penyelenggaraan
Imunisasi
Program meliputi:
a. Vaksin;
b. ADS;
c. Safety Box;
d. Peralatan Anafilaktik;
e. peralatan Cold Chain;
f. peralatan pendukung Cold Chain; dan
g. Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi.
(2) Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e terdiri
atas:
a. alat penyimpan
Vaksin meliputi cold room, freezer
room,
vaccine refrigerator,
dan freezer;
b. alat transportasi Vaksin
meliputi kendaraan berpendingin khusus, cold box, vaccine carrier,
cool pack, dan cold pack; dan
c. alat
pemantau suhu,
meliputi termometer, termograf, alat pemantau suhu
beku,
alat pemantau/mencatat suhu secara terus-menerus, dan alarm.
(3) Peralatan pendukung
Cold Chain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f meliputi automatic voltage stabilizer (AVS), standby generator, dan
suku cadang peralatan Cold Chain.
Pasal 16
(1) Pemerintah
Pusat
bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pendistribusian logistik Imunisasi
berupa Vaksin, ADS, Safety
Box, dan peralatan Cold Chain
yang dibutuhkan dalam
penyelenggaraan Imunisasi
Program.
(2) Dalam penyediaan Vaksin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) perlu memperhatikan batas masa kadaluarsa.
(3)
Penyediaan dan pendistribusian
peralatan
Cold Chain
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan
bagi fasilitas kesehatan milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(4) Pendistribusian sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
untuk:
a. Vaksin, ADS, dan Safety Box dilaksanakan sampai
ke provinsi; dan
b. Peralatan Cold Chain dilaksanakan sampai ke lokasi
tujuan.
(5) Dalam
hal
terjadi kekosongan atau kekurangan ketersediaan Vaksin di satu
daerah maka Pemerintah Pusat dapat
melakukan relokasi Vaksin dari daerah lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 17
(1) Dalam memenuhi kebutuhan Vaksin,
Menteri
dapat
menugaskan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang produksi Vaksin sesuai dengan
perencanaan
nasional.
(2) Dalam hal badan usaha milik negara
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1)
tidak
dapat memenuhi kebutuhan Vaksin nasional, Menteri dapat menunjuk badan usaha milik negara di bidang kefarmasian
untuk melakukan impor.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap penyediaan:
a. peralatan Cold
Chain, peralatan pendukung Cold
Chain,
Peralatan Anafilaktik, dan Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi
sesuai
dengan kebutuhan; dan
b. ruang untuk menyimpan peralatan
Cold Chain dan
logistik Imunisasi lainnya yang memenuhi standar dan
persyaratan.
(2)
Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a kecuali alat penyimpan
Vaksin.
(3) Peralatan
Cold Chain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri atas cold box, vaccine carrier,
cool pack, cold pack, termometer, termograf, alat pemantau suhu beku, alat pemantau/pencatat
suhu
secara
terus-menerus,
alarm,
dan kendaraan berpendingin khusus.
(4) Peralatan pendukung Cold Chain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi automatic voltage
stabilizer
(AVS), standby generator, dan
suku cadang peralatan Cold Chain.
(5) Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab terhadap
pendistribusian ke seluruh daerah kabupaten/kota
di wilayahnya meliputi:
a.
Vaksin;
b.
ADS;
c.
Safety Box;
d.
Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi;
e. dokumen suhu penyimpanan Vaksin; dan
f. dokumen pencatatan logistik.
(6) Pemerintah
Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pendistribusian ke seluruh Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan
lain di wilayahnya meliputi: a. Vaksin;
b.
ADS;
c.
Safety Box;
d.
Peralatan Anafilaktik;
e. Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi;
dan f. dokumen suhu penyimpanan
Vaksin.
(7) Dalam hal Pemerintah Daerah
provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak
mampu memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Pusat dapat membantu penyediaan peralatan agar kualitas Vaksin tetap
terjaga dengan baik.
Pasal 19
(1) Penyediaan dan
pendistribusian logistik untuk penyelenggaraan Imunisasi
Program dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendistribusian Vaksin harus dilakukan sesuai
standar untuk menjamin kualitas Vaksin
sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Pada kondisi tertentu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berhak menarik Vaksin
yang
beredar
di
fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berupa adanya kebijakan nasional dan/atau hasil kesepakatan internasional.
Pasal 21
Menteri
dapat menetapkan logistik lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan Imunisasi
Program sesuai dengan perkembangan
teknologi dan efektifitas efisiensi pencapaian tujuan program Imunisasi.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan
Pemeliharaan Logistik
Pasal 22
Pemerintah
Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap
penyimpanan dan pemeliharaan logistik Imunisasi Program di wilayah kerjanya.
Pasal 23
(1) Untuk menjaga
kualitas, Vaksin harus
disimpan pada tempat dengan
kendali suhu tertentu.
(2) Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya diperuntukkan khusus menyimpan Vaksin saja.
Bagian Kelima
Tenaga
Pengelola
Pasal 24
(1) Pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab
dalam penyediaan tenaga pengelola untuk
penyelenggaraan Imunisasi Program di wilayahnya
masing-masing.
(2) Tenaga pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas
pengelola program dan pengelola logistik.
(3) Tenaga pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi
tertentu
yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan
yang
dibuktikan dengan sertifikat kompetensi yang diatur dan ditetapkan oleh
Menteri.
(4)
Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah
provinsi dan
Pemerintah
Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Bagian Keenam
Pelaksanaan
Pelayanan
Pasal 25
(1) Pelayanan Imunisasi Program dapat dilaksanakan secara massal atau perseorangan.
(2) Pelayanan Imunisasi
Program
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan keluarga untuk
meningkatkan akses pelayanan imunisasi.
(3) Pelayanan Imunisasi
Program secara massal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan di posyandu, sekolah, atau pos
pelayanan imunisasi lainnya.
(4) Pelayanan
Imunisasi
Program
secara
perseorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan di rumah sakit, Puskesmas, klinik, dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
Pasal 26
(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi Program, wajib menggunakan Vaksin yang disediakan oleh
Pemerintah Pusat.
(2) Dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1):
a. berdasarkan alasan medis yang tidak
memungkinkan
diberikan Vaksin yang disediakan oleh Pemerintah Pusat yang dibuktikan oleh
surat keterangan dokter atau dokumen
medis yang sah; atau
b. dalam
hal
orang
tua/wali anak
melakukan penolakan untuk menggunakan Vaksin
yang disediakan Pemerintah Pusat.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pelanggaraan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau b. pencabutan izin.
(4)
Sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
oleh
Menteri
atau
Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
Pasal 27
(1) Pelaksanaan
pelayanan Imunisasi rutin
harus direncanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggara pelayanan
Imunisasi secara berkala dan berkesinambungan.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) meliputi jadwal pelaksanaan, tempat
pelaksanaan, dan pelaksana pelayanan Imunisasi.
Pasal 28
(1) Pemerintah
Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab menyiapkan biaya operasional untuk
pelaksanaan pelayanan Imunisasi
rutin dan Imunisasi tambahan di Puskesmas, posyandu, sekolah, dan
pos
pelayanan imunisasi lainnya.
(2) Biaya
operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
meliputi biaya:
a.
transportasi dan akomodasi petugas;
b.
bahan habis pakai;
c.
penggerakan masyarakat;
d.
perbaikan serta pemeliharaan peralatan Cold Chain
dan kendaraan Imunisasi;
e. distribusi logistik dari
daerah
kabupaten/kota
sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan; dan
f.
pemusnahan limbah medis Imunisasi.
Pasal 29
(1) Pemerintah
Daerah
provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan jajarannya bertanggung jawab menggerakkan peran aktif
masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan Imunisasi Program.
(2) Penggerakkan peran aktif
masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pemberian informasi melalui
media
cetak,
media
sosial, media
elektronik, dan media luar ruang;
b.
advokasi dan sosialisasi;
c.
pembinaan kader;
d. pembinaan kepada kelompok binaan balita dan anak
sekolah; dan/atau
e. pembinaan organisasi atau
lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 30
Pelayanan Imunisasi Program dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31
Proses pemberian
imunisasi harus memperhatikan:
a. keamanan, mutu, dan khasiat Vaksin yang digunakan;
dan
b. penyuntikan
yang
aman
(safety injection)
agar
tidak
terjadi penularan penyakit terhadap
tenaga kesehatan yang melaksanakan pelayanan
imunisasi dan masyarakat serta menghindari terjadinya KIPI.
Pasal 32
(1) Sebelum pelayanan Imunisasi Program,
tenaga kesehatan harus memberikan penjelasan tentang Imunisasi meliputi jenis Vaksin yang
akan
diberikan,
manfaat,
akibat
apabila tidak diimunisasi, kemungkinan terjadinya KIPI dan upaya yang harus dilakukan, serta jadwal Imunisasi berikutnya.
(2) Penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan alat bantu
seperti media komunikasi massa.
(3) Kedatangan
masyarakat di tempat pelayanan Imunisasi baik dalam gedung maupun
luar
gedung
setelah diberikan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) merupakan persetujuan untuk dilakukan
Imunisasi.
(4)
Dalam
pelayanan Imunisasi Program,
tenaga kesehatan
harus melakukan penyaringan terhadap
adanya kontra indikasi pada
sasaran Imunisasi.
Pasal 33
Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindakan menghalang-halangi penyelenggaraan Imunisasi Program dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Pengelolaan
Limbah
Pasal 34
(1) Rumah sakit, Puskesmas, klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang menyelenggarakan Imunisasi
bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah imunisasi sesuai dengan persyaratan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal penyelenggaraan
Imunisasi dilakukan oleh dokter atau bidan praktek
perorangan,
pemusnahan
limbah vial dan/atau ampul Vaksin harus diserahkan ke institusi yang
mendistribusikan Vaksin.
(3)
Dalam
hal
pelayanan Imunisasi Program yang
dilaksanakan di
posyandu dan sekolah,
petugas pelayanan Imunisasi bertanggung jawab mengumpulkan limbah ADS ke dalam Safety
Box, vial dan/atau ampul
Vaksin untuk selanjutnya
dibawa ke Puskesmas setempat untuk dilakukan pemusnahan limbah Imunisasi
sesuai dengan persyaratan.
(4) Pemusnahan limbah Imunisasi
harus dibuktikan dengan berita
acara.
Bagian Kedelapan
Pemantauan dan
Evaluasi
Pasal 35
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
provinsi,
dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib melaksanakan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan Imunisasi Program secara berkala, berkesinambungan, dan
berjenjang.
(2) Pemantauan
dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk
mengukur kinerja penyelenggaraan Imunisasi.
(3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menggunakan instrumen:
a. pemantauan
wilayah setempat (PWS) untuk pemantauan dan analisis cakupan;
b. data quality self assessment (DQS)
untuk mengukur kualitas data;
c. effective
vaccine
management (EVM)
untuk mengukur kualitas pengelolaan Vaksin dan
alat logistik lainnya;
d. supervisi suportif untuk
memantau kualitas pelaksanaan program;
e. surveilens KIPI untuk
memantau keamanan Vaksin;
f. recording and reporting (RR)
untuk memantau hasil pelaksanaan Imunisasi;
g. stock management system (SMS) untuk memantau
ketersediaan Vaksin dan logistik;
h. Cold Chain equipment
management
(CCEM) untuk inventarisasi peralatan Cold Chain;
i. rapid convinience assessment
(RCA) untuk menilai secara cepat kualitas pelayanan Imunisasi;
j. survei
cakupan
Imunisasi
untuk
menilai
secara eksternal pelayanan Imunisasi; dan
k. pemantauan
respon
imun
untuk
menilai
respon
antibodi hasil pelayanan Imunisasi.
Bagian Kesembilan
Pengaturan Lebih
Lanjut
Pasal 36
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Imunisasi Program
diatur dalam Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
BAB IV
PENYELENGGARAAN IMUNISASI PILIHAN
Pasal 37
(1) Pelayanan Imunisasi Pilihan hanya
dapat dilaksanakan
oleh fasilitas pelayanan
kesehatan berupa:
a. rumah sakit;
b. klinik; atau
c. praktik dokter.
(2) Pelayanan Imunisasi Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dokter atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 38
(1) Setiap proses
pemberian Imunisasi Pilihan
harus memperhatikan keamanan, mutu, dan khasiat Vaksin yang digunakan sesuai
dengan standar yang berlaku.
(2)
Vaksin sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
harus
diperoleh
dari industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dikecualikan
dari ketentuan ayat (2) bagi praktik dokter harus memperoleh Vaksin dari apotek yang memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 39
Penyelenggara
Imunisasi
Pilihan harus bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah Imunisasi
yang dilaksanakan sesuai dengan
persyaratan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI
Pasal 40
(1) Dalam
rangka
pemantauan dan penanggulangan
KIPI, Menteri
membentuk Komnas PP KIPI dan Gubernur membentuk Komda PP KIPI.
(2) Keanggotaan
Komnas PP KIPI dan Komda PP KIPI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit terdiri atas unsur perwakilan
dokter spesialis anak, dokter
spesialis penyakit dalam, dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter
spesialis syaraf,
dokter
spesialis forensik, farmakolog,
vaksinolog dan imunolog, dan/atau
unsur lintas sektor terkait.
(3) Dalam hal dibutuhkan untuk
mendukung tugas
Komda PP KIPI dan Komnas
PP KIPI,
bupati/walikota dapat membentuk
Pokja PP KIPI yang paling sedikit
terdiri atas unsur perwakilan dokter
spesialis
anak dan dokter spesialis penyakit dalam.
(4)
Pembiayaan operasional Komnas
PP
KIPI
dibebankan
pada
anggaran pendapatan belanja negara
dan Komda PP KIPI atau Pokja PP KIPI dibebankan pada anggaran pendapatan
belanja daerah.
(5) Pemantauan dan
penanggulangan KIPI
harus dilaksanakan melalui kegiatan:
a. surveilans KIPI dan
laman
(website) keamanan
Vaksin;
b. pengobatan dan perawatan pasien KIPI; dan
c. penelitian dan pengembangan KIPI.
Pasal 41
(1) Masyarakat yang mengetahui
adanya dugaan terjadinya
KIPI, harus
segera melapor kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan
Imunisasi atau dinas kesehatan setempat.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan yang
melaksanakan pelayanan Imunisasi
atau dinas kesehatan setempat
yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
melakukan investigasi.
(3) Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
harus segera dilaporkan secara berjenjang kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dan
kepala
dinas kesehatan provinsi.
(4) Kepala dinas kesehatan provinsi
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Komnas PP KIPI, Komda PP KIPI, dan Pokja PP KIPI.
(5) Laporan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4)
dapat
disampaikan melalui laman (website) keamanan
Vaksin.
(6) Terhadap
laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
dilakukan kajian etiologi lapangan oleh Komda PP KIPI dan kajian
kausalitas oleh Komnas PP KIPI.
(7) Hasil kajian
KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dan diumpan balik kepada
provinsi.
Pasal 42
(1) Pasien yang mengalami
gangguan
kesehatan diduga akibat KIPI diberikan
pengobatan dan perawatan selama proses investigasi dan
pengkajian kausalitas KIPI
berlangsung.
(2) Dalam hal gangguan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sebagai gangguan kesehatan akibat KIPI,
maka pasien mendapatkan pengobatan
dan perawatan.
(3) Pembiayaan
untuk
investigasi dan
kajian
kasus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibebankan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta
sumber pembiayaan lain sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Pembiayaan untuk pengobatan, perawatan, dan rujukan
bagi seseorang yang mengalami gangguan kesehatan diduga KIPI
atau akibat KIPI dibebankan pada anggaran pendapatan belanja daerah atau sumber pembiayaan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 43
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
provinsi,
dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota berkewajiban untuk memfasilitasi atau melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang Imunisasi.
(2) Penelitian
dan
pengembangan di
bidang
Imunisasi dilakukan melalui unit kerja
pada Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas dan fungsi di bidang penelitian dan pengembangan kesehatan, para
ahli, dan lembaga penelitian lain.
(3)
Penelitian dan pengembangan
di bidang Imunisasi dapat
berupa penelitian dan pengembangan
terkait Vaksin, kekebalan dari Vaksin yang diberikan, manajemen program, sumber daya manusia, dan dampak kesehatan
masyarakat.
(4) Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diutamakan untuk kemandirian dalam negeri dalam rangka memenuhi penyelenggaraan dan keberlanjutan program Imunisasi serta
kebutuhan Vaksin.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 44
(1) Masyarakat termasuk swasta dapat berperan serta dalam
pelaksanaan Imunisasi bekerja sama dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota.
(2) Peran
serta
masyarakat
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dapat diwujudkan melalui:
a. penggerakkan masyarakat;
b. sosialisasi Imunisasi;
c. dukungan fasilitasi penyelenggaraan Imunisasi;
d. keikutsertaan sebagai kader; dan/atau
e. turut serta melakukan pemantauan penyelenggaraan Imunisasi.
BAB VIII PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 45
(1) Setiap
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi harus melakukan pencatatan dan
pelaporan secara rutin dan berkala serta berjenjang
kepada Menteri melalui dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota.
(2)
Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) meliputi cakupan Imunisasi, stok dan pemakaian Vaksin, ADS, Safety Box,
monitoring suhu, kondisi peralatan Cold Chain, dan kasus KIPI atau diduga KIPI.
Pasal 46
(1) Pelaksana
pelayanan Imunisasi harus melakukan pencatatan terhadap pelayanan Imunisasi yang dilakukan.
(2)
Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin dilakukan
di buku
kesehatan ibu dan
anak, buku kohor ibu/bayi/balita, buku rapor kesehatanku, atau buku rekam
medis.
(3) Pencatatan
pelayanan Imunisasi
rutin yang dilakukan
di fasilitas pelayanan
kesehatan swasta wajib dilaporkan setiap bulan ke Puskesmas wilayahnya dengan menggunakan format yang berlaku.
(4) Pencatatan
pelayanan Imunisasi
tambahan dan khusus
dicatat dan dilaporkan dengan format
khusus secara berjenjang kepada
Menteri melalui dinas kesehatan Pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 47
(1) Menteri, Pemerintah Daerah provinsi,
dan
Pemerintah
Daerah kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Imunisasi yang dilaksanakan oleh seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan secara berkala, berjenjang, dan berkesinambungan.
(2) Dalam
hal
pengawasan terhadap Vaksin
untuk Imunisasi, selain dilaksanakan oleh Menteri, Pemerintah
Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota, juga dilakukan oleh kepala badan yang memiliki tugas dan
tanggung jawab
di
bidang pengawasan obat dan makanan.
(3)
Pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan Imunisasi.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Pada
saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 966), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 49
Peraturan
Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Februari 2017
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO
EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2017 NOMOR 559
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN IMUNISASI
PEDOMAN
PENYELENGGARAAN IMUNISASI BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum
perlu diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 melalui
pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Keberhasilan pembangunan kesehatan
sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam satu program kesehatan dengan perencanaan terpadu yang didukung
oleh data dan informasi epidemiologi yang valid.
Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia
saat ini mempunyai beban ganda (double burden), yaitu beban masalah penyakit menular dan penyakit
degeneratif. Pemberantasan penyakit menular sangat
sulit karena penyebarannya tidak mengenal batas wilayah
administrasi. Imunisasi merupakan
salah satu tindakan pencegahan penyebaran penyakit ke wilayah lain yang terbukti
sangat cost effective. Dengan Imunisasi, penyakit cacar
telah berhasil dibasmi, dan Indonesia
dinyatakan bebas dari penyakit cacar pada tahun
1974.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan,
Imunisasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah
terjadinya penyakit menular yang merupakan salah satu kegiatan prioritas
Kementerian Kesehatan sebagai
salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Sustainable
Development Goals (SDGs)
khususnya untuk menurunkan angka kematian pada anak.
Kegiatan Imunisasi diselenggarakan di Indonesia
sejak tahun 1956. Mulai tahun 1977
kegiatan Imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi
(PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak,
Polio,
Tetanus
serta Hepatitis B. Beberapa
penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan komitmen global
yang wajib diikuti oleh semua negara adalah eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak dan rubela dan
Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN).
Indonesia
berkomitmen terhadap mutu pelayanan Imunisasi dengan menetapkan standar
pemberian suntikan yang aman (safe injection
practices)
bagi penerima suntikan, petugas dan
lingkungan terkait dengan pengelolaan limbah medis tajam yang aman (waste
disposal management).
Cakupan
Imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata di
seluruh wilayah.
Hal ini bertujuan
untuk menghindarkan terjadinya daerah kantong yang akan
mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk mendeteksi dini terjadinya peningkatan kasus penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, Imunisasi perlu didukung oleh upaya surveilans epidemiologi.
Masalah lain yang harus dihadapi adalah munculnya kembali PD3I yang sebelumnya telah berhasil ditekan (Reemerging Diseases), maupun penyakit menular baru (New Emerging Diseases) yaitu penyakit-penyakit
yang tadinya tidak dikenal (memang belum ada, atau sudah ada tetapi
penyebarannya sangat terbatas;
atau sudah ada
tetapi tidak menimbulkan gangguan
kesehatan yang serius pada manusia).
Seiring dengan
kemajuan ilmu
pengetahuan dan
teknologi,
penyelenggaraan
Imunisasi terus berkembang antara lain dengan pengembangan vaksin baru (Rotavirus, Japanese Encephalitis, Pneumococcus, Dengue Fever dan lain-lain)
serta penggabungan beberapa jenis
vaksin sebagai vaksin kombinasi misalnya DPT-HB-Hib.
Penyelenggaraan Imunisasi
mengacu pada kesepakatan-kesepakatan
internasional untuk
pencegahan dan pemberantasan
penyakit, antara lain:
1. WHO
melalui
WHA tahun 2012 merekomendasikan
rencana
aksi
global tahun 2011-2020
menetapkan cakupan Imunisasi nasional minimal 90%, cakupan Imunisasi di Kabupaten/Kota minimal 80%,
eradikasi
polio
tahun
2020,
eliminasi
campak
dan
rubela
serta
introduksi vaksin baru;
2.
Mempertahankan status Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal
(ETMN);
3. Himbauan
dari
WHO
dalam
global health sector strategy
on
viral
hepatitis 2030 target eliminasi
virus
hepatitis termasuk virus
hepatitis B;
4.
WHO/UNICEF/UNFPA tahun 1999 tentang Joint Statement on
the
Use
of
Autodisable
Syringe in Immunization Services;
5. Konvensi Hak Anak: Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1999 tertanggal 25
Agustus
1990,
yang
berisi
antara
lain tentang hak anak untuk memperoleh kesehatan dan
kesejahteraan dasar;
6. The Millenium Development Goals (MDGs) pada
tahun 2000 yang meliputi goal 4: tentang
reduce child mortality,
goal 5: tentang improve maternal
health, goal
6: tentang combat HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain (yang disertai
dukungan teknis dari UNICEF); dan dilanjutkan dengan Sustainable
Development
Goals
(SDGs) 2016-
2030.
7. Resolusi Regional Committee, 28 Mei 2012 tentang
Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubela, mendesak
negara-negara anggota untuk mencapai eliminasi
campak
pada
tahun 2015 dan melakukan
pengendalian penyakit rubela;
8.
WHO-UNICEF
tahun 2010 tentang Joint Statement on Effective
Vaccine
Management Initiative.
B.
Tujuan
1.
Tujuan
Umum
Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I).
2.
Tujuan
Khusus
a. Tercapainya cakupan Imunisasi dasar
lengkap (IDL) pada bayi
sesuai target RPJMN.
b. Tercapainya
Universal Child Immunization/UCI (Prosentase minimal 80% bayi yang mendapat IDL disuatu
desa/kelurahan) di seluruh desa/kelurahan
c. Tercapainya target Imunisasi lanjutan
pada anak umur di bawah
dua tahun (baduta) dan pada anak usia sekolah dasar serta Wanita Usia Subur
(WUS).
d. Tercapainya reduksi, eliminasi, dan eradikasi
penyakit
yang
dapat dicegah dengan Imunisasi.
e. Tercapainya perlindungan optimal kepada masyarakat yang akan berpergian ke
daerah endemis penyakit tertentu.
f. Terselenggaranya pemberian Imunisasi
yang
aman
serta pengelolaan limbah medis (safety injection practise and waste
disposal management).
C.
Kebijakan
Berbagai kebijakan telah
ditetapkan untuk
mencapai tujuan penyelenggaraan Imunisasi
yaitu:
1. Penyelenggaraan Imunisasi dilaksanakan
oleh
pemerintah,
swasta
dan masyarakat, dengan
mempertahankan
prinsip
keterpaduan antara pihak terkait.
2. Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan Imunisasi dengan
melibatkan berbagai sektor terkait.
3. Mengupayakan kualitas pelayanan yang
bermutu.
4. Mengupayakan kesinambungan penyelenggaraan melalui perencanaan program dan anggaran terpadu.
D.
Strategi
1. Peningkatan
cakupan
Imunisasi program
yang
tinggi
dan merata melalui:
a. penguatan PWS
dengan
memetakan wilayah berdasarkan
cakupan dan analisa masalah untuk menyusun kegiatan dalam rangka mengatasi permasalahan
setempat.
b. menyiapkan
sumber
daya
yang
dibutuhkan termasuk tenaga yang terampil, logistik
(vaksin, alat suntik, safety
box dan cold chain terstandar), biaya dan sarana pelayanan.
c. terjaganya kualitas dan mutu pelayanan.
d. pendekatan
keluarga sebagai
upaya
untuk
meningkatkan jangkauan sasaran dan
mendekatkan akses pelayanan
Imunisasi di wilayah kerja Puskesmas.
e. pemberdayaan masyarakat melalui TOGA, TOMA, aparat desa dan kader sehingga masyarakat mau dan
mampu menjangkau pelayanan Imunisasi.
f. pemerataan jangkauan
terhadap semua desa/kelurahan yang sulit atau tidak terjangkau
pelayanan.
g. peningkatan dan pemerataan
jangkauan pelayanan, baik yang
stasioner maupun yang menjangkau masyarakat di daerah sulit.
h. pelacakan sasaran yang belum atau tidak lengkap mendapatkan
pelayanan Imunisasi (Defaulter Tracking)
diikuti dengan upaya Drop Out Follow Up
(DOFU) dan sweeping.
2. Membangun kemitraan dengan
lintas
sektor,
lintas
program,
organisasi profesi, kemasyarakatan dan
keagamaan dalam meningkatkan
kuantitas serta kualitas pelayanan Imunisasi.
3. Melakukan
advokasi,
sosialisasi,
dan
pembinaan
secara
terus-
menerus
4. Menjaga kesinambungan program, baik
perencanaan maupun anggaran (APBN, APBD, LSM dan
masyarakat).
5. Memberikan
perhatian
khusus
untuk
wilayah
rawan
sosial dan rawan penyakit (KLB).
6.
Melaksanakan kesepakatan global:
Eradikasi Polio, Eliminasi Tetanus
Maternal dan Neonatal, Eliminasi
Campak dan Rubela.
BAB II
JENIS DAN JADWAL
IMUNISASI
A.
Imunisasi
Program
Imunisasi Program adalah Imunisasi yang diwajibkan kepada seseorang sebagai bagian dari
masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan
masyarakat sekitarnya dari
penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi. Imunisasi Program
terdiri atas Imunisasi rutin, Imunisasi
tambahan, dan Imunisasi khusus.
Menteri dapat
menetapkan jenis Imunisasi
Program selain yang diatur dalam Peraturan Menteri ini
dengan mempertimbangkan rekomendasi
dari Komite Penasehat Ahli Imunisasi
Nasional (Indonesian Technical Advisory
Group on Immunization).
Introduksi Imunisasi baru ke dalam Imunisasi
program dapat diawali dengan kampanye atau
demonstrasi program di
lokasi terpilih sesuai
dengan epidemiologi penyakit.
Imunisasi
diberikan pada sasaran yang sehat untuk itu sebelum
pemberian Imunisasi diperlukan
skrining untuk menilai kondisi sasaran.
Prosedur skrining sasaran meliputi:
1.
Kondisi sasaran;
2.
Jenis dan manfaat Vaksin yg diberikan;
3.
Akibat bila tidak diImunisasi;
4.
Kemungkinan KIPI dan
upaya yang harus dilakukan; dan
5.
Jadwal Imunisasi berikutnya.
Gambar 1. Sistematika Skrining Pemberian Imunisasi
1.
Imunisasi
Rutin
a.
Imunisasi
Dasar
Tabel 1. Jadwal Pemberian Imunisasi
Umur |
Jenis |
Interval
Minimal untuk jenis Imunisasi yang
sama |
0-24 Jam |
Hepatitis B |
|
1 bulan |
BCG, Polio 1 |
|
2 bulan |
DPT-HB-Hib 1, Polio 2 |
1 bulan |
3 bulan |
DPT-HB-Hib 2, Polio 3 |
|
4 bulan |
DPT-HB-Hib 3, Polio 4, IPV |
|
9 bulan |
Campak |
|
Catatan :
• Pemberian Hepatitis B paling optimal diberikan
pada bayi
<24
jam pasca persalinan, dengan didahului suntikan vitamin K1 2-3 jam
sebelumnya, khusus daerah dengan akses sulit,
pemberian Hepatitis B masih diperkenankan sampai <7 hari.
• Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit,
Klinik
dan Bidan
Praktik Swasta, Imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan.
• Pemberian BCG optimal diberikan sampai usia 2 bulan, dapat diberikan sampai
usia
<1
tahun
tanpa
perlu melakukan tes mantoux.
• Bayi yang telah mendapatkan Imunisasi dasar DPT-HB-
Hib 1, DPT-HB-Hib 2, dan DPT-HB-Hib 3 dengan jadwal
dan interval sebagaimana Tabel 1,
maka dinyatakan mempunyai status Imunisasi T2.
• IPV
mulai diberikan secara nasional pada
tahun 2016
• Pada
kondisi tertentu, semua jenis vaksin kecuali
HB 0 dapat diberikan sebelum
bayi berusia 1 tahun.
b.
Imunisasi
Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk menjamin terjaganya tingkat imunitas pada anak baduta, anak usia
sekolah, dan wanita usia subur (WUS)
termasuk ibu hamil.
Vaksin DPT-HB-Hib
terbukti aman
dan memiliki efikasi yang
tinggi, tingkat kekebalan
yang protektif akan
terbentuk pada bayi yang sudah mendapatkan tiga dosis Imunisasi DPT-
HB-Hib.Walau Vaksin sangat efektif melindungi kematian dari penyakit difteri,
secara keseluruhan efektivitas melindungi gejala penyakit hanya berkisar 70-90
%.
Hasil penelitian (Kimura et al,1991) menunjukkan bahwa titer antibodi yang terbentuk setelah dosis
pertama <0.01 IU/mL dan setelah
dosis kedua berkisar 0.05-0.08 IU/mL
dan setelah 3 dosis menjadi 1,5 -1,7 IU/mL
dan menurun pada usia 15-18
bulan menjadi 0.03 IU/mL sehingga dibutuhkan booster. Setelah booster diberikan didapatkan titer antibodi yang tinggi
sebesar
6,7 – 10.3 IU/mL.
Hasil serologi yang didapat pada anak yang diberikan DPT- HB-Hib
pada usia 18-24
bulan berdasarkan penelitian
di Jakarta dan Bandung
(Rusmil et al,2014)
diketahui Anti D 99.7
%, Anti T
100 %, HbSAg 99.5%. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa Imunisasi DPT harus diberikan 3 kali dan
tambahan pada usia 15-18 bulan untuk meningkatkan titer anti bodi pada
anak-anak.
Penyakit lain yang membutuhkan
pemberian Imunisasi lanjutan pada usia baduta adalah campak. Penyakit
campak adalah penyakit
yang sangat mudah
menular dan mengakibatkan komplikasi yang berat.
Vaksin campak memiliki efikasi kurang lebih 85%, sehingga masih terdapat
anak-anak yang belum memiliki kekebalan dan menjadi
kelompok rentan terhadap penyakit campak.
Tabel 2. Jadwal
Imunisasi Lanjutan
pada Anak Bawah
Dua
Tahun
Umur |
Jenis Imunisasi |
Interval minimal setelah Imunisasi
dasar |
18 bulan |
DPT-HB-Hib |
12 bulan dari DPT-HB-Hib
3 |
Campak |
6 bulan dari Campak dosis pertama |
Catatan:
• Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib dan
Campak dapat
diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan
• Baduta yang
telah
lengkap Imunisasi
dasar
dan mendapatkan Imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan
mempunyai status Imunisasi T3.
Hasil serologi
Campak sebelum
dilakukan Imunisasi
campak pada anak sekolah
dasar diketahui titer antibodi
terhadap campak adalah 52,60% – 65,56%. Setelah Imunisasi campak pada BIAS diketahui titer antibodi meningkat menjadi
96.69%
- 96.75% (SRH, 2009).
Hasil serologi Difteri
sebelum dilakukan Imunisasi
difteri pada anak sekolah
dasar diketahui titer antibodi adalah 20.13%
–
29,96%
setelah
Imunisasi
difteri
pada
BIAS diketahui titer antibodi meningkat menjadi 92.01% - 98.11% (SRH, 2011).
Tabel 3. Jadwal
Imunisasi Lanjutan
pada Anak Usia Sekolah Dasar
Sasaran |
Imunisasi |
Waktu Pelaksanaan |
Kelas 1 SD |
Campak
DT |
Agustus
November |
Kelas 2 SD |
Td |
November |
Kelas 5 SD |
Td |
November |
Catatan
• Anak usia sekolah dasar yang telah lengkap Imunisasi dasar
dan Imunisasi lanjutan
DPT-HB-Hib serta mendapatkan Imunisasi DT dan Td dinyatakan mempunyai status Imunisasi T5.
Tabel 4. Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS)
Status Imunisasi |
Interval Minimal Pemberian |
Masa Perlindungan |
T1 |
- |
- |
T2 |
4 minggu setelah T1 |
3
tahun |
T3 |
6 bulan setelah T2 |
5
tahun |
T4 |
1 tahun setelah T3 |
10 tahun |
T5 |
1 tahun setelah T4 |
Lebih dari 25 tahun |
Catatan:
• Sebelum Imunisasi,
dilakukan
penentuan status Imunisasi
T (screening) terlebih dahulu, terutama pada saat pelayanan antenatal.
• Pemberian Imunisasi Td tidak perlu diberikan, apabila
status T sudah mencapai T5, yang harus dibuktikan dengan buku
Kesehatan Ibu dan Anak, kohort dan/atau rekam medis.
2.
Imunisasi
Tambahan
Yang termasuk dalam
kegiatan Imunisasi Tambahan adalah:
a. Backlog fighting
Merupakan upaya aktif
di tingkat Puskesmas untuk melengkapi Imunisasi dasar pada anak yang berumur di bawah
tiga tahun. Kegiatan ini diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa yang selama
dua tahun berturut-turut
tidak
mencapai UCI.
b. Crash
program
Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat Puskesmas yang ditujukan untuk wilayah yang memerlukan
intervensi secara cepat untuk mencegah
terjadinya KLB. Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan crash program
adalah:
1) Angka kematian bayi akibat PD3I tinggi;
2) Infrastruktur
(tenaga, sarana, dana) kurang; dan
3) Desa
yang selama tiga tahun berturut-turut tidak mencapai
UCI.
Crash
program bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis Imunisasi, misalnya campak,
atau campak terpadu dengan polio.
c. Pekan Imunisasi
Nasional (PIN)
Merupakan kegiatan Imunisasi massal yang dilaksanakan secara serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat. PIN
bertujuan untuk memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit dan meningkatkan herd immunity (misalnya
polio, campak, atau Imunisasi
lainnya). Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa memandang status Imunisasi
sebelumnya.
d. Cath
Up Campaign (Kampanye)
Merupakan kegiatan Imunisasi Tambahan
massal yang dilaksanakan serentak pada
sasaran kelompok umur dan wilayah tertentu dalam upaya memutuskan transmisi penularan
agent (virus atau bakteri)
penyebab PD3I. Kegiatan ini biasa
dilaksanakan pada awal pelaksanaan kebijakan pemberian Imunisasi, seperti
pelaksanaan jadwal pemberian Imunisasi
baru.
e. Sub PIN
Merupakan kegiatan
serupa dengan PIN
tetapi dilaksanakan pada wilayah terbatas (beberapa provinsi atau
kabupaten/kota).
f. Imunisasi
dalam
Penanggulangan
KLB
(Outbreak Response
Immunization/ORI)
Pedoman pelaksanaan Imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan dengan
situasi epidemiologis penyakit masing- masing.
3.
Imunisasi
Khusus
a.
Imunisasi
Meningitis Meningokokus
1) Meningitis meningokokus adalah
penyakit
akut
radang
selaput otak yang
disebabkan oleh
bakteri
Neisseria meningitidis.
2) Meningitis merupakan salah
satu
penyebab utama
kesakitan dan kematian
di seluruh dunia.
Case fatality
rate-nya melebihi 50%,
tetapi dengan diagnosis dini, terapi
modern dan suportif, case fatality rate menjadi
5-15%.
3) Pencegahan
dapat
dilakukan dengan Imunisasi dan profilaksis untuk orang-orang yang kontak
dengan
penderita meningitis dan carrier.
4) Imunisasi meningitis meningokokus diberikan kepada masyarakat yang akan melakukan
perjalanan ke negara endemis meningitis, yang belum mendapatkan Imunisasi
meningitis atau sudah habis
masa
berlakunya
(masa
berlaku 2 tahun).
5) Pemberian Imunisasi meningitis meningokokus diberikan minimal
30 (tiga puluh) hari sebelum keberangkatan. Setelah divaksinasi, orang
tersebut diberi
ICV yang mencantumkan tanggal pemberian Imunisasi.
6) Bila Imunisasi
diberikan kurang dari
14 (empat belas) hari
sejak keberangkatan ke negara yang endemis meningitis atau ditemukan adanya
kontraindikasi terhadap Vaksin meningitis, maka harus
diberikan profilaksis dengan
antimikroba yang sensitif terhadap Neisseria Meningitidis.
7) Bagi yang
datang
atau
melewati negara
terjangkit meningitis harus
bisa menunjukkan sertifikat vaksin
(ICV)
yang
masih berlaku sebagai bukti bahwa
mereka telah mendapat Imunisasi meningitis.
b.
Imunisasi
Yellow Fever
(Demam Kuning)
1) Demam kuning adalah
penyakit infeksi virus akut dengan durasi pendek masa inkubasi 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) hari dengan tingkat mortalitas yang
bervariasi. Disebabkan oleh virus
demam
kuning
dari
genus Flavivirus, famili Flaviviridae, vektor perantaranya adalah
nyamuk Aedes aegypti.
2) Icterus sedang kadang ditemukan pada awal penyakit.
Setelah remisi singkat selama beberapa jam hingga 1 (satu)
hari, beberapa kasus berkembang menjadi stadium intoksikasi yang lebih
berat ditandai dengan gejala
perdarahan seperti epistaksis (mimisan), perdarahan ginggiva, hematemesis
(muntah
seperti warna air kopi atau hitam), melena, gagal ginjal dan hati,
20%-50% kasus ikterus berakibat fatal.
3) Secara keseluruhan mortalitas kasus di
kalangan penduduk asli
di daerah endemis sekitar 5% tapi dapat
mencapai 20% - 40% pada wabah tertentu.
4) Pencegahan dapat dilakukan
dengan
Imunisasi demam
kuning yang
akan memberikan kekebalan
efektif bagi semua orang yang
akan melakukan perjalanan berasal dari negara atau ke negara/daerah endemis
demam kuning.
5)
Vaksin demam kuning
efektif
memberikan
perlindungan
99%.
Antibodi terbentuk 7-10 hari sesudah Imunisasi dan bertahan seumur hidup.
6) Semua orang yang melakukan perjalanan, berasal dari negara atau ke negara yang dinyatakan endemis demam kuning (data negara endemis dikeluarkan oleh WHO
yang selalu di update) kecuali bayi di bawah 9 (sembilan) bulan dan ibu hamil trimester pertama harus diberikan Imunisasi
demam kuning, dan
dibuktikan dengan
International Certificate
of
Vaccination (ICV).
7) Bagi
yang datang atau melewati
negara terjangkit demam
kuning harus
bisa
menunjukkan
sertifikat vaksin (ICV)
yang masih
berlaku
sebagai
bukti
bahwa mereka telah
mendapat Imunisasi demam kuning. Bila ternyata belum bisa
menunjukkan ICV (belum diImunisasi), maka terhadap mereka harus dilakukan isolasi selama 6 (enam) hari, dilindungi dari gigitan nyamuk
sebelum diijinkan melanjutkan perjalanan
mereka. Demikian juga
mereka yang surat vaksin
demam
kuningnya
belum
berlaku,
diisolasi sampai ICVnya berlaku.
8) Pemberian Imunisasi demam kuning kepada orang
yang
akan menuju negara endemis demam kuning selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum
berangkat, bagi yang belum pernah diImunisasi.
Setelah divaksinasi, diberi ICV dan tanggal pemberian vaksin dan yang
bersangkutan setelah itu harus menandatangani di ICV. Bagi
yang belum dapat melakukan tanda tangan (anak-anak), maka yang menandatanganinya orang tua yang
mendampingi bepergian.
c.
Imunisasi
Rabies
1) Penyakit
anjing
gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang
ditularkan oleh anjing, kucing
dan kera.
2) Penyakit ini bila sudah
menunjukkan
gejala
klinis
pada
hewan dan
manusia
selalu
diakhiri
dengan
kematian,
sehingga mengakibatkan timbulnya rasa cemas dan takut bagi orang-orang
yang terkena
gigitan dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat pada umumnya. Vaksin rabies dapat mencegah kematian pada
manusia
bila diberikan secara dini pasca
gigitan.
3) Vaksin
anti rabies (VAR) manusia diberikan kepada seluruh
kasus
gigitan hewan penular rabies (HPR) yang berindikasi, sehingga kemungkinan kematian akibat rabies dapat dicegah.
d.
Imunisasi
Polio
1) Polio adalah penyakit lumpuh layu yang disebabkan oleh virus Polio liar
yang dapat menimbulkan kecacatan
atau kematian
2) Pencegahan dapat dilakukan dengan Imunisasi untuk
orang-orang yang
kontak dengan penderita polio
dan
carrier.
3) Imunisasi Polio
diberikan kepada
orang yang
belum mendapat Imunisasi dasar lengkap
pada bayi atau tidak
bisa menunjukkan catatan Imunisasi/buku KIA, yang akan
melakukan perjalanan ke negara endemis atau terjangkit polio. Imunisasi diberikan minimal
14 (empat belas)
hari sebelum keberangkatan, dan
dicatatkan dalam sertifikat vaksin (International Certificate
of
Vaccination).
4) Bagi yang datang dari negara endemis atau terjangkit polio atau transit
lebih dari 4 minggu di negara endemis polio harus bisa menunjukkan sertifikat vaksin (International
Certificate of Vaccination) yang masih berlaku sebagai bukti bahwa
mereka telah mendapat Imunisasi polio.
B.
Imunisasi
Pilihan
Imunisasi
pilihan adalah Imunisasi lain yang tidak termasuk dalam Imunisasi program, namun dapat diberikan pada bayi, anak, dan dewasa sesuai dengan kebutuhannya
dan pelaksanaannya juga dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang berkompeten sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sesuai dengan kebutuhan program, Menteri dapat menetapkan jenis
Imunisasi pilihan menjadi Imunisasi program setelah
mendapat rekomendasi dari ITAGI. Dalam
membuat rekomendasi, ITAGI
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Beban penyakit (burden of disease);
2. Penilaian Vaksin, yang terdiri
dari:
kemampuan
vaksin
untuk
menimbulkan kekebalan (efficacy),
keamanan vaksin
(safety),
ketersediaan vaksin yang terus
menerus (sustainable), keterjangkauan harga (affordable);
3.
Cost effectiveness dari
vaksin;
4. Memperkuat
kesehatan Nasional (National Health Security), setelah dilakukan analisis terhadap
manfaat yang didapat dari vaksin ini terhadap kesehatan masyarakat (Public Health
Impact
Analysis) sehingga sudah menjadi prioritas
untuk diberikan; dan
5. Kesinambungan pembiayaan.
Introduksi
Imunisasi Pilihan ke dalam Imunisasi
Program dapat diawali dengan kampanye atau demonstrasi program di lokasi
terpilih sesuai dengan epidemiologi penyakit.
Beberapa vaksin yang digunakan dalam pelaksanaan Imunisasi
Pilihan saat ini adalah;
1.
Vaksin Measles, Mumps,
Rubela :
a. Vaksin MMR
bertujuan untuk
mencegah Measles (campak), Mumps (gondongan) dan Rubela merupakan
vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada suhu 2–80C atau lebih dingin dan terlindung dari
cahaya.
b. Vaksin
harus digunakan dalam waktu
1 (satu) jam setelah
dicampur
dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terhindar dari cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan
cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar.
c.
Rekomendasi:
1) Vaksin MMR harus diberikan
sekalipun ada riwayat
infeksi campak, gondongan dan rubela atau sudah mendapatkan Imunisasi campak.
2) Anak dengan
penyakit kronis
seperti
kistik
fibrosis, kelainan jantung bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
3) Anak
berusia ≥ 1 tahun yang berada di
day care centre,
family day care dan
playgroups.
4) Anak yang tinggal di lembaga cacat
mental. d. Kontra Indikasi:
1) Anak dengan
penyakit keganasan yang tidak
diobati atau dengan gangguan imunitas, yang mendapat pengobatan dengan
imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi
(ekuivalen dengan 2 mg/kgBB/hari
prednisolon)
2) Anak dengan
alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas,
hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin
3) Pemberian MMR harus ditunda pada anak dengan demam
akut, sampai penyakit ini sembuh
4) Anak yang mendapat vaksin hidup
yang
lain
(termasuk
BCG
dan vaksin virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada
keadaan
ini Imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah Imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin.
5) Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat Imunisasi MMR (karena komponen
rubela) dan dianjurkan untuk
tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat suntikan MMR.
6) Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan
setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah yang mengandung
imunoglobulin (whole blood, plasma).
Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh diberikan
dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.
7) Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi
HIV).
Sebenarnya HIV
bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus
tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk
pada dokter
spesialis anak (konsultan).
e.
Dosis:
Dosis tunggal
0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan dalam.
f.
Jadwal:
1)
Diberikan pada usia 12–18 bulan.
2) Pada populasi dengan insidens penyakit
campak dini yang
tinggi, Imunisasi MMR
dapat
diberikan pada
usia
9 (sembilan) bulan.
2.
Vaksin Tifoid
a.
Vaksin tifoid polisakarida parenteral
1) Susunan vaksin polisakarida: setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhii;
polisakarida 0,025 mg; fenol dan
larutan bufer yang mengandung natrium klorida,
disodium fosfat, monosodium fosfat.
2)
Penyimpanan pada suhu 2 – 80C, jangan dibekukan
3) Kadaluwarsa dalam 3 tahun b. Rekomendasi:
Vaksin Polisakarida Parenteral diberikan untuk anak usia
≥ 2 tahun.
c.
Kontra Indikasi:
1)
Alergi terhadap bahan-bahan dalam
vaksin.
2) Pada saat demam,
penyakit akut maupun penyakit kronik progresif
d.
Dosis dan Jadwal:
1) Dosis 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha
2)
Imunisasi
ulangan tiap 3 tahun
3) Daya proteksi
vaksin ini hanya 50%-80%,
walaupun telah
mendapatkan Imunisasi tetap dianjurkan untuk memilih
makanan dan minuman yang higienis
3.
Vaksin Varisela
a. Vaksin
virus
hidup
varisela-zoster
yang dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk kering
b. Penyimpanan pada suhu 2–80C
c.
Vaksin dapat diberikan bersama dengan
vaksin MMR (MMR/V)
d. Infeksi setelah terpapar
apabila telah diImunisasi dapat
terjadi pada 1%-2% kasus setahun,
tetapi infeksi umumnya bersifat ringan
e.
Rekomendasi:
1)
Vaksin diberikan mulai umur masuk
sekolah (5 tahun)
2)
Pada
anak ≥ 13 tahun vaksin
dianjurkan untuk diberikan
dua kali selang 4 minggu
3) Pada keadaan terjadi
kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam
setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak berhubungan)
f. Kontra Indikasi:
1)
Demam tinggi
2) Hitung
limfosit
kurang
dari
1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi
3) Pasien yang
mendapat pengobatan dosis
tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per
hari atau lebih)
4) Alergi neomisin g. Dosis dan Jadwal:
Dosis 0,5 ml suntikan secara
subkutan, dosis tunggal.
4.
Vaksin Hepatitis A
a.
Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan
(inactivated vaccine).
b. Pemberian
bersama vaksin lain tidak mengganggu respon
imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan
frekuensi efek samping.
c.
Rekomendasi:
1)
Populasi risiko tinggi tertular Virus
Hepatitis A (VHA).
2)
Anak
usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis.
Pada usia >2 tahun antibodi maternal
sudah menghilang. Di lain pihak,
kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap makanan dan minuman yang tercemar.
3) Pasien Penyakit Hati
Kronis,
berisiko tinggi
hepatitis fulminan bila tertular VHA.
4) Kelompok lain: pengunjung ke daerah
endemis; penjamah
makanan;
anak usia 2–3 tahun di Tempat Penitipan Anak (TPA); staf TPA; staf dan penghuni institusi untuk cacat
mental; pria homoseksual dengan pasangan ganda; pasien koagulopati; pekerja
dengan primata; staf bangsal
neonatologi.
d.
Kontra Indikasi:
Vaksin VHA
tidak boleh
diberikan kepada individu yang mengalami reaksi berat sesudah
penyuntikan dosis pertama
e.
Dosis dan Jadwal:
1)
Dosis vaksin bervariasi tergantung
produk dan usia resipien
2) Vaksin
diberikan
2
kali,
suntikan
kedua atau booster bervariasi antara 6
sampai 18 bulan setelah dosis pertama,
tergantung produk
3) Vaksin diberikan pada usia ≥ 2 tahun
5.
Vaksin Influenza
a. Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza
virus).
b.
Vaksin influenza mengandung antigen
dari dua sub tipe virus
c. influenza
A dan satu sub
tipe
virus
influenza B, subtipenya
setiap tahun direkomendasikan oleh WHO
berdasarkan
surveilans epidemiologi seluruh dunia.
d. Untuk menjaga
agar daya proteksi berlangsung terus-menerus,
maka perlu dilakukan
vaksinasi secara teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang mengandung
galur yang mutakhir.
e.
Vaksin influenza inaktif aman dan
imunogenesitas tinggi.
f.
Vaksin
influenza harus disimpan dalam Vaccine
Refrigerator
dengan
suhu 2º- 8ºC. Tidak boleh dibekukan. g.
Rekomendasi:
1)
Semua orang usia ≥ 65 tahun
2) Anak
dengan
penyakit
kronik
seperti
asma,
diabetes,
penyakit ginjal dan kelemahan sistem imun
3) Anak dan dewasa yang menderita
penyakit
metabolik
kronis, termasuk diabetes, penyakit disfungsi ginjal,
hemoglobinopati dan imunodefisiensi
4) Orang
yang bisa menularkan virus
influenza ke seseorang
yang berisiko
tinggi mendapat komplikasi
yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas kesehatan dan petugas
di tempat perawatan dan
orang-orang sekitarnya, semua orang
yang kontak serumah, pengasuh anak
usia 6–23 bulan, dan orang-orang yang
melayani atau erat dengan orang yang mempunyai risiko tinggi
5)
Imunisasi
influenza dapat diberikan kepada anak
sehat usia
6–23
bulan h. Kontra Indikasi
1) Individu
dengan
hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza sebelumnya dan protein
telur
jangan diberi vaksinasi influenza
2) Termasuk ke dalam kelompok
ini seseorang yang setelah makan telur mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau
mengalami distres nafas akut atau pingsan
3) Vaksin influenza
tidak boleh diberikan
pada seseorang yang sedang
menderita penyakit demam akut yang berat
i.
Jadwal dan Dosis
1) Dosis untuk anak usia kurang dari 2
tahun adalah 0,25 ml
dan usia lebih dari 2 tahun adalah 0,5 ml
2) Untuk anak yang pertama
kali mendapat vaksin influenza pada usia ≤
8 tahun, vaksin
diberikan 2
dosis dengan selang waktu minimal
4
minggu,
kemudian Imunisasi
diulang setiap tahun
3) Vaksin influenza
diberikan secara suntikan
intra muskular di otot
deltoid
pada
orang
dewasa
dan
anak
yang
lebih
besar, sedangkan untuk
bayi
diberikan di
paha anterolateral
4) Pada anak atau dewasa dengan
gangguan imun, diberikan dua (2) dosisdengan jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan
5)
Bila
anak usia ≥ 9 tahun cukup diberikan satu kali saja,
teratur, setiap tahun satu kali
6.
Vaksin Pneumokokus
Terdapat
dua macam
vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus polisakarida (Pneumococcal Polysacharide Vaccine/PPV) dan vaksin pneumokokus konyugasi (Pneumococcal Conjugate Vaccine/PCV).
Tabel 5. Perbandingan PPV dan
PCV
Pneumococcal
Polysacharide Vaccine |
Pneumococcal Conjugate Vaccine |
Polisakarida bakteri |
Konjugasi
polisakarida dengan protein difteri |
T-independent antigen |
T-dependent |
Kurang imunogenik pada anak <2 tahun, rekomendasi untuk usia >2 tahun |
Kurang
imunogenik pada anak usia <2 tahun |
Imunitas
jangka pendek, tidak |
Mempunyai memori jangka panjang, respon booster positif |
ada respon booster |
|
PPV 23 : 14, 6B, 19F,
18C, 23F, |
PCV 10: 4, 6B, 9V,
14, 18C, 19F, |
4, 9V, 19A, 6A, 7F, 3, 1, 9N, |
23F, 1, 5, dan 7F |
22F, 18B, 15C, 12F, 11A, 18F, |
PCV 13: 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, |
33F, 10A, 38, 13 |
23F, 1, 5, 7F, 3, 6A, dan 19A |
Rekomendasi:
a.
Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV)
diberikan pada:
1)
Lansia usia > 65 tahun
2) Anak usia > 2 tahun yang mempunyai
risiko tinggi IPD
(Invasive Pneumococcal Disease)
yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau didapat), penyakit
sickle cell, splenic dysfunction dan HIV.
Imunisasi diberikan dua minggu sebelum
splenektomi
3) Pasien
usia
>
2
tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma,
penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ
4) Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompeten yang
menderita penyakit kronis yaitu penyakit paru atau ginjal
kronis, diabetes
5)
Pasien usia > 2 tahun kebocoran
cairan serebrospinal
b. Vaksin Pneumokokus konyugasi (PCV)
direkomendasikan pada:
1)
Semua anak sehat usia 2 bulan – 5
tahun;
2) Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan
asplenia baik kongenital atau didapat,
termasuk
anak
dengan penyakit sicklecell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum splenektomi;
3) Pasien dengan imunokom promais
yaitu HIV/AIDS, sindrom
nefrotik, multipel mieloma, limfoma,
penyakit Hodgkin, dan transplantasi
organ;
4) Pasien dengan imunokompeten
yang
menderita
penyakit
kronis yaitu penyakit paru atau
ginjal kronis, diabetes;
5)
Pasien kebocoran cairan serebrospinal;
dan
6) Selain itu juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah
yang huniannya padat, lingkungan merokok, di panti
asuhan dan sering terserang akut otitis media
7)
Jadwal dan Dosis:
a)
Vaksin
PCV diberikan pada bayi umur 2, 3 bulan
dan
12 bulan;
b)
Pemberian PCV minimal umur 6 minggu;
c)
Interval antara
dosis pertama dan kedua 4 minggu;
dan
d) Apabila
anak
datang tidak sesuai jadwal pemberian Imunisasi pneumokokus
konyugasi yang telah ditetapkan maka jadwal dan
dosis seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 6.
Jadwal dan Dosis Vaksin Pneumokokus Konyugasi (PCV)
untuk Anak Datang di Luar Jadwal
Imunisasi
Imunisasi |
Dosis vaksin yang diberikan |
Interval |
Keterangan tambahan |
Jika anak |
2 dosis |
Minimal 1 |
Dosis ketiga |
belum |
Imunisasi
dasar |
bulan |
diberikan |
mendapatkan |
PCV
sampai |
|
dengan
interval |
Imunisasi
PCV |
usia
11 bulan |
|
minimal
2 |
pada
usia 2 |
|
|
bulan
dari dosis |
dan
3 bulan |
|
|
kedua |
Jika anak di |
2
dosis sampai usia 24 bulan |
Minimal 1 |
Tidak perlu |
atas
usia 12 |
bulan |
dosis
ketiga |
|
bulan
belum |
|
|
|
pernah |
|
|
|
mendapat |
|
|
|
Imunisasi
PCV |
|
|
|
Jika anak |
1 dosis |
|
|
belum |
Imunisasi |
|
|
mendapatkan |
lanjutan
PCV |
|
|
Imunisasi
PCV |
(dosis
ketiga) |
|
|
lanjutan
(dosis |
sampai
usia 24 |
|
|
ketiga)
pada |
bulan |
|
|
usia
12 bulan |
|
|
|
7.
Vaksin Rotavirus
Terdapat dua jenis Vaksin
Rotavirus
(RV)
yang
telah
ada di pasaran yaitu vaksin monovalent dan
pentavalent.
a. Vaksin monovalent oral berasal
dari
human
RV
vaccine
RIX
4414, dengan sifat berikut:
1)
Live, attenuated,
berasal dari human RV/galur 89 – 12.
2) Monovalen,
berisi
RV
tipe
G1,
P1A
(P8),
mempunyai
neutralizing epitope yang sama dengan RV tipe G1, G3, G4 dan G9 yang merupakan mayoritas isolat yang
ditemukan pada manusia.
3) Vaksin
diberikan
secara
oral dengan
dilengkapi
bufer
dalam kemasannya.
4) Pemberian dalam
2 dosis pada usia 6–12 minggu
dengan interval 8 minggu.
b. Vaksin pentavalent oral merupakan kombinasi dari strain yang diisolasi dari human dan bovine yang
bersifat:
1) Live,
attenuated, empatreassortant berasal
dari
human
G1,G2,G3
dan
G4
serta
bovine
P7.
Reassortant
kelima
berasal dari bovine G6P1A(8).
2) Pemberian dalam
3 (tiga) dosis dengan interval 4 – 10 minggu sejak pemberian dosis pertama.
3) Dosis pertama
diberikan umur
2
bulan.
Vaksin
ini maksimal diberikan pada saat bayi berumur 8 bulan. Pemberian vaksin rotavirus diharapkan selesai pada usia 24 minggu.
8.
Vaksin Japanese Ensephalitis
a. Vaksin
diberikan
secara
serial
dengan
dosis
1
ml
secara
subkutan pada hari ke 0,7 dan
ke
28. Untuk anak yang berumur 1–3 tahun dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml
dengan jadwal yang sama.
b. Booster
diberikan
pada
individu
yang
berisiko
tinggi
dengan
dosis 1 ml tiga tahun kemudian
9.
Vaksin Human Papillomavirus (HPV)
a. Vaksin
HPV
yang
telah
beredar
di
Indonesia
dibuat
dengan
teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat dua jenis
vaksin HPV yaitu:
1)
Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18)
2)
Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18)
b. Vaksin HPV mempunyai efikasi
96–98% untuk mencegah
kanker leher rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18.
c.
Rekomendasi:
Imunisasi vaksin
HPV
diperuntukkan pada anak
perempuan sejak usia >9 tahun.
d.
Dosis
dan Jadwal:
1) Dosis 0,5 ml, diberikan secara intra muskular pada daerah
deltoid
2) Vaksin HPV bivalen, jadwal pemberian dengan interval 0,1 dan 6 bulan pada anak usia 9 - 25
tahun
3)
Vaksin HPV quadrivalen:
a) Jadwal
pemberian
dengan
interval
0
dan
12
bulan
pada anak usia 9 - 13 tahun
b) Jadwal
pemberian
dengan
interval
0,2
dan
6
bulan
pada anak usia > 13 - 45 tahun
10.
Vaksin Herpes Zoster
a. Vaksin
Herpes
Zoster
bertujuan
untuk
mencegah
penyakit Herpes zoster dan nyeri pasca herpes
(NPH).
Herpes
zoster
adalah penyakit infeksi
akibat reaktivasi dari virus cacar
air (Virus Varicella Zoster) yang menyerang saraf dan biasanya ditandai dengan ruam kulit.
b. Setelah dilarutkan vaksin harus segera disuntikkan ke pasien
(tidak boleh lebih dari 30 menit
setelah vaksin dilarutkan)
c.
Posologi:
Sediaan bentuk
serbuk terlipofilisasi dari Virus Varicella Zoster yang dilemahkan dari anak yang terkena varicella secara
alamiah. Saat akan digunakan direkonstitusi/dilarutkan dengan pelarut yang disediakan.
d.
Indikasi:
Untuk individu usia 50 tahun ke atas, imunokompeten
dengan atau tanpa episode zoster dan histori cacar air sebelumnya
e.
Dosis :
Diberikan satu kali vaksinasi (dosis tunggal 0,65 ml/dosis)
di lengan atas secara sub kutan. Durasi perlindungan
berdasarkan penelitian sampai 10 tahun.
f. Kontra Indikasi :
1)
Riwayat alergi terhadap komponen vaksin
gelatin, neomisin
2)
Penekanan/penurunan sistem imun
3)
Tuberkolosis
aktif yang tidak diterapi
4)
Kehamilan
11. Vaksin Hepatitis B
a. Vaksin Hepatitis
B bertujuan untuk memberikan perlindungan danmengurangi insiden
timbulnya penyakit hati kronik dan
karsinoma hati.
b.
Setelah dilarutkan vaksin harus segera disuntikkan ke pasien
(tidak boleh lebih dari 30 menit
setelah vaksin dilarutkan)
c.
Posologi:
Vaksin Hepatitis B mengandung HbsAg
yang telah dimurnikan (vaksin DNA rekombinan).
d.
Indikasi:
Vaksin Hepatitis B diberikan kepada kelompok individu dengan risiko tinggi tertular Hepatitis B,
diantaranya adalah :
1) Petugas
kesehatan
atau
pekerja
lainnya
yang
berisiko
terhadap paparan darah penderita Hepatitis B
2)
Pasien hemodialisis
3) Pasien yang
membutuhkan transfusi darah
maupun komponen darah
4)
Individu
yang memiliki keluarga dengan riwayat
Hepatitis B
5)
Kontak
atau hubungan seksual
dengan karier Hepatitis
B
atau Hepatitis B akut
6)
Turis
yang bepergian ke daerah endemik
Hepatitis B
7)
Pengguna obat-obatan suntik
8)
Populasi berisiko secara seksual
9)
Pasien dengan penyakit hati kronik
10)
Pasien
yang berencana melakukan transplantasi organ e. Dosis :
Vaksin Hepatitis
B diberikan dalam
3 dosis, yaitu
pada bulan ke-0, 1 dan 6 atau sesuai
dengan petunjuk produsen
vaksin. Diberikan di lengan atas secara intra muskular.
f.
Kontra Indikasi :
1)
Riwayat alergi terhadap ragi
2) Riwayat efek simpang yang berat pada penyuntikan dosis pertama
12. Vaksin Dengue
Vaksin Dengue
adalah jenis virus
dari group Flavivirus yang mempunya 4 sero
tipr, Dengue1, Dengue2, Dengue3 dan Dengue4.
Kandidat vaksin yang yang
dikembangkan berdasarkan Live
attenuated vaccine, Live recombinant
vaccines, Subunit and inactived vaccine. Saat ini yang sudah sampai fase 3 adalah Live attenuated recombinant vaccines baru
dengan nama CYD dengue vaccine.
a. Posologi:
1)
Live attenuated
,recombinant dengue
serotype
1 virus
2)
Live attenuated
,recombinant dengue
serotype
2 virus
3)
Live attenuated
,recombinant dengue
serotype
3 virus
4)
Live attenuated
,recombinant dengue
serotype
4 virus
b.
Indikasi:
c.
Dosis:
Vaksin Dengue terdiri dari powder dan pelarut,
setiap dosis
0,5ML
diberikan secara subkutan pada lengan . d.
Kontra Indikasi :
1)
Riwayat alergi terhadap ragi
2) Riwayat efek simpang yang berat pada penyuntikan dosis pertama
e.
Imunogenesitas
Serokonversi sebesar 1005 terhadap masing-masing
strain virus dengue (D1-4).
f.
Reaksi KIPI
Pada penerima vaksin dengue CYD didapatkan
305 reaksi lokal berupa nyeri, 40%
reaksi sistemik berupa nyeri kepala, lemas, dan nyeri otot.
BAB
III PENYELENGGARAAN IMUNISASI PROGRAM
A.
Perencanaan
Perencanaan harus
disusun
secara
berjenjang mulai dari
puskesmas, kabupaten/kota,
provinsi dan pusat (bottom up). Perencanaan merupakan kegiatan
yang sangat penting
sehingga harus dilakukan secara benar oleh petugas yang
profesional. Ketidaktepatan dalam perencanaan akan mengakibatkan
terhambatnya pelaksanaan program, tidak tercapainya target kegiatan, pemborosan
keuangan negara serta hilangnya kepercayaan masyarakat. Perencanaan Imunisasi program,
meliputi:
1. Penentuan Sasaran
a.
Sasaran Imunisasi Rutin
1)
Bayi pada Imunisasi Dasar
Jumlah bayi lahir hidup
di tingkat Provinsi dan
Kabupaten dihitung/ditentukan berdasarkan angka yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan. Sasaran ini digunakan untuk menghitung Imunisasi Hepatitis B, BCG dan Polio1.
Jumlah bayi baru lahir di tingkat
kecamatan dan desa
dapat dihitung
sebagai berikut :
Kecamatan :
Jml bayi lahir hidup kecamatan
thn lalu x Jml bayi kab/kota tahun ini
Jml bayi
lahir hidup kab/kota tahun
lalu
Desa/Kel :
Jml bayi
lahir hidup desa/kel tahun
lalu x Jml
bayi
kecamatan
tahun ini
Jml bayi
lahir hidup kecamatan
tahun lalu
A T A U
Desa = Pendataan
sasaran per Desa
Jumlah bayi
yang bertahan hidup (Surviving Infant)
dihitung/ditentukan berdasarkan jumlah
bayi baru lahir dikurangi dengan jumlah
kematian bayi yang didapat dari perhitungan angka kematian bayi (AKB)
dikalikan dengan jumlah bayi baru lahir.
Jumlah
ini digunakan sebagai sasaran Imunisasi
bayi usia 2-11 bulan.
Surviving Infant (SI) =
Jumlah bayi baru lahir
– (AKB x Jumlah bayi baru lahir)
2)
Anak dibawah dibawah
usia 2 tahun (Baduta) pada
Imunisasi
lanjutan
a) Untuk sasaran Imunisasi lanjutan pada baduta
sama dengan jumlah Surviving Infant (SI) tahun lalu.
b) Jumlah
Baduta
dihitung/ditentukan berdasarkan jumlah Surviving infant (SI).
3) Anak sekolah
dasar pada Imunisasi lanjutan
Untuk sasaran Imunisasi lanjutan pada anak sekolah
dasar didapatkan dari data Kementerian Kesehatan
4) Wanita Usia
Subur (WUS) pada Imunisasi lanjutan
Batasan Wanita
Usia Subur WUS
yang menjadi sasaran Imunisasi lanjutan adalah antara 15-49 tahun. Jumlah sasaran WUS
ini
didapatkan dari
data Kementerian Kesehatan.
Wanita usia subur
terdiri dari WUS hamil dan tidak
hamil
WUS = 21,9% x Jumlah
Penduduk
b.
Sasaran Imunisasi Tambahan
Sasaran Imunisasi tambahan adalah kelompok
resiko (golongan umur) yang
paling beresiko terkenanya kasus. Jumlah sasaran didapatkan berdasarkan
pendataan langsung.
c.
Sasaran Imunisasi Khusus
Sasaran Imunisasi khusus ditetapkan dengan keputusan
tersendiri (misalnya jemaah haji, masyarakat yang akan pergi ke negara tertentu).
2.
Perencanaan Kebutuhan Logistik
Logistik Imunisasi terdiri dari vaksin, Auto Disable Syringe dan
safety box. Ketiga kebutuhan tersebut
harus direncanakan secara
bersamaan dalam jumlah yang berimbang (system bundling).
a. Perencanaan Vaksin
Dalam menghitung jumlah kebutuhan
vaksin, harus diperhatikan beberapa hal,
yaitu
jumlah sasaran, jumlah
pemberian, target cakupan 100% dan indeks pemakaian vaksin
dengan memperhitungkan sisa
vaksin (stok) sebelumnya.
Kebutuhan = { 𝐽��𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽��𝐽��ℎ 𝑠��𝐽��𝑠��𝐽��𝑠��𝐽��𝑠𝑠 𝑥𝑥 𝐽��𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽��𝐽��ℎ 𝑃𝑃𝑃��𝐽��𝑃��𝑃��𝑠��𝑃𝑃𝐽𝐽𝑠𝑠 𝑥𝑥 100%
𝐼��𝑃𝑃 𝑉��𝐽��𝑉𝑉𝑠𝑠𝑃��𝑠𝑠
} – sisa stok
Indek
Pemakaian vaksin (IP) adalah pemakaian rata–rata setiap kemasan vaksin.
Cara
menghitung
IP adalah dengan
membagi jumlah cakupan dengan
jumlah vaksin yang dipakai.
IP = Jumlah cakupan / Jumlah vaksin yang dipakai
Untuk menentukan jumlah kebutuhan vaksin ini, maka perhitungan IP vaksin harus dilakukan pada setiap level. IP
vaksin untuk kegiatan Imunisasi massal (BIAS atau kampanye) lebih besar dibandingkan dengan Imunisasi
rutin diharapkan sasaran berkumpul dalam jumlah besar pada satu tempat yang sama.
Untuk Tingkat Pusat, penyediaan vaksin ditambah 25% dari kebutuhan satu tahun sebagai langkah
antisipasi adanya pelaksanaan Imunisasi
tambahan dan atau kerusakan vaksin.
b. Perencanaan Auto Disable
Syringe
Alat suntik yang dipergunakan dalam pemberian Imunisasi
adalah alat suntik
yang akan mengalami
kerusakan setelah sekali
pemakaian (Auto Disable
Syringe/ADS). Ukuran ADS beserta penggunaannya
terlihat seperti tabel berikut:
Tabel 7. Ukuran ADS dan
Penggunaan
No |
Ukuran ADS |
Penggunaan |
1 |
0,05 ml |
Pemberian
imunisasi BCG |
2 |
0,5 ml |
Pemberian
imunisasi DPT-HB-Hib, Campak, DT, Td, dan IPV |
3 |
5 ml |
Untuk melarutkan vaksin BCG
dan Campak |
Untuk Tingkat Pusat, berdasarkan sistem bundling maka perencanaan dan penyediaanADS
mengikuti jumlah vaksin dan indeks pemakaian vaksin.
c. Perencanaan Safety Box
Safety box digunakan untuk menampung
alat suntik bekas pelayanan Imunisasi sebelum dimusnahkan. Safety box ukuran
2,5
liter mampu menampung
50 alat suntik bekas, sedangkan ukuran 5 liter menampung 100 alat
suntik bekas. Limbah Imunisasi selain
alat suntik bekas tidak boleh dimasukkan ke dalam safety box.
Berdasarkan sistem bundling maka penyediaansafety box mengikuti jumlah
ADS. Safety box yang sudah berisi alat suntik bekas tidak boleh disimpan lebih dari 2
x 24 jam.
d. Perencanaan Kebutuhan Peralatan Cold Chain
Vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu tertentu (pada suhu 2 s/d
8 ºC untuk
vaksin sensitif beku atau pada suhu -15 s/d -25 ºC untuk vaksin yang sensitif panas).
Sesuai dengan
tingkat administrasi, maka
sarana coldchain yang
dibutuhkan adalah:
Provinsi : Coldroom, freeze room, Vaccine Refrigerator
dan freezer
Kabupaten/kota : Coldroom, Vaccine Refrigerator dan
freezer
Puskesmas : Vaccine
Refrigerator
Tabel 8. Jenis Standar Minimal
Peralatan Program Imunisasi
JENIS |
Provinsi |
Kab/Kota |
Puskesmas |
Voltage Stabilizer |
√ |
√ |
√ |
Indikator pembekuan dan pemantau suhu
panas |
√ |
√ |
√ |
Alat pencatat suhu kontinyu |
√ |
√ |
√ |
Thermometer |
√ |
√ |
√ |
ADS (autodisable syringe) |
√ |
√ |
√ |
Safety
box |
√ |
√ |
√ |
Kendaraan berpendingin khusus |
√ |
√ |
|
Komputer |
√ |
√ |
√ |
Tabung pemadam kebakaran |
√ |
√ |
√ |
Suku cadang |
√ |
√ |
√ |
Tool kits |
√ |
√ |
√ |
Penentuan jumlah kapasitas Cold Chain harus dihitung berdasarkan volume
puncak kebutuhan vaksin rutin (maksimal stok) ditambah dengan
kegiatan tambahan (bila ada).
Maksimal stok vaksin provinsi adalah 2 bulan kebutuhan ditambah
1 bulan cadangan,
kabupaten/kota 1 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Puskesmas 1 bulan kebutuhan ditambah dengan 1 minggu cadangan.
Selain kebutuhan Vaccine Refrigerator dan freezer, harus direncanakan juga kebutuhan vaksin
carrier untuk membawa
vaksin ke lapangan serta cool pack sebagai penahan suhu dingin
dalam Vaksin carrier selama transportasi vaksin.
Cara
perhitungan kebutuhan
Cold Chain adalah dengan mengalikan jumlah stok maksimal vaksin (semua jenis vaksin)
dengan volume setiap jenis vaksin, dan membandingkannya dengan volume vaccine
refrigerator/freezer.
Tabel 9. Volume Beberapa Jenis
Vaksin/ Kemasan
Vaccine |
Panjan g (cm) |
Lebar (cm) |
Tinggi (cm) |
Volume (cm3) |
Total Doses |
cm3/ doses |
Td 10 ds |
11 |
4,5 |
4,5 |
222,75 |
100 |
2,228 |
DT 10 ds |
11 |
4,5 |
4,5 |
222,75 |
100 |
2,228 |
Campak 10 ds |
12 |
5 |
5,5 |
330 |
100 |
3,3 |
Campak 20 ds |
12 |
4,8 |
5,5 |
316,8 |
200 |
1,584 |
Pelarut Campak 10 ds |
8,5 |
3,5 |
8,5 |
252,88 |
100 |
2,529 |
Pelarut Campak 20 ds |
9 |
3,8 |
11 |
376,2 |
200 |
1.881 |
Hepatitis B PID |
16,6 |
15,2 |
11,9 |
3002,6 1 |
100 |
30,03 |
Polio 10 ds |
8,5 |
3,6 |
4 |
122,4 |
100 |
1,224 |
Polio 20 ds |
17 |
8,5 |
3,8 |
549,10 |
1000 |
0,549 |
Dropper
Polio 10 dosis (10 pcs) |
8,5 |
3,6 |
7,6 |
232,56 0 |
- |
- |
Dropper Polio 20 dosis (50 pcs) |
11,8 |
9 |
8 |
849,6 |
- |
- |
BCG (Bio Farma) |
8,6 |
3,5 |
11,1 |
334,11 |
200 |
1,671 |
Pelarut BCG (Bio Farma) |
8,5 |
3,5 |
7,8 |
232,05 |
200 |
1,16 |
BCG 20 ds-SII (India) |
18,5 |
9,8 |
5 |
906,5 |
1000 |
0,907 |
Pelarut BCG SII (India) |
14,5 |
6 |
7,3 |
635,1 |
50 |
12,7 |
BCG 20 ds-SSI (Denmark) |
11,5 |
2,3 |
12,8 |
338,56 |
200 |
1,69 |
Pelarut BCG-SSI |
11,5 |
2,3 |
12,8 |
338,56 |
10 |
33,86 |
BCG GS |
15 |
7.5 |
5 |
562,5 |
1000 |
0,563 |
Pelarut BCG GS |
12,8 |
7 |
6 |
537,6 |
50 |
10,75 |
Pentavalen 5 ds |
10,3 |
2,3 |
11,3 |
267,70 |
50 |
5,354 |
IPV 5 ds |
|
|
|
|
|
|
IPV 10 ds |
11,5 |
6 |
6 |
414 |
100 |
4,14 |
Cara
menentukan volume
vaccine refrigerator/freezer adalah dengan
mengukur langsung pada
bagian dalam (ruangan) penyimpanan vaksin. Volume bersih untuk penyimpanan
vaksin adalah 70%
dari total
volume. Kegiatan seperti BIAS, PIN, atau Outbreak Response Immunization (ORI)
juga harus diperhitungkan dalam perhitungan kebutuhan Cold Chain.
3.
Perencanaan Pendanaan
Sumber pembiayaan
untuk Imunisasi dapat berasal dari
pemerintah dan sumber pembiayaan lain yang
sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembiayaan yang
bersumber dari pemerintah berbeda-beda pada tiap tingkat administrasi yaitu
tingkat pusat bersumber
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tingkat provinsi bersumber
dari APBN (dekon) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
provinsi, tingkat kabupaten/kota
bersumber dari APBN (tugas
perbantuan) dan APBD kabupaten/kota
berupa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK
(Dana Alokasi Khusus).
Pendanaan ini dialokasikan
dengan mengunakan formula khusus antara lain berdasarkan jumlah penduduk,
kapasitas fiskal, jumlah masyarakat miskin dan lainnya.
Di era desentralisasi, fungsi pemerintah
pusat adalah dalam menjamin ketersediaan vaksin dan alat suntik dan safety box,
bimbingan teknis, pedoman pengembangan, pemantauan dan
evaluasi, pengendalian kualitas,
kegiatan TOT (training of trainer), advokasi, penelitian operasional dan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi). Meskipun ada komitmen yang
kuat dari pemerintah pusat dalam mendukung Imunisasi
dalam bentuk penyediaanvaksin dan
alat suntik ke seluruh kabupaten/kota sudah terbukti, dalam
beberapa kasus, masih terjadi masalah dalam ketersediaan biaya operasional yang seharusnya
disediakan oleh pemerintah daerah. Situasi ini
akan berdampak besar
misalnya terjadinya KLB di
berbagai wilayah, khususnya di daerah rural dan miskin.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bertanggung jawab menyiapkan biaya
operasional untuk pelaksanaan pelayanan Imunisasi
rutin dan Imunisasi tambahan.
Biaya operasional sebagaimana
dimaksud meliputi biaya:
a.
transport dan akomodasi petugas;
b.
bahan habis pakai;
c.
penggerakan masyarakat; dan
d. perbaikan
serta
pemeliharaan peralatan rantai
vaksin
dan
kendaraan Imunisasi.
e. distribusi logistik dari kabupaten/kota sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan; dan
f. pemusnahan limbah
medis Imunisasi
Untuk kesuksesan kegiatan Imunisasi dalam pelaksanaan,
komoditas, teknis, dan keuangan maka setiap tingkat administrasi
memiliki tanggung jawab sebagai berikut:
a. Tanggung
jawab ke bawah (Accountable down)
Pusat bertanggung jawab
dalam penyediaan vaksin dan sekaligus mendistribusikannya
ke provinsi. Pusat bersama Daerah bertanggung jawab dalam penyediaanlogistik
lainnya. Pendistribusian selanjutnya
menjadi tanggung jawab daerah secara berjenjang sesuai dengan kebijakan
masing-masing daerah. Daerah juga bertanggung jawab dalam penyediaan
sumber daya dan biaya pemeliharaan peralatan cold chain.
b.
Tanggung
jawab setempat (Accountable at level)
Provinsi dan kabupaten/kota bertanggung jawab
menyediakan sumber daya untuk operasional dan beberapa komponen investasi. Sistem
desentralisasi
telah menempatkan kabupaten/kota sebagai aktor utama dalam mengimplementasikan
kegiatan. Pemerintah Daerah harus mampu menjamin ketersediaan dana
untuk mendukung keberlangsungan program (biaya operasional, pemeliharaan dan
lainnya) melalui advokasi kepada para stakeholder.
c. Tanggung
jawab ke atas (Accountable up)
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan, pembiayaannya ditanggung
oleh
pemerintah daerah, kecuali beberapa komoditas yang disuplai dari Pusat. Puskesmas bertanggung jawab untuk memberikan laporan pertanggungjawaban ke
kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Diperlukan perencanaan
yang
komprehensif yang melibatkan
lintas
sektor dan lintas program untuk mendukung keberlanjutan kegiatan Imunisasi.
Perencanaan kegiatan Imunisasi
memerlukan informasi yang dapat menggambarkan situasi pencapaian
Imunisasi dan sumber daya yang ada
saat ini dan
juga tujuan yang
akan dicapai pada masa
mendatang
yang tertuang dalam Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan. Perencanaan ini harus diikuti dengan
penyusunan penganggaran yang dibutuhkan sehingga merupakan satu kesatuan
perencanaan yang komprehensif.
B. Penyediaan dan Distribusi Logistik
1.
Penyediaan Logistik
Pemerintah bertanggung jawab
terhadap
penyediaan
logistik
Imunisasi Program:
a. penyediaan
vaksin, b.
ADS,
c.
safety box,
dan
d.
peralatan cold chain berupa:
1)
alat
penyimpan Vaksin, meliputi cold room, freezer room,
vaccine
refrigerator,dan freezer;
2) alat transportasi Vaksin, meliputi
kendaraan berpendingin khusus, cold box, vaccine
carrier,
cool pack, dan cold pack; dan
3) alat pemantau suhu, meliputi
termometer, termograf, alat pemantau suhu beku, alat
pemantau/mencatat suhu secara terus-menerus, dan alarm.
Pemerintah Daerah
bertanggung jawab terhadap penyediaan logistik Imunisasi Program:
a. peralatan Cold Chain selain
vaccine refrigerator,
berupa cold box, vaccine
carrier, cool pack,
cold pack, termometer, termograf, alat pemantau suhu beku, alat
pemantau/pencatat suhu secara terus-menerus, alarm, dan kendaraan berpendingin
khusus;
b.
peralatan pendukung Cold Chain;
c.
Peralatan Anafilaktik;
d. Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi sesuai
dengan
kebutuhan; dan
e. ruang
untuk
menyimpan peralatan Cold Chain dan
logistik
Imunisasi lainnya yang memenuhi standar dan persyaratan. Untuk mengatasi keadaan
tertentu (KLB
atau
bencana)
penyediaan vaksin dapat
dilakukan bekerja sama dengan pihak
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Pendistribusian
Seluruh proses distribusi vaksin program dari pusat sampai ketingkat pelayanan, harus
mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi agar mampu memberikan kekebalan yang optimal
kepada sasaran.
a.
Pusat ke Provinsi
1) Penyedia vaksin
bertanggung jawab
terhadap seluruh pengiriman vaksin dari pusat
sampai ke tingkat provinsi.
2) Dinas kesehatan provinsi mengajukan rencana jadwal penyerapan vaksin alokasi provinsi yang
dikirimkan kepada Direktorat Jenderal yang membawahi bidang Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
Kementerian
Kesehatan,
tembusan
kepada Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan yang membawahi bidang
Pengendalian Penyakit cq.
Subdit Imunisasi serta kepada penyedia vaksin paling lambat 10 hari kerja setelah
alokasi vaksin diterima di provinsi.
3) Vaksin akan dikirimkan sesuai jadwal rencana penyerapan dan atau permintaan yang diajukan oleh dinas
kesehatan provinsi (tercantum dalam formulir 25 terlampir).
4) Pengiriman
vaksin
(terutama BCG)
dilakukan secara
bertahap (minimal dalam
dua
kali pengiriman) dengan interval waktu dan jumlah yang
seimbang dengan
memperhatikan tanggal kadaluarsa dan
kemampuan penyerapan serta kapasitas tempat penyimpanan.
5) Vaksin
untuk
kegiatan BIAS
dikirimkan
1
(satu)
bulan
sebelum pelaksanaan atau sesuai permintaan.
6) Vaksin
alokasi
pusat akan
dikirimkan berdasarkan permintaan resmi dari dinas
kesehatan provinsi yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal yang membawahi
bidang Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan cq.
Direktur yang membawahi bidang
Imunisasi dengan melampirkan laporan
monitoring vaksin
pada bulan terakhir.
7) Dalam
setiap pengiriman vaksin harus disertakan
dokumen
berupa:
a) SP (Surat Pengantar) untuk
vaksin alokasi provinsi/SBBK (Surat Bukti Barang Keluar) untuk vaksin alokasi pusat
(tercantum dalam formulir 22
terlampir).
b) VAR (Vaccine Arrival Report) untuk setiap nomor batch vaksin. (tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22 terlampir).
c)
Copy Certificate of Release (CoR) untuk setiap
batch
vaksin
8) Wadah
pengiriman
vaksin
berupa
cold
box
disertai
alat
untuk mempertahankan suhu dingin berupa :
a) Cool pack untuk vaksin Td, DT, Hepatitis B, dan DPT- HB-Hib.
b)
Cold
pack
untuk
vaksin BCG dan Campak.
c)
Dry
ice
dan/atau cold pack untuk
vaksin Polio.
9) Pelarut dan penetes dikemas
pada suhu kamar
terpisah dengan vaksin (tanpa
menggunakan pendingin).
10) Pada
setiap cold
box disertakan alat pemantau paparan suhu tambahan berupa:
a) Indikator
paparan suhu beku untuk vaksin
sensitif beku (DT, Td, Hep.B
dan DPT-HB-Hib).
b) Indikator
paparan suhu panas untuk vaksin BCG.
b. Provinsi ke Kabupaten/Kota
1) Merupakan tanggung jawab Pemerintah
Daerah dengan cara diantar oleh
provinsi atau diambil oleh kabupaten/kota.
2) Dilakukan atas
dasar
permintaan resmi
dari
dinas kesehatan kabupaten/kota
dengan mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung tempat penyimpanan. (tercantum dalam formulir 23 dan formulir 24
terlampir).
3) Menggunakan
cold box
yang
disertai alat penahan suhu dingin berupa:
a) Cool
pack
untuk vaksin
DT,
Td, Hepatitis B PID
dan
DPT-HB-Hib.
b) Cold pack untuk
vaksin BCG, Campak dan Polio.
4) Apabila vaksin sensitif beku dan sensitif
panas ditempatkan dalam satu
wadah maka pengepakannya menggunakan cold box yang berisi cool pack.
5) Dalam setiap pengiriman harus disertai dengan dokumen
berupa:
a) VAR (Vaccine Arrival Report)
yang
mencantumkan seluruh vaksin (tercantum
dalam formulir 21 dan formulir 22
terlampir).
b) SBBK (Surat
Bukti Barang Keluar)
(tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22
terlampir).
6) Pengepakan vaksin
sensitif beku harus
dilengkapi dengan indikator
pembekuan.
c.
Kabupaten/ Kota ke Puskesmas
1) Dilakukan dengan
cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh puskesmas.
2) Dilakukan atas
dasar permintaan resmi dari puskesmas dengan mempertimbangkan stok maksimum
dan daya tampung penyimpanan vaksin (tercantum dalam
formulir
23 dan formulir 24 terlampir).
3) Menggunakan
cold box atau vaccine carrier yang disertai
dengan cool pack.
4) Disertai dengan
dokumen pengiriman berupa Surat
Bukti Barang Keluar (SBBK)
(tercantum dalam formulir 21 dan formulir
22 terlampir) dan Vaccine Arrival
Report (VAR) (tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22 terlampir).
5) Pada setiap cold box
atau vaksin carrier
disertai dengan indikator pembekuan.
d.
Puskesmas ke Tempat Pelayanan
1) Vaksin
dibawa dengan menggunakan vaccine carrier yang diisi coolpack dengan jumlah yang sesuai ke seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas, baik pemerintah maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi
program.
2) Dilakukan dengan cara diantar olehPuskesmas atau diambil oleh fasilitas pelayanan
kesehatan atas dasar permintaan resmi.
C.
Penyimpanan dan Pemeliharaan Logistik
Untuk menjaga kualitas vaksin tetap
tinggi sejak diterima sampai
didistribusikan ketingkat berikutnya
(atau digunakan), vaksin
harus selalu disimpan pada suhu yang telah ditetapkan, yaitu:
1.
Provinsi
a.
Vaksin
Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C pada
freeze room atau freezer
b. Vaksin
lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold room
atau vaccine refrigerator
2.
Kabupaten/Kota
a. Vaksin
Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C pada
freezer
b. Vaksin
lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold room
atau vaccine refrigerator.
3.
Puskesmas
a. Semua vaksin
disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada vaccine
refrigerator
b. Khusus
vaksin
Hepatitis B, pada bidan
desa
disimpan
pada
suhu ruangan, terlindung dari sinar matahari langsung.
Tabel 10. Penyimpanan
Vaksin
VAKSIN |
PROVINSI |
KAB/KOTA |
PKM/PUSTU |
Bides/UPK |
MASA SIMPAN VAKSIN |
||||
2
BLN+1 BLN |
1
BLN+1 BLN |
1
BLN+1 MG |
1
BLN+ 1 MG |
|
POLIO |
-15°C s.d. -25 °C |
|
|
|
DPT-HB-Hib |
2°C s.d. 8°C |
|||
DT |
||||
BCG |
||||
CAMPAK |
||||
Td |
||||
IPV |
||||
Hepatitis B |
Suhu ruang |
Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2°C s.d. 8°C atau pada suhu ruang terhindar dari sinar matahari langsung. Sehari
sebelum digunakan, pelarut disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C. Beberapa ketentuan
yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara berurutan adalah
paparan vaksin terhadap panas, masa kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan
pemakaian sisa vaksin.
1. Keterpaparan Vaksin terhadap Panas
Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang
dinyatakan dengan perubahan kondisi Vaccine Vial
Monitor (VVM) A ke kondisi
B) harus digunakan terlebih
dahulu meskipun masa kadaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C dan D tidak boleh digunakan
Gambar 2. Indikator VVM
Pada Vaksin
Segi empat lebih terang dari
lingkaran
Gunakan vaksin
bila
belum kadaluarsa
Segi empat berubah gelap tapi
lebih terang dari
lingkaran
Gunakan vaksin lebih dahulu bila belum kadaluarsa
Batas untuk tidak digunakan lagi :
Segi empat berwarna
sama dengan lingkaran
JANGAN GUNAKAN
VAKSIN
Melewati Batas
Buang :
Segi empat lebih gelap dari lingkaran
JANGAN GUNAKAN VAKSIN
2.
Masa Kadaluarsa Vaksin
Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang
lebih pendek masa kadaluwarsanya (Early Expire
First Out/EEFO).
3.
Waktu Penerimaan vaksin (First
In First
Out/
FIFO)
Vaksin yang terlebih dahulu diterima
sebaiknya dikeluarkan terlebih dahulu.Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa
vaksin yang diterima lebih awal mempunyai jangka waktu pemakaian yang lebih
pendek.
4.
Pemakaian Vaksin Sisa
Vaksin sisa pada pelayanan statis
(Puskesmas, Rumah Sakit
atau praktek swasta) bisa digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
a.
Disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C
b.
VVM dalam kondisi A atau B
c.
Belum kadaluwarsa
d. Tidak
terendam air selama penyimpanan
e. Belum melampaui masa pemakaian.
Tabel 11. Masa Pemakaian
Vaksin Sisa
Jenis Vaksin |
Masa Pemakaian |
Keterangan |
Polio |
2
Minggu |
Cantumkan
tanggal pertama kali vaksin digunakan |
IPV |
4Minggu |
|
DT |
4
Minggu |
|
Td |
4
Minggu |
|
DPT-HB-Hib |
4
Minggu |
|
BCG |
3
Jam |
Cantumkan
waktu vaksin dilarutkan |
Campak |
6
Jam |
Distribusi Logistik Imunisasi
5.
Penanganan Vaksin pada Keadaan Tertentu
Penanganan vaksin dalam keadaan tertentu perlu dipahami,
mengingat vaksin sangat rentan terhadap perubahan suhu, penyimpanan vaksin pada tingkat puskesmas dianggap yang
paling rentan, karena power tidak stabil, tidak
ada listrik, daya listrik terbatas.
Beberapa
hal yang harus dipahami antara lain:
a.
Pahami bentuk dan type vaccine refrigerator.
b. Bila Ice Line Refrigerator,
periksa suhu, jangan membuka
pintu vaccine refrigerator, karena
vaccine refrigerator jenis ini, mempunyai cold life 15 – 24 jam.
c. Bila RCW 42 EK-50 EK, mempunyai cold life 4-5 jam, maka siapkan peralatan ataulangkah-langkah
penyelamatan vaksin:
1) Menggunakan burner.
2)
Hidupkan generator, bila ada
Gambar 3.
Langkah-langkah penyelamatan vaksin
pada keadaan
tertentu
Rencana tindakan
pengamanan Vaksin, jika peralatan
cold chain yang bermasalah
Langkah-langkah penyelamatan vaksin apabila kehabisan Bahan
bakar
/ putus aliran listrik atau Vaccine refrigerator rusak
Berapa lama
waktu yg dibutuhkan untuk perbaikan atau pengadaan/
supply Bahan Bakar
Ya,
<5 hari 5 hari?
Tidak, ≥ 5 hari
Selamatkan vaccine di dalam cold box yang kapasitas dingin sampai 5 hari
Pastikan cold Pack/cool pack/ air dingin ditempatkan didasar,
disamping, dibagian atas, dalam cold box dan disertai thermometer
Untuk
jenis vaksin sensitive
panas menggunakan cold pack dan vaksin sensitive beku menggunakan cool pack
Anda harus
mendengar bunyi air saat mengocok
cold
pack, sebelum dimasukkan dalam coldbox
Jangan memakai vaccine carrier atau cold box yang daya tahannya kurang dari 5 hari, kecuali tidak ada lagi yang lain,
namun tetap dicek perubahan suhu 2 kali
sehari.
Kalau tidak ada cold box/vaccine carrier maka lihat kotak kanan
|
Hari
Hari
Setelah Vaccine refrigerator
diperbaiki
Setelah
Vaccine
refrigerator
- Kembalikan vaksin ketika Vaccine refrigerator sudah
berfungsi kembali.
- Pastikan anda memeriksa status VVM
pada semua vaksin ketika mengembalikannya ke dalam Vaccine refrigerator .
6.
Monitoring Vaksin dan Logistik
Setiap akhir bulan atasan langsung
pengelola vaksin melakukan monitoring administrasi dan fisik vaksin serta
logistik lainnya. Hasil monitoring dicatat pada
kartu stok dan dilaporkan secara
berjenjang bersamaan dengan laporan cakupan Imunisasi.
Sarana Penyimpanan Vaksin terdiri
atas:
1.
Kamar Dingin dan Kamar Beku
a. Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan
vaksin yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3) sampai
dengan 100.000
liter (100 m3). Suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara +2oC
s/d +8oC.
Kamar dingin ini berfungsi untuk
menyimpan vaksin program
Imunisasi yang harus disimpan pada suhu 2oC s/d 8oC.
b. Kamar beku (freeze room) adalah
sebuah tempat penyimpanan
vaksin yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3) sampai
dengan 100.000 liter (100
m3), suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara -15oC
s/d -25oC.
Kamar beku utamanya berfungsi untuk
menyimpan vaksin polio.
c. Kamar dingin dan kamar
beku
umumnya hanya terdapat di
tingkat
provinsi mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang cukup
lama. Secara teknis sistem pendingin kamar dingin dan kamar beku dibagi dalam 3
(tiga) sistem, yaitu:
1) Sistem
pendingin dengan
menggunakan “Hermatic
Compressor”;
2) Sistem pendingin dengan
menggunakan “Semi
Hermatic
Compressor”; dan
3) Sistem
pendingin dengan
menggunakan “Open type
Compressor”.
d.
Aturan pengoperasian kamar dingin dan
kamar beku:
1) Kamar dingin/kamar beku harus dioperasikan secara terus
menerus selam 24 jam.
2) Listrik dan suhu bagian dalam harus
selalu terjaga.
3) Kamar dingin/kamar beku
hanya
untuk
menyimpan vaksin.
e. Setiap kamar
dingin/kamar beku mempunyai atau dilengkapi
dengan:
1) 2 (dua)
buah cooling unit
sebagai pendinginnya dan diatur
agar cooling unit ini bekerja bergantian.
2) Satu unit generator (genset)
automatis atau manual yang
selalu siap untuk beroperasi bila listrik padam.
3)
Alarm control yang akan berbunyi pada suhu di bawah
+2oC atau pada suhu di atas +8oC atau pada saat power
listrik padam.
4) Mempunyai thermometeryang dapat mencatat suhu secara
automatis selama 24 jam yang terpasang pada dinding luar kamar dingin atau
kamar beku.
5) Mempunyai
indikator beku
(freeze-tag) yang harus diletakkan pada bagian dalam
kamar
dingin
untuk mengetahui bila terjadi penurunan
suhu dibawah 0oC.
f.
Pemantauan kamar dingin dan kamar beku:
1)
Periksa suhu pada thermometer
setiap hari pagi dan sore.
Bila
terjadi
penyimpangan
suhu
segera
laporkan
pada
atasan;
2) Jangan masuk ke dalam
kamar dingin atau kamar beku
bila tidak perlu;
3) Sebelum memasuki
kamar dingin atau kamar beku harus
memberitahu petugas lain;
4) Gunakan
jaket
pelindung
yang
tersedia
saat
memasuki
kamar dingin atau kamar beku;
5) Pastikan
kamar
dingin dan kamar beku hanya berisi vaksin;
6) Membuka
pintu
kamar
dingin
atau
kamar beku jangan terlalu lama
7) Jangan membuat cool
pack
bersama vaksin di dalam kamar dingin, pembuatan
cool pack harus menggunakan Vaccine Refrigerator tersendiri;
8) Jangan
membuat cold
pack
bersama vaksin di dalam kamar
beku, pembuatan cold pack harus
menggunakan
freezer tersendiri.
2.
Vaccine
Refrigerator dan
Freezer
Vaccine Refrigerator adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, DT, Hepatitis B, Campak, IPV dan DPT-HB-Hib,
pada suhu yang ditentukan +2°C s.d. +8°C dapat juga
difungsikan untuk membuat kotak dingin
cair (cool pack). Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu
yang ditentukan antara -15oC s/d -25oC atau
membuat kotak es beku (cold pack).
Vaccine Refrigerator dan freezer harus
terstandarisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Product Information Sheet
(PIS)/ Performance
Quality and
Safety (PQS) dari WHO.
Sistem Pendinginan:
a.
Sistem Kompresi
Pada sistem pendinginan kompresi, vaccine refrigerator/freezer menggunakan kompresor
sebagai jantung utama untuk mengalirkan refrigerant (zat pendingin) ke ruang pendingin
melalui evaporator. Kompresor ini digerakkan oleh listrik AC 110volt/220 volt/380
volt atau DC 12 volt/24
volt. Bahan pendingin yang digunakan pada sistem ini adalah refrigerant
tipe
R-12 atau R-134a.
b. Sistem absorpsi
Pada sistem pendingin
absorpsi, Vaccine Refrigerator/freezer
menggunakan pemanas litrik (heaterdengan
tegangan 110 volt AC/220 volt AC/12 Volt DC) atau
menggunakan nyala api minyak tanah atau menggunakan nyala
api dari gas LPG (Propane/Butane). Panas ini diperlukan untuk menguapkan bahan pendingin
berupa amoniak (NH3) agar dapat
berfungsi sebagai pendingin di
evaporator.
Perbedaan antara
sistem kompresi dan
absorpsi berdasarkan
penggunaan di lapangan dapat
digambarkan seperti di bawah
ini:
Tabel
12. Perbandingan Sistem Kompresi dan
Sistem Absorpsi
Sistem Kompresi |
Sistem Absorpsi |
a. Lebih cepat dingin |
a. Pendinginan lebih lambat |
b. Menggunakan kompresor sebagai
mekanik yang dapat menimbulkan aus |
b.Tidak
menggunakan mekanik sehingga
tidak ada bagian yang bergerak sehingga tidak ada aus |
c. Hanya dengan listrik AC/DC |
c. Dapat dengan listrik AC/DC atau
nyala api minyak tanah/ gas |
d. Bila terjadi kebocoran pada
sistem mudah diperbaiki |
d. Bila terjadi kebocoran pada sistem tidak dapat diperbaiki |
Pemilihan sistem kompresi atau sistem absorpsi tergantung
dari ketersediaan listrik.
Gambar 3
. Pemilihan Penggunaan
Refrigerator Berdasarkan
Ketersedian Suply Energi
Apakah listrik tersedia 12-
24
jam per hari
Ya Gunakan Vaccine
Refrigerator
kompresi + Volt
Stabilizer
Tidak
Listrik hanya
8-12 jam per hari.
Ya
atau
Gunakan Vaccine
Refrigerator
absorpsi dengan minyak tanah atau Gas
Tidak
Gunakan Vaccine
Refrigerator ILR dengan cold life 24
- 48 jam.
Listrik
< 8 jam per hari.
Gunakan Vaccine Refrigerator tenaga matahari
Imunisasi hanya menggunakan cold box atau vacine
carrier
Bagian yang sangat penting dari vaccine refrigerator/freezer adalah thermostat.
Thermostart berfungsi
untuk mengatur suhu
bagian dalam pada vaccine refrigerator/freezer.
Thermostat banyak sekali tipe dan modelnya, namun hanya 2 (dua) sistem
cara kerjanya. Bentuk pintu vaccine refrigerator/freezer:
a. Bentuk buka dari depan (front opening)
Vaccine
Refrigerator/freezer
dengan bentuk pintu buka dari depan banyak
digunakan dalam rumah tangga atau pertokoan, seperti: untuk
meyimpan makanan minuman,
buah-buahan yang sifat penyimpanannya sangat terbatas. Bentuk ini tidak
dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
b.
Bentuk buka keatas (top opening)
Bentuk top opening pada umumnya
adalah freezer yang biasanya digunakan untuk
menyimpan bahan makanan, ice cream, daging
sertaVaccine Refrigerator untuk
penyimpanan vaksin. Salah satu bentuk Vaccine Refrigerator top opening adalah ILR (Ice Lined Refrigerator) yaitu: lemari es buka atas
yang dimodifikasi khusus menjadi Vaccine Refrigerator dengan
suhu bagian
dalam +2°C s/d +8oC, hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan akan volume penyimpanan vaksin pada Vaccine Refrigerator. Modifikasi dilakukan dengan meletakkan kotak dingin
cair (cool pack) pada sekeliling
bagian dalam freezer sebagai penahan dingin dan diberi pembatas
berupa aluminium atau multiplex atau acrylic
plastic.
Tabel 13. Kelebihan
dan
Kekurangan
VaccineRefrigerator Berdasarkan
Letak Pintu
Bentuk buka dari depan |
Bentuk buka dari atas |
|
|
Suhu tidak stabil |
Suhu lebih
stabil |
|
Pada saat
pintu
vaccine |
Pada saat
pintu
vaccine |
|
refrigerator dibuka ke depan maka suhu dingin dari
atas akan
turun
ke
bawah dan keluar |
refrigerator
dibuka ke
atas maka suhu dingin dari atas akan
turun
ke
bawah
dan
tertampung |
|
Bila listrik padam
relative |
Bila listrik
padam
relative
suhu dapat bertahan lama |
|
tidak
dapat bertahan lama |
|
|
Jumlah
vaksin
yang dapat ditampung sedikit |
Jumlah vaksin
yang dapat ditampung lebih banyak |
|
Susunan vaksin menjadi |
Penyusunan vaksin agak |
|
mudah
dan
vaksin
terlihat |
sulit karena vaksin |
|
jelas
dari samping |
tertumpuk
dan
tidak
jelas dilihat dari atas |
Memperhatikan kelebihan dan
kekurangan dari pintu
buka depan dan pintu buka
atas, maka direkomendasikan untuk
memilih refrigerator pintu
buka atas untuk menyimpan vaksin.
3.
Alat Pembawa Vaksin
Alat pembawa Vaksin harus terstandarisasi SNI dan PIS/PQS
WHO.
a. Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara
dan membawa vaksin. Pada
umumnya memiliki volume kotor
40 liter dan 70 liter. Kotak
dingin (cold box) ada 2 macam
yaitu terbuat dari plastik
atau kardus dengan insulasi poliuretan.
b. Vaccine carrier
adalah alat untuk
mengirim/membawa vaksin dari puskesmas
ke posyandu atau tempat pelayanan Imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan
suhu +2°C s/d +8°C.
4.
Alat untuk mempertahankan Suhu
a. Kotak dingin beku (cold pack)
adalah wadah plastic berbentuk segi empat yang diisi dengan air
yang dibekukan dalam freezer dengan suhu -15°C s/d -25°C
selama minimal 24 jam.
b. Kotak dingin
cair (cool pack)
adalah wadah plastik
berbentuk segi empat yang diisi dengan air kemudian didinginkan dalam
Vaccine Refrigerator dengan suhu -3°C s.d +2°C selama minimal
12 jam (dekat evaporator).
Untuk mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi, perlu dilakukan
pemeliharaan sarana peralatan Cold Chain sebagai berikut.
1.
Pemeliharaan Harian
a. Melakukan pengecekan suhu
dengan menggunakan thermometer atau alat
pemantau suhu digital setiap pagi dan sore, termasuk hari libur.
b. Memeriksa apakah
terjadi bunga es dan memeriksa ketebalan
bunga es. Apabila bunga es lebih dari 0,5 cm lakukan defrosting (pencairan
bunga es).
c. Memeriksa
apakah terdapat cairan pada dasar lemari es. Apabila
terdapat cairanharus segera dibersihkan atau dibuang
d. Melakukan pencatatan langsung
setelah pengecekan suhu pada thermometer atau pemantau suhu dikartu pencatatan suhu setiap pagi dan sore.
2.
Pemeliharaan Mingguan
a. Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan
obeng untuk mengencangkan baut.
b. Melakukan
pengamatan
terhadap
tanda-tanda steker hangus dengan melihat perubahan
warna pada steker, jika itu terjadi gantilah steker dengan yang baru.
c. Agar tidak
terjadi konsleting
saat membersihkan badan
vaccine
refrigerator, lepaskan steker dari stop kontak.
d. Lap basah, kuas
yang
lembut/spon busa dan
sabun
dipergunakan untuk membersihkan badan vaccine
refrigerator.
e.
Keringkan kembali badan vaccine refrigerator dengan lap kering. f. Selama
membersihkan badan
vaccine refrigerator,
jangan
membuka pintu vaccine refrigerator agar suhu tetap terjaga
2°C
s.d. 8°C
g. Setelah selesai membersihkan badan vaccine refrigerator colok
kembali steker.
h. Mencatat kegiatan pemeliharaan mingguan pada
kartu pemeliharaan vaccine
refrigerator.
3.
Pemeliharaan Bulanan
a. Sehari sebelum
melakukan pemeliharaan bulanan,
kondisikan cool pack (kotak dingin cair), vaccine carrier atau cold box dan pindahkan
vaksin ke dalamnya.
b. Agar
tidak terjadi konsleting saat melakukan pencairanbunga es
(defrosting), lepaskan steker dari stop kontak.
c. Membersihkan kondensor pada
vaccine refrigerator model
terbukamenggunakan sikat lembut atau tekanan udara. Pada model tertutup hal ini
tidak perlu dilakukan.
d. Memeriksa
kerapatan pintu dengan menggunakan selembar
kertas, bila kertas sulit ditarik berarti karet pintu masih baik, sebaliknya bila kertas mudah ditarik berarti karet sudah sudah mengeras atau kaku. Olesi karet pintu dengan bedak
atau minyak goreng agar kembali lentur.
e. Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan
obeng untuk mengencangkan baut.
f. Selama membersihkan badan
vaccine refrigerator,
jangan
membuka pintu vaccine refrigerator agar suhu tetap terjaga 2°C s.d. 8°C.
g. Setelah selesai
membersihkan badan vaccine refrigerator colok
kembali steker.
h. Mencatat kegiatan pemeliharaan bulanan pada
kartu pemeliharaan vaccine
refrigerator.
i. Untuk
vaccine refrigerator dengan sumber
tenaga
surya,
dilakukan pembersihan panel surya dan penghalang sinar apabila berdekatan
dengan pepohonan.
j. Untuk
vaccine refrigerator
dengan
sumber tenaga surya dan
aki/accu, lakukan pemeriksaan kondisi air aki.
4.
Pencairan bunga es (defrosting)
a. Pencairan bunga
es dilakukan minimal
1 bulan sekali atau ketika
bunga es mencapai ketebalan 0,5 cm.
b. Sehari sebelum pencairan bunga es, kondisikancool pack (kotak
dingin cair), vaccine carrier ataucold box.
c.
Memindahkan vaksin ke dalam vaccine carrier
atau
cold box
yang telah berisi cool pack (kotak
dingin cair).
d.
Mencabut steker saat ingin melakukan
pencairan bunga es.
e. Melakukan pencairan
bunga es dapat dilakukan dengan cara
membiarkan hingga mencair atau menyiram dengan air hangat.
f.
Pergunakan lap kering
untuk
mengeringkan
bagian
dalam
Vaccine Refrigerator termasuk
evaporator saat bunga es mencair. g. Memasang kembali steker dan jangan merubah
thermostat
hingga
suhu Vaccine Refrigerator kembali stabil (2°C s.d. 8°C).
h. Menyusun
kembali vaksin dari dalam vaccine
carrier atau
cold box kedalam Vaccine Refrigerator
sesuai dengan ketentuan setelah suhu
lemari es telah mencapai 2°C s.d. 8°C.
i. Mencatatkegiatan pemeliharaan bulanan pada
kartu pemeliharaan Vaccine
Refrigerator.
j.
Pencairan bunga es (defrosting)
D.
Penyediaan Tenaga dalam
Penyelenggaraan Imunisasi Program
Untuk terselenggaranya pelayanan Imunisasi
dan surveilans KIPI,
maka setiap jenjang administrasi dan unit pelayanan dari Tingkat Pusat sampai Tingkat Puskesmas, harus memiliki jumlah dan jenis
ketenagaan yang sesuai dengan standar, yaitu memenuhi persyaratan kewenangan profesi dan mendapatkan
pelatihan kompetensi.
1.
Jenis dan jumlah ketenagaan
Jenis dan jumlah ketenagaan minimal yang harus
tersedia di
Tingkat Daerah adalah sebagai berikut :
a.
Puskesmas
1)
Puskesmas Induk
a)
pengelola program Imunisasi dan KIPI
b) pengelola logistik Imunisasi
c) pelaksana Imunisasi
2) Puskesmas
Pembantu pelaksana Imunisasi
3) Polindes/
Poskesdes di Desa Siaga pelaksana Imunisasi
b.
Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta,
Rumah Sakit Bersalin
1)
pelaksana Imunisasi dan KIPI
2)
pengelola logistik Imunisasi
c. Klinik dan Praktik Swasta
1)
pelaksana Imunisasi
2)
pengelola logistik Imunisasi
d. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
1)
pengelola program Imunisasi dan KIPI
2)
pengelola Logistik Imunisasi
e. Tenaga
Pengelola Program Tingkat Provinsi
1)
pengelola program Imunisasi dan KIPI
2)
pengelola logistik Imunisasi
Pengelola program Imunisasi bertugas merencanakan,
melaksanakan, melakukan monitoring
evaluasi program Imunisasi
dan monitoring KIPI serta pencatatan pelaporan.
Pengelola logistik Imunisasi bertugas untuk
menyimpan,
mengelola, mendistribusikan, memelihara
dan melaporkan
vaksin, alat suntik, dan peralatan cold chain serta logistik lainnya
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Imunisasi.
Jumlah tenaga pengelola program Imunisasi dan tenaga pengelola logistik Imunisasi dapat lebih dari satu orang disesuaikan
jumlah dan kebutuhan ketenagaan yang
ada.
Pada
kondisi tertentu misalnya jumlah
tenaga terbatas, maka dimungkinkan pengelola program Imunisasi
merangkap sebagai pengelola logistik
Imunisasi.
Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota pengelola program Imunisasi sebaiknya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pembinaan (RR, PWS,
Supervisi Suportif, DQS dan EVM).
2.
Peningkatan Kapasitas Petugas
(Pelatihan)
Pelatihan merupakan salah satu upaya
peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas/pengelola Imunisasi
dalam rangka meningkatkan kinerja dan kualitas petugas. Pelatihan yang dilaksanakan dimaksud diharapkan terakreditasi dan mempunyai sertifikat.
a. Konsep Pelatihan
Konsep pelatihan dalam Imunisasi, terdiri dari:
1) Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training)
dengan memasukkan materi Imunisasi dalam pembelajaran/kurikulum Institusi
pendidikan tenaga
kesehatan
(Fakultas Kedokteran, Keperawatan,
FKM, Akper, Akbid, dan lain-lain).
2) Pelatihan dalam tugas (in
service
training)
dapat
berupa
aspek pemberian pelayanan Imunisasi maupun aspek manajemen program pelatihan dasar
Imunisasi (initial training in
basic immunization)
3) Pelatihan magang yaitu pelatihan
bagi peserta yang pernah
mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi ditemukan kekurangan dalam hal-hal
tertentu. Petugas yang dilatih, diminta mengikuti kegiatan di unit lain dengan kinerja baik dan bekerja
di bawah penyeliaan petugas di unit tempatnya magang. Materi yang diberikan diseleksi sesuai dengan inkompetensi yang ditemukan.
4) Pelatihan penyegaran, yaitu
pelatihan formal
yang
dilakukan terhadap peserta yang telah
mengikuti pelatihan sebelumnya minimal
3 (tiga) tahun atau ada materi
baru yang memerlukan pemahaman.
5) On the
job training
(pelatihan
ditempat tugas) pelatihan untuk petugas
yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan masalah dalam
kinerjanya yang dapat diatasi dengan pembinaan pada saat supervisi.
6) Pelatihan lanjutan (continued training/advanced
training)
Pelatihan
untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
program pada tingkatan/level yang
lebih tinggi. Materi berbeda
dengan pelatihan dasar. Pelatihan ini
memberikan peluang bagi para pengelola
program untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya.
Disamping itu, pelatihan ini memberikan pengayaan bagi program.
7) Tenaga
pengelola yang
sudah
mendapatkan pelatihan sebaiknya tidak dipindahtugaskan minimal 3 (tiga) tahun sejak
dilatih.
b. Pengembangan Pelatihan
Pelatihan bagi tenaga pelaksana dan pengelola Imunisasi
menggunakan pendekatan Competency-Based
Training(CBT) yang telah terakreditasi atau
tersertifikasi.
Pelatihan dapat diselenggarakan
secara berjenjang oleh kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan/atau lembaga swasta. Lembaga swasta yang menyelenggarakan
pelatihan harus telah terakreditasi oleh kementerian dan/atau dinas sesuai ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku.
E.
Pelaksanaan Pelayanan
Imunisasi Program dapat
dilaksanakan secara perorangan atau massal dengan tetap mengacu pada
prinsip dan aturan pelaksanaan.
Berdasarkan tempat
pelayanan, Imunisasi Program dibagi menjadi:
1. Pelayanan Imunisasi di dalam
gedung (komponen statis)
Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan, Imunisasi
dapat diberikan melalui fasilitas
pemerintah maupun swasta, antara lain rumah sakit pemerintah, Puskesmas, instalasi pelayanan kesehatan di pintu
masuk Negara (Kantor
Kesehatan Pelabuhan), Unit Pelayanan Kesehatan Swasta (UPKS) seperti rumah sakit swasta, praktek dokter, praktek bidan, dan Klinik swasta. UPKS
sebagai provider/pemberi pelayanan Imunisasi
wajib menggunakan vaksin yang disediakan oleh Pemerintah dan menggunakan peralatan pelayanan serta logistik sesuai
standar.
UPKS dalam
penyelenggaraan Imunisasi program
harus membuat MoU atau
perjanjian tertulis dengan unit/tempat pengambilan vaksin/logistik program Imunisasi terkaitpencatatan
dan pelaporan hasil pelayanan dengan format yang
standar, logistik vaksin yang dipergunakan
serta melakukan penanganan dan melaporkan KIPI.
Pencatatan Imunisasi pada fasilitas
kesehatan sesuai dengan bukupetunjuk teknispencatatan dan pelaporan Imunisasi, serta bertanggung jawab menjaga kualitas vaksin, rantai dingin dan penerapan safe injection
sesuai standar dari Kementerian Kesehatan,
menyediakan petugas
pelaksana Imunisasi
terlatih
sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan.Dalam meningkatkan keterampilan dan mempertahankan kualitas
pelaksanaan Imunisasi, Dinas Kesehatan harus melakukan pembinaan dan supervisi
kepada UPKS di wilayahnya yang dapat didelegasikan kepada Puskesmas.
2.
Pelayanan Imunisasi di luar gedung
(komponen dinamis)
Pelayanan Imunisasi di luar gedung yang dimaksud adalah di posyandu,
pos pelayanan Imunisasi, di sekolah, atau kunjungan rumah. Dalam pemberian Imunisasi,
harus diperhatikan kualitas
vaksin, pemakaian alat suntik, dan hal–hal penting saat pemberian Imunisasi (dosis, cara dan tempat pemberian, interval pemberian, tindakan
antiseptik dan kontra indikasi).
a.
Kualitas Vaksin
Seluruh Vaksin yang akan digunakan dalam pelayanan Imunisasi
harus sudah memenuhi standard WHO serta memiliki Certificate of Release (CoR)
yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam menentukan
kualitas dan keamanan vaksin adalah:
1) Vaksin belum kadaluwarsa
Secara
umum vaksin dapat digunakan sampai dengan akhir bulan masa kadaluarsa
vaksin.
2) Vaksin
sensitif beku belum pernah mengalami pembekuan Apabila terdapat
kecurigaan vaksin
sensitif beku pernah
mengalami pembekuan, maka harus dilakukan uji kocok (shake test) terhadap vaksin
tersebut. Sebagai pembanding digunakan jenis dan nomor batch vaksin yang sama.
3) Vaksin belum terpapar suhu panas yang
berlebihan.
Dalam
setiap kemasan vaksin telah dilengkapi dengan alat pemantau paparan suhu panas
yang disebut Vaccine
Vial
Monitor (VVM).
4) Vaksin belum
melampaui batas
waktu
ketentuan pemakaian vaksin yang telah
dibuka.
Vaksin yang telah dipakai pada tempat pelayanan statis bisa digunakan lagi pada
pelayanan berikutnya, sedangkan sisa
pelayanan dinamis harus dibuang.
b.
Pemakaian alat suntik
Untuk menghindarkan terjadinya penyebaran
penyakit yang diakibatkan oleh penggunaan berulang alat suntik bekas, maka setiap
pelayanan Imunisasi harus menggunakan
alat suntik yang akan mengalami kerusakan setelah sekali pemakaian (Auto
Disable
Syringe/ADS),
baik
untuk
penyuntikan maupun pencampuran vaksin dengan
pelarut.
c.
Hal-hal yang penting saat pemberian Imunisasi
1)
Dosis, cara pemberian dan tempat pemberian
Imunisasi
Tabel 14. Dosis, Cara dan Tempat Pemberian Imunisasi
Jenis Vaksin |
Dosis |
Cara Pemberian |
Tempat |
Hepatitis B |
0,5 ml |
Intra Muskuler |
Paha |
BCG |
0,05 ml |
Intra Kutan
|
Lengan kanan atas |
Polio |
2
tetes
|
Oral |
Mulut |
IPV |
0,5 ml |
Intra Muskuler |
Paha kiri |
DPT-HB-Hib |
0,5 ml |
Intra Muskuler |
Paha untuk bayi; Lengan kanan
untuk batita |
|
|
||
Campak |
0,5 ml |
Sub Kutan
|
Lengan kiri atas |
DT |
0,5 ml |
Intra Muskuler |
Lengan kiri atas |
Td |
0,5 ml |
Intra Muskuler |
Lengan kiri atas |
2)
Interval
pemberian
Jarak minimal antar dua pemberian
antigen yang sama adalah satu bulan. Tidak ada batas
maksimal antar dua pemberian Imunisasi.
3)
Tindakan
antiseptik
Setiap
petugas yang akan melakukan pemberian Imunisasi
harus mencuci tangan
dengan sabun terlebih
dahulu. Untuk tempat suntikan
dilakukan tindakan aseptik sesuai
aturan yang berlaku.
4) Kontra indikasi
Pada umumnya
tidak terdapat kontra
indikasi Imunisasi untuk individu sehat
kecuali untuk kelompok risiko. Pada setiap
sediaan vaksin selalu
terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap
vaksin.
Tabel 15. Kontra Indikasi
dan Bukan Pada Imunisasi Program
Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus |
Bukan
Indikasi Kontra (imunisasi dapat
dilakukan) |
|
Berlaku umum untuk semua vaksin DPT-HB-Hib, Polio, Campak, dan
Hepatitis B |
||
Riwayat reaksi anafilaktik pada pemberian imunisasi dengan antigen
yang sama sebelumnya |
||
Indikasi Kontra dan Perhatian |
Bukan
Indikasi Kontra (imunisasi
dapat dilakukan) |
|
Khusus |
||
Vaksin DPT-HB-Hib |
||
Ensefalopati dalam 7 hari pasca |
|
|
DPT-HB-Hib sebelumnya |
|
|
Perhatian Khusus |
|
|
• Demam >40,5°C dalam 48 jam • Demam <40,5°C
pasca DPT-HB-Hib pasca DPT-HB-Hib sebelumnya sebelumnya, yang tidak • Riwayat kejang dalam keluarga
berhubungan dengan • Riwayat SIDS dalam
keluarga penyebab lain • Riwayat
KIPI dalam keluarga pasca • Kolaps dan keadaan seperti DPT-HB-Hib syok (episode hipotonik- hiporesponsif) dalam
48 jam pasca DPT-HB-Hib sebelumnya • Kejang dalam 3 hari pasca DPT-HB-Hib sebelumnya • Menangis terus ≥3 jam dalam 48
jam pasca DPT-HB-Hib sebelumnya • Sindrom Guillain-Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi |
||
Vaksin Polio |
||
Kontra Indikasi |
Bukan
Kontra Indikasi |
|
• Infeksi HIV atau kontak HIV |
- Menyusui |
|
serumah |
- Sedang dalam terapi antibiotic |
|
• Imunodefisiensi (keganasan |
- Diare ringan |
|
hematologi atau tumor padat, |
|
|
imuno-defisiensi kongenital), |
|
|
terapi imunosupresan jangka |
|
|
panjang) |
|
|
Perhatian Khusus |
|
|
Kehamilan |
|
|
Hepatitis B |
||
Kontra
indikasi |
Bukan
kontra indikasi |
|
Reaksi anafilaktoid terhadap ragi |
Kehamilan |
Catatan :
Yang
dimaksud
dengan
perhatian
khusus
adalah
pemberian
Imunisasi
diberikan di fasilitas kesehatan yang
lengkap
Dalam penyelenggaraan program Imunisasi diperlukan dukungan peran serta masyarakat.
Untuk itu, diperlukan
pemberian informasi melalui media
cetak, media sosial, media elektronik,
dan media
luar ruang, advokasi dan sosialisasi, pembinaan kader, pembinaan
kepada kelompok binaan balita
dan
anak
sekolah, dan/atau pembinaan
organisasi atau lembaga swadaya masyarakat.
Untuk mencapai
tingkat perlindungan yang optimal di masyarakat
maka
semua sasaran Imunisasi
harus mendapat pelayanan Imunisasi.
Seseorang atau sekelompok orang yang
menghalang-halangi
penyelenggaraan Imunisasi Program termasuk menolak tanpa
alasan medis dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
F.
Pengelolaan Limbah
Pelayanan Imunisasi harus dapat menjamin
bahwa sasaran memperoleh kekebalan
spesifik terhadap penyakit tertentu serta tidak terjadi penularan penyakit kepada petugas dan masyarakat sekitar
akibat limbah
Limbah dari penyelenggaraan
Imunisasi diluar gedung harus dibawa
kembali ke puskesmas untuk kemudian dimusnakan bersama dengan limbah Imunisasi yang
dilaksanakan didalam gedung
Pada
tahun 2000, WHO mencatat kasus infeksi akibat tusukan jarum
bekas
yang terkontaminasi sebagai berikut: Infeksi
virus Hepatitis B sebanyak 21 juta (32%
dari semua infeksi baru), Infeksi virus Hepatitis C sebanyak 2 juta (40% dari semua infeksi baru), Infeksi HIV sebanyak
260 ribu (5% dari seluruh infeksi baru).
Limbah Imunisasi dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu limbah infeksius dan non
infeksius.
1. Limbah Infeksius
Limbah Infeksius kegiatan
Imunisasi merupakan limbah yang ditimbulkan setelah pelayanan Imunisasi
yang mempunyai potensi menularkan
penyakit kepada orang lain, yaitu:
a. Limbah medis tajam berupa alat suntik ADS yang telah dipakai,
alat suntik untuk pencampur vaksin,
alat suntik yang telah kadaluwarsa.
b. Limbah farmasi
berupa sisa vaksin
dalam botol atau ampul,
kapas pembersih/usap, vaksin
dalam botol atau ampul yang
telah rusak karena suhu atau yang telah kadaluarsa.
2. Limbah
non Infeksius
Limbah non Infeksius kegiatan Imunisasi
merupakan limbah yang ditimbulkan setelah pelayanan Imunisasi yang tidak berpotensi
menularkan penyakit kepada orang lain,
misalnya kertas pembungkus alat suntik serta kardus
pembungkus vaksin.
Penanganan limbah
yang tidak benar
akan mengakibatkan berbagai dampak terhadap kesehatan baik langsung
maupun tidak langsung.
1.
Dampak
langsung
Limbah kegiatan Imunisasi mengandung berbagai macam mikroorganisme patogen, yang dapat memasuki tubuh manusia
melalui tusukan, lecet, atau luka di
kulit. Tenaga pelaksana Imunisasi
adalah kelompok yang berisiko paling
besar terkena infeksi akibat limbah kegiatan Imunisasi
seperti Infeksi virus antara
lain: HIV/AIDS, Hepatitis B dan Hepatitis
C. Risiko serupa juga bisa dihadapi oleh tenaga kesehatan lain dan
pelaksana pengelolaan limbah di luar tempat pelayanan Imunisasi termasuk
para pemulung di lokasi pembuangan akhir.
2.
Dampak
tidak langsung
Sisa vaksin yang
terbuang bisa mencemari dan menimbulkan mikroorganisme lain yang dapat menimbulkan risiko tidak
langsung terhadap lingkungan. Berbagai risiko yang mungkin timbul akibat pengelolaan limbah
Imunisasi yang tidak agar dihindari.
Beberapa
prinsip
dalam pelaksanaan pengelolaan limbah
adalah
sebagai berikut:
1. The ”polluter pays” principle atau prinsip
“pencemar yang membayar” bahwa semua penghasil
limbah
secara hukum
dan
finansial bertanggung jawab untuk
menggunakan metode yang aman dan ramah lingkungan dalam pengelolaan limbah.
2. The ”precautionary” principle atau prinsip ”pencegahan” merupakan prinsip kunci yang mengatur perlindungan kesehatan dan keselamatan melalui upaya penanganan yang secepat
mungkin
dengan asumsi risikonya dapat terjadi cukup signifikan.
3. The ”duty of care” principle atau prinsip
“kewajiban untuk waspada” bagi yang
menangani atau mengelola
limbah berbahaya karena secara etik bertanggung jawab untuk
menerapkan kewaspadaaan tinggi.
4. The ”proximity” principle atau
prinsip ”kedekatan”
dalam penanganan limbah
berbahaya untuk meminimalkan risiko dalam pemindahan.
Pengelolaan limbah medis infeksius
1.
Limbah infeksius tajam
Ada
beberapa alternatif dalam melakukan pengelolaan limbah infeksius tajam, yaitu dengan incinerator, bak beton, alternatif
pengelolaan jarum, alternatif pengelolaan syringe.
Gambar 5. Pengelolaan Limbah Infeksius
a.
Dengan Incinerator
Pengelolaan limbah
medis
infeksius tajam
dengan menggunakan Incinerator
Gambar 6. Pengelolaan
Limbah
Dengan
Incenarator
1) Tanpa melakukan penutupan jarum kembali, alat
suntik bekas dimasukan kedalam
safety box segera setelah
melakukan penyuntikan.
2) Safety box adalah kotak tahan air dan tusukan
jarum yang dipakai untuk
menampung limbah ADS sebelum
dimusnahkan, terbuat dari kardus atau plastik.
3) Safety box maksimum diisi sampai ¾ dari volume.
4) Pembakaran
dengan menggunakan Incinerator yang sudah berizin, persyaratan teknis
insinerator mengacu
pada Peraturan perundang-undangan yang
terkait .
b.
Alternatif dengan Bak Beton
Pengelolaan limbah
medis
infeksius tajam
dengan menggunakan pembuangan bak
beton.
Gambar 7. Alternatif Pengelolaan Limbah ADS Dengan Bak Beton
1) Tanpa melakukan penutupan jarum kembali (no recapping), jarum bekas langsung dimasukkan kedalam safety box segera
setelah melakukan penyuntikan.
2) Safety box beserta jarum bekas
dimasukkan kedalam bak beton.
3) Model bak beton dengan ukuran lebar 2 x 2 meter minimal
kedalaman mulai 1,5
meter,
bak
beton
ini
harus
mempunyai penutup kuat dan aman
c.
Alternatif Pengelolaan Jarum
Gambar 8. Alternatif Pengelolaan Limbah ADS
Dengan encapsulation atau sharp pit
1) Setelah
melakukan
penyuntikan,
dilakukan pemisahan jarum dengan plastik syringe dengan menggunakan needle cutter atau needle burner. Jarum yang telah terpisah dari syringe
dimasukan kedalam encapsulation atau
sharp pit.
2) Alat pemisah
antara jarum dengan
syringe plastic dapat menggunakan alat needle cutter atau
needle
destroyer.
Gambar 9. Alat Pemotong ADS
d. Alternatif Pengelolaan Syringe
(1)
Gambar 10. Alternatif Pengelolan ADS
Setelah dilakukan pemisahan antara jarum dengan plastik syringe,
plastik syringe
ditampung terlebih dahulu melalui
bak penampung, selanjutnya dihancurkan
dengan menggunakan alat shredding.
Plastik syringe yang
telah hancur dimasukan ke dalam pit.
e.
Alternatif Pengelolaan Syrine
(2)
1) Selain dimasukkan kedalam pit, plastik
syringe dapat
juga didaur ulang (recycling).
2)
Syringe plastik yang sudah terpisah dari jarum, dicampur
dan direndam
dalam cairan Chlorine solution 0,5 % selama
+
30 menit atau disterilisasi dengan sterilisator selama 20 menit, kemudian syringe plastik dicacah/dihancurkan sehingga menjadi bijih (butiran) plastik dan
dapat didaur ulang.
2.
Limbah Infeksius non tajam
a. Pemusnahan limbah farmasi
(sisa
vaksin) dapat dilakukan dengan mengeluarkan
cairan vaksin dari
dalam botol atau ampul,
kemudian cairan vaksin
tersebut didesinfeksi terlebih dahulu dalam killing tank
(tangki desinfeksi) untuk membunuh mikroorganisme yang terlibat
dalam
produksi.
Limbah
yang
telah didesinfeksi dikirim atau dialirkan ke Instalasi Pengelolaan
Air Limbah (IPAL).
b. Sedangkan
botol atau ampul yang telah kosong dikumpulkan ke dalam tempat sampah
(kantong plastik) berwarna kuning selanjutnya diinsenerasi (dibakar dalam
incinerator)atau menggunakan metode
non
insenerasi (al.
autoclaving, microwave)
G.
Pemantauan dan Evaluasi
1.
Pemantauan
Salah satu fungsi penting dalam manajemen program adalah pemantauan. Dengan pemantauan kita dapat
menjaga agar masing- masing kegiatan
sejalan dengan ketentuan program. Ada beberapa
alat pemantauan yang dimiliki:
a. Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)
Alat pemantauan ini berfungsi untuk meningkatkan cakupan, jadi sifatnya
lebih memantau kuantitas program.
Dipakai pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1985 dan dikenal dengan nama Local Area
Monitoring (LAM). LAM terbukti efektif
kemudian diakui oleh WHO untuk diperkenalkan
di negara lain. Grafik LAM kemudian disempurnakan menjadi yang kita kenal sekarang dengan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS).
Prinsip PWS
1) Memanfaatkan data
yang
ada:
dari
cakupan/laporan cakupan Imunisasi.
2) Menggunakan indikator sederhana
tidak
terlalu
banyak.
Indikator
PWS, untuk masing-masing antigen:
a) Hepatitis
B
0-7
hari
:
Jangkauan/aksesibilitas
pelayanan
b) BCG: Jangkauan/aksesibilitas pelayanan
c) DPT-HB-Hib 1: Jangkauan/aksesibilitas pelayanan d)
Campak: Tingkat (efektivitas
program)
e) Polio4:Tingkat perlindungan
(efektivitas program)
f) Drop out DPT-HB-Hib 1
–
Campak: Efisiensi/manajemen program
3)
Dimanfaatkan
untuk pengambilan keputusan setempat.
4)
Teratur
dan tepat waktu (setiap bulan)
a) Teratur
untuk
menghindari hilangnya informasi penting.
b) Tepat
waktu agar tidak
terlambat dalam mengambil
keputusan.
5) Lebih dimanfaatkan sendiri atau
sebagai umpan balik untuk dapat mengambil
tindakan daripada hanya dikirimkan sebagai laporan.
6) Membuat grafik dan
menganalisa data dengan
menggunakan software PWS dalam program microsoft excel.
b.
Data Quality Self Assessment (DQS)
Data
Quality Self Assessment (DQS) terdiri
dari suatu perangkat alat
bantu yang mudah dilaksanakan dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan. Dan dirancang untuk pengelola Imunisasi
pada tingkat nasional, provinsi, atau
kabupaten/kota untuk mengevaluasi aspek-aspek yang berbeda dari sistim
pemantauan Imunisasi di provinsi, kabupaten/kota dan
tingkat puskesmas, dalam rangka untuk menentukan keakuratan laporan Imunisasi,
dan kualitas dari sistim pemantauan Imunisasi.
Pemantauan mengacu pada pengukuran
pencapaian cakupan Imunisasi dan
indikator sistim lainnya (contoh: pemberian Imunisasi yang aman,
manajemen vaksin, dan lain- lain). Pemantauan berkaitan erat
dengan pelaporan karena juga melibatkan kegiatan pengumpulan data dan
prosesnya.
DQS dimaksudkan untuk mendapatkan
masalah-masalah melalui analisa dan mengarah pada peningkatan kinerja
pemantauan kabupaten/kota dan data untuk perbaikan.
DQS bertujuan untuk menilai kualitas
dan
kuantitas kinerja Imunisasi dengan menilai alat pantau melalui
pertanyaan- pertanyaan yang dimasukkan
ke dalam “tool” DQS. Kualitas ditunjukkan dengan jaring laba-laba, kuantitas ditunjukkan
dengan grafik batang. DQS dilakukan setiap
tahun. oleh karena itu perhatian yang
terus-menerus dapat diberikan untuk meningkatkan praktek pemantauan dan aktifitas menajemen Imunisasi.
c.
Effective Vaccine Management (EVM)
EVM adalah suatu cara untuk melakukan
penilaian terhadap manajemen penyimpanan vaksin, sehingga dapat mendorong suatu
provinsi untuk memelihara dan
melaksanakan manajemen dalam melindungi
vaksin. Pengalaman
menunjukkan bahwa tempat penyimpanan dingin primer adalah unsur yang paling
kritis dalam sistem
Imunisasi karena
di
tempat inilah vaksin diterima, disimpan
dan didistribusikan dalam jumlah besar.
Pada saat terdapat kegagalan peralatan atau pengelolaan pada
tingkat primer, sejumlah besar vaksin dapat rusak hanya dalam beberapa jam.
Pelayanan Imunisasi di seluruh
negara dapat berisiko dan keuangan
dapat mengalami kerugian berjuta-juta
dolar. Hal ini bukan hanya teori,
tapi hal itu telah terjadi. Untuk mencegah atau menghindari ancaman dari
kegagalan yang besar itu, maka peralatan perlu diadakan, dioperasikan dan
dipelihara sesuai standar
internasional tertinggi, dan
vaksin harus ditangani secara rinci. Dengan cara yang sama, standar tinggi perlu dipelihara pada tempat
penyimpanan tingkat bawahnya, tetapi komitmen dan usaha pada tingkat bawah ini mungkin
sia-sia bila tempat penyimpanan primer
tidak memadai.
EVM didasarkan pada prinsip jaga mutu. Kualitas
vaksin hanya dapat dipertahankan jika produk disimpan dan ditangani dengan tepat
mulai dari
pembuatan hingga
penggunaan. Manager dan penilai luar hanya dapat menetapkan bahwa
kualitas terjaga bila rincian data arsip dijaga dan dapat dipercaya. Jika arsip tidak lengkap atau tidak akurat, sistem
penilaian tidak dapat
berjalan dengan
baik. Sekalipun jika
vaksin disimpan dan didistribusikan secara benar, sistem yang tidak dapat dinilai berarti tidak ‘terjamin mutunya’ dan tidak dapat dinilai sebagai ‘memuaskan’
dalam EVM.
d.
Supervisi Suportif
Supervisi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan meliputi
pemantauan, pembinaan, dan pemecahan masalah serta tindak lanjut.
Kegiatan ini sangat berguna untuk melihat bagaimana program atau kegiatan dilaksanakan
sesuai
dengan
standar
dalam
rangka
menjamin tercapainya tujuan kegiatan Imunisasi. Supervisi suportif didorong untuk dilakukan dengan terbuka,
komunikasi dua arah
dan membangun pendekatan
tim yang memfasilitasi pemecahan
masalah. Ini difokuskan
pada pemantauan kinerja terhadap target, menggunakan data untuk mengambil keputusan dan di pantau oleh petugas untuk
memastikan bahwa ilmu atau strategi
yang baru tersebut dilaksanakan dengan
baik. Kegiatan supervisi dapat
dimanfaatkan pula untuk melaksanakan “on the job
training”
terhadap petugas di lapangan. Diharapkan dengan supervisi ini, dari waktu ke waktu, petugas akan menjadi lebih terampil baik segi teknis maupun manajerial. Supervisi diharapkan akan
menimbulkan motivasi untuk meningkatkan kinerja petugas lapangan.
e.
Surveilans Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi(KIPI)
Surveilans KIPI atau surveilans
keamanan vaksin merupakan suatu strategi penyelesaian laporan KIPI.
Kegiatan yang dilakukan berupa pengobatan/perawatan,
pemantauan,pelaporan, danpenanggulangan
(kajian dan rekomendasi oleh komite
independen) terhadap semuareaksi simpang/KIPI yang
terjadi setelah pemberian Imunisasi. Pelaporan dan kajian KIPI dilaksanakan
dengan menggunakan instrumen website keamanan vaksin.
f.
Recording and
Reporting (RR)
Setiap fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi
harus melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala serta
berjenjang kepada Menteri melalui
Dinas Kesehatan Provinsi dan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud
meliputi cakupan Imunisasi,
stok dan pemakaian vaksin, auto disable syringe,
dansafety box,
monitoring suhu, kondisi peralatan cold
chain,
dan kasus KIPI atau diduga
KIPI. Khusus untuk laporan
KIPI
dilaporakan melalui website keamanan vaksin.
Pelaksana pelayanan
Imunisasi harus melakukan pencatatan terhadap pelayanan Imunisasi yang dilakukan.
Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin dilakukan di buku Kesehatan Ibu dan Anak, buku kohort
ibu/bayi/ balita, buku Rapor
Kesehatanku, dan buku rekam medis.
Pencatatan pelayanan Imunisasi
rutin yang dilakukan di pelayanan kesehatan swasta wajib dilaporkan setiap bulan ke Puskesmas
wilayahnya dengan menggunakan format yang berlaku.
Pencatatan pelayanan Imunisasi tambahan dan khusus dicatat dan dilaporkan dengan format khusus secara berjenjang kepada Menteri melalui Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Laporan lengkap diterima selambat-lambatnya sebulan setelah pelaksanaan.
g. Stock
Management System (SMS)
Stock
Management System
adalah cara untuk
memudahkan para pengelola Imunisasi dalam hal
pencatatan baik vaksin maupun logistik
lainnya dengan menggunakan metode komputerisasi. Pencatatan stock dengan sistem
ini sangat menolong pengelola
program Imunisasi dalam hal perencanaan,
pendistribusian, maupun permintaan vaksin
dan logistik lain untuk kebutuhan
program Imunisasi daerahnya. Setiap
pengelola program Imunisasi diharapkan dapat melakukan manajemen stock, dengan menggunakan tools SMS yang telah disediakan. Dengan menggunakan sistem ini diharapkan
ketersediaan vaksin dapat didistribusikan seefisien mungkin.
h. Cold Chain Equipment Management (CCEM) untuk inventarisasi dan monitoring evaluasi peralatan Cold Chain
Inventarisasi
peralatan
cold chain
adalah suatu bentuk kegiatan untuk melakukan intevarisasi peralatan
cold chain di tingkat
Provinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas,
dan unit pelayanan Imunisasi
lainnya. Metode untuk melakukan inventarisasi peralatan coldchain ini dapat menggunakan format excel atau dengan menggunakan instrumen antara lain CCEM, DHIS
2.
i. Rapid
Convenience Assessment (RCA)
Merupakan penilaian
cepat untuk mengukur akurasi hasil
cakupan Imunisasi di komunitas. Kegiatan ini juga bertujuan
untuk
mencari informasi alasan anak-anak/ibu
tidak mendapatkan/melakukan Imunisasi
atau mengapa mereka tidak kembali
untuk menyelesaikan jadwal Imunisasi
yang lengkap.Kegiatan ini dilakukan dengan cara
melakukan kunjungan ke rumah
yang terdekat dengan pusat
pelayanan kesehatan sampai
ditemukan minimal 20 sasaran Imunisasi.
j.
Survei Cakupan Imunisasi
Survei cakupan Imunisasi
ini merupakan pemantauan secara eksternal terhadap kualitas dan kuantitas
data serta pelayanan Imunisasi.
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
wajib melaksanakan pemantauan dan
evaluasi penyelenggaraan Imunisasi.
2. Evaluasi
Tujuan
dari evaluasi adalah untuk mengetahui
hasil ataupun proses kegiatan bila dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam kegiatan
evaluasi dilakukan secara berkala dalam Imunisasi.
Berdasarkan sumber data, ada dua macam evaluasi:
a.
Evaluasi dengan Data Sekunder
Dari angka-angka yang dikumpulkan
oleh puskesmas selain dilaporkan perlu
dianalisis. Bila cara
menganalisisnya baik dan teratur, akan
memberikan banyak informasi penting yang dapat menentukan kebijaksanaan
program.
1) Stok Vaksin
Stok vaksin dilaporkan oleh petugas
puskesmas, kabupaten dan provinsi ke tingkat yang di atasnya untuk pengambilan
atau distribusi vaksin. Grafik dibuat menurut waktu, dapat dibandingkan dengan
cakupan dan batas stok maksimum dan minimum untuk menilai kesiapan stok vaksin
menghadapi kegiatan program. Data
stok vaksin diambil dari kartu stok.
2) Indeks
Pemakaian Vaksin
Dari pencatatan stok vaksin setiap
bulan diperoleh jumlah vial/ampul vaksin yang digunakan.
Untuk mengetahui berapa rata-rata jumlah dosis diberikan untuk setiap vial/ampul, yang disebut indeks pemakaian
vaksin (IP). Perhitungan IP dilakukan untuk setiap jenis vaksin.
Nilai IP
biasanya lebih kecil dari jumlah
dosis per vial/ampul. Hasil
perhitungan IP menentukan
berapa jumlah vaksin yang
harus disediakan untuk tahun
berikutnya. Bila hasil perhitungan IP dari tahun ke tahun untuk masing-masing vaksin divisualisasikan, pengelola program akan lebih mudah menilai apakah strategi operasional yang diterapkan di puskesmas sudah memperhatikan masalah efisiensi program tanpa mengurangi cakupan dan mutu
pelayanan.
3)
Suhu Vaccine Refrigerator
Pencatatan suhu Vaccine Refrigerator atau freezer dilakukan setiap hari pada grafik suhu
yang tersedia untuk masing-masing unit penyimpanan vaksin (tercantum dalam
formulir 26 terlampir). Pencatatan suhu dilakukan
2 kali setiap hari pagi dan sore hari. Dengan menambah catatan saat
terjadinya peristiwa
penting pada grafik tersebut, seperti sweeping, KLB,
KIPI, penggantian
suku cadang, grafik suhu ini akan menjadi sumber informasi penting.
4)
Cakupan per Tahun
Untuk setiap antigen grafik cakupan per tahun dapat memberikan gambaran secara keseluruhan tentang
adanya kecendrungan:
a)
Tingkat
pencapaian cakupan Imunisasi.
b) Indikasi
adanya masalah.
c) Acuan untuk memperbaiki kebijaksanaan atau strategi
yang perlu diambil untuk tahun berikutnya.
b. Evaluasi dengan Data Primer
1)
Survei Cakupan (Coverage Survey)
Tujuan
utama adalah untuk mengetahui
tingkat cakupan Imunisasi dan tujuan lainnya adalah untuk memperoleh informasi tentang
distribusi umur saat diImunisasi, mutu pencatatan danpelaporan, sebab kegagalan Imunisasi dan tempat memperoleh
Imunisasi. Metodologi :
a) Jumlah sampel yang diperlukan 210 anak.
b) Cara pengambilan sample adalah 30
cluster.
c) Lokasi cluster ditentukan secara
acak/random,
(2
stage cluster sampling).
d) Untuk tiap cluster
diperlukan 210/30 = 7 sample lihat petunjuk teknis survei cakupan.
e) Periode
cakupan yang akan di
cross-check
dengan survei ini menentukan umur
responden.
f) Alat yang digunakan kuesioner standar.
2)
Survei Dampak
Tujuan
utama adalah untuk menilai keberhasilan Imunisasi terhadap penurunan
morbiditas penyakit tertentu,
misalnya:
a) Pencapaian eliminasi
tetanus
neonatorum
yang
ditunjukkan
oleh
insidens rate <1/10.000 kelahiran hidup.
b) Pencapaian
eradikasi
polio
yang
ditunjukkan oleh insiden rate 0.
c) Pencapaian
reduksi
mortalitas
campak
sebesar
90%
dan morbidilitas sebesar 50% dari keadaan sebelum program.
Tujuan
lainnya adalah untuk memperoleh
gambaran epidemiologis PD3I seperti distribusi
penyakit menurut umur, tempat tinggal dan faktor-faktor resiko.
3)
Uji Potensi Vaksin
Tujuan
utama adalah untuk mengetahui potensi dan keamanan dari vaksin serta untuk mengetahui kualitas cold chain/pengelolaan vaksin.
Badan Litbangkes
melakukan uji potensi
untuk menilai secara umum kualitas vaksin yang dipakai dalam Imunisasi program. Badan POM melakukan uji potensi vaksin bila ditemui indikasi
tertentu seperti KIPI.
Metodologi :
a) Yang dipakai sebagai
indikator/sample adalah: vaksin DPT-HB-Hib
(sensitif terhadap pembekuan); dan vaksin polio (sensitif terhadap
panas).
b) Batas minimal vaksin polio yang poten
adalah: (1) type 1 106.0
CCID 50
(2) type
2 105.0 CCID 50 (3) type 3
105.5 CCID 50
c) Dalam vaksin DPT-HB-Hib potensi
50 vaksin
tetanus minimal adalah 60 IU/dosis,
batas minimal vaksin pertussis yang poten adalah 4 IU / dosis.
d) Sample diambil dari tempat penyimpanan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan puskesmas. Jumlah sample untuk
masing-masing
tempat
penyimpanan
adalah 3 (tiga) vial.
BAB IV
KEJADIAN IKUTAN
PASCA IMUNISASI (KIPI)
Seiring dengan cakupan Imunisasi
yang
tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat dan sebagai akibatnya
kejadian berupa reaksi simpang yang diduga berhubungan dengan Imunisasi
juga meningkat. Hal ini bisa dilihat
dalam maturasi Imunisasi yang digambarkan oleh Robert T. Chen.
Gambar 11. Maturasi Program Imunisasi
Fase |
Fase |
Fase |
Fase |
Fase |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
Prevaksinasi Cakupan Kepercayaan Kepercayaan Eradikasi
meningkat masyarakat
timbul
menurun kembali
Kejadian, jumlah kasus (penyakit)
I n |
|
|
|
Imunisasi
berhenti |
s |
|
|
|
|
i |
|
|
|
|
d |
|
|
|
|
e n |
Cakupan imunisasi |
|
KLB |
|
P |
|
|
|
|
D |
|
|
|
|
3 |
|
KIPI |
|
|
I |
|
|
|
|
Eradikasi
Maturasi Program
Imunisasi
Keterangan:
1.
Prevaksinasi.
Pada
saat ini insidens penyakit masih tinggi (jumlah kasus banyak), Imunisasi
belum dilakukan sehingga KIPI belum menjadi masalah.
2.
Cakupan meningkat.
Pada
fase
ini, Imunisasi telah menjadi program di suatu negara, maka makin lama cakupan makin
meningkat yang berakibat penurunan insidens penyakit. Seiring dengan
peningkatan cakupan Imunisasi terjadi peningkatan KIPI di
masyarakat.
3.
Kepercayaan masyarakat (terhadap Imunisasi)
menurun.
Meningkatnya
KIPI dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program Imunisasi. Fase ini sangat berbahaya
oleh karena akan menurunkan
cakupan Imunisasi, walaupun kejadian KIPI tampak
menurun tetapi berakibat meningkatnya kembali insidens penyakit sehingga terjadi
kejadian luar biasa (KLB).
4.
Kepercayaan masyarakat timbul kembali.
Apabila KIPI dapat
diselesaikan dengan baik, yaitu pelaporan
dan pencatatan yang baik, penanganan KIPI segera, maka
kepercayaan masyarakat terhadap program Imunisasi akan pulih
kembali. Pada saat ini, cakupan Imunisasi yang tinggi akan tercapai kembali dan diikuti penurunan angka
kejadian penyakit, walaupun KIPI tampak akan meningkat lagi.
5.
Eradikasi.
Hasil akhir
program Imunisasi adalah
eradikasi suatu penyakit.
Pada fase ini
telah terjadi maturasi
kepercayaan masyarakat terhadap Imunisasi,
walaupun KIPI tetap dapat dijumpai.
Robert T. Chen telah membuat prakiraan perjalanan program Imunisasi dihubungkan dengan maturasi kepercayaan masyarakat dan dampaknya pada
angka kejadian penyakit. Keberhasilan Imunisasi
akan diikuti dengan pemakaian vaksin dalam dosis besar. Namun, pada perjalanan
program Imunisasi akan memacu proses maturasi persepsi masyarakat
sehubungan dengan efek samping vaksin yang mungkin timbul sehingga berakibat
munculnya kembali penyakit dalam bentuk
kejadian luar biasa (KLB). Perlu upaya
yang maksimal dalam mengelola KIPI sehingga timbul kembali kepercayaan masyarakat terhadap Imunisasi dan tujuan Imunisasi
berupa eradikasi, eliminasi dan reduksi PD3I
akan bisa dicapai.
Jenis dan pelaporan KIPI dibedakan
atas KIPI serius dan Non Serius. KIPI serius (Serious Adverse Event/SAE) atau KIPI berat
adalah setiap kejadian medis
setelah Imunisasi yang menyebabkan rawat inap, kecacatan, dan
kematian serta yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dilaporkan setiap ada kejadian
dan berjenjang dilengkapi
investigasi untuk dilakukan kajian serta rekomendasi oleh Komda dan atau Komnas PP KIPI. (tercantum
dalam formulir 1, formulir 2, dan
formulir 3 terlampir)
KIPI non serius atau KIPI ringan adalah kejadian
medis yang terjadi
setelah
Imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan si penerima. Dilaporkan rutin setiap bulan
bersamaan dengan hasil cakupan Imunisasi
(tercantum dalam formulir 27 terlampir).
Rekomendasi WHO mengenai pemantauan KIPI tertuang pada pertemuan
WHO-SEARO tahun
1996 sebagai berikut:
1. Imunisasi harus
mempunyai perencanaan rinci dan terarah sehingga dapat memberikan
tanggapan segera pada laporan KIPI
2. Setiap KIPI serius harus dianalisis oleh tim yang terdiri dari para ahli epidemiologi dan profesi (di
Indonesia
oleh
Komite
Nasional Pengkajian dan Penangulangan KIPI/Komnas
PP KIPI) dan temuan tersebut harus disebarluaskan
melalui jalur Imunisasi dan media massa
3. Imunisasi harus segera memberikan tanggapan secara cepat dan akurat kepada media massa, perihal
dugaan kasus KIPI yang terjadi
4. Pelaporan KIPI karena kesalahan prosedur
misalnya abses, BCGitis, harus dipantau demi perbaikan
cara penyuntikan yang benar di kemudian hari
5. Imunisasi harus melengkapi petugas lapangan
dengan
formulir
pelaporan kasus, definisi KIPI yang jelas,
dan instruksi yang rinci perihal
jalur pelaporan
6. Imunisasi
perlu
mengkaji laporan KIPI dari
pengalaman dunia
internasional sehingga dapat
memperkirakan
besar
masalah
KIPI
yang dihadapi.
A. Tata
Cara Penanganan KIPI
Beberapa ketentuan dalam penanganan KIPI adalah:
1. Setiap KIPI yang dilaporkan oleh petugas maupun oleh
masyarakat harus dilacak,
dicatat, dan ditanggapi oleh pelaksana Imunisasi;
2. KIPI harus
dilaporkan oleh
pelaksana Imunisasi ke
tingkat administrasi yang lebih tinggi;
3. Untuk setiap
KIPI, masyarakat berhak
untuk
mendapatkan
penjelasan resmi atas hasil analisis resmi yang dilakukan
Komda PP KIPI atau Komnas PP KIPI;
4. Hasil kajian KIPI oleh Komda PP KIPI atau Komnas PP KIPI
dipergunakan untuk perbaikan Imunisasi;
dan
5. Pemerintah
dan pemerintah daerah
turut bertanggung jawab
dalam penanggulangan KIPI di daerahnya atau
sistem
penganggaran
lainnya.
Komnas PP KIPI mengelompokkan etiologi KIPI
dalam
2
(dua)
klasifikasi yaitu klasifikasi
etiologi lapangan dan klasifikasi kausalitas.
1.
Klasifikasi Etiologi Lapangan
Sesuai dengan manfaat
di
lapangan
maka
Komnas
PP
KIPI
berdasarkan kriteria WHO Causality Assessment of an Adverse Event
Following Immunization (AEFI) dan Global manual on surveillance of adverseevents following immunization.
Klasifikasi etiologi lapangan terdiri
dari:
a. Vaccine product-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan
produk vaksin)
b. Vaccine quality defect-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan defek kualitas vaksin)
c. Immunization error-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan
adanya penyimpangan dalam pemberian Imunisasi)
d. Immunization
anxiety-related reaction (reaksi yang berkaitan
dengan kecemasan yang berlebihan yang berhubungan dengan Imunisasi)/ reaksi suntikan
e.
Coincidental
event
(kejadian yang secara
kebetulan bersamaan).
2. Klasifikasi kausalitas
Klasifikasi kausalitas mengelompokkan KIPI menjadi
4 (empat)
kelompok yaitu:
a.
Klasifikasi konsisten
Klasifikasi yang namun bersifat temporal
oleh karena bukti tidak cukup untuk
menentukan hubungan kausalitas.
1) Data rinci KIPI harus di simpan di arsip data dasar tingkat nasional
2) Bantu dan
identifikasi petanda
yang mengisyaratkan adanya aspek baru yang
berpotensi untuk terjadinya KIPI
yang mempuyai hubungan kausal Imunisasi.
b.
Klasifikasi inderteminate
Klasifikasi berbasis bukti yang ada dan dapat diarahkan pada beberapa kategori
definitif.
Klarifikasi informasi tambahan yang dibutuhkan agar dapat membantu
finalisasi penetapan kausal dan harus
mencari informasi dan pengalaman dari nara sumber baik nasional, maupun internasional.
c.
Klasifikasi inkonsisten
Suatu kondisi
utama atau
kondisi yang disebabkan paparan terhadap sesuatu selain
vaksin
d.
Klasifikasi Unclassifiable
Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk memungkinkan dilakukan penilaian dan
identifikasi penyebab.
B.
Pemantauan KIPI
Untuk mengetahui hubungan antara Imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan pelaporan
semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian Imunisasi yang merupakan
kegiatan dari surveilans KIPI.
Surveilans KIPI tersebut sangat
membantu Imunisasi, untuk mengetahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah terjadi secara kebetulan
hal ini penting untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan
pentingnya Imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.
Pemantauan KIPI yang efektif melibatkan:
1. Masyarakat atau petugas
kesehatan
di
lapangan,
yang
bertugas
melaporkan bila ditemukan KIPI kepada
petugas
kesehatan Puskesmas setempat;
2. Supervisor
tingkat Puskesmas (petugas kesehatan/Kepala Puskesmas) dan Kabupaten/Kota, yang
melengkapi laporan kronologis KIPI;
3. Tim KIPI
tingkat Kabupaten/Kota, yang menilai
laporan KIPI dan menginvestigasi KIPI
apakah memenuhi kriteria klasifikasi lapangan, dan melaporkan kesimpulan
investigasi ke Komda PP KIPI;
4.
Komda PP KIPI;
5.
Komnas PP KIPI; dan
6. Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan, yang bertanggung jawab terhadap keamanan Vaksin.
Tujuan
utama pemantauan KIPI adalah
untuk mendeteksi dini, merespon KIPI
dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif Imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap
Imunisasi. Hal ini
merupakan indikator kualitas
program. Bagian yang terpenting dalam
pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi KIPI secara
lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisis untuk mengidentifikasi
dan merespon suatu masalah. Respon merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI.
Pemantauan KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan, pelacakan, analisis kejadian, tindak lanjut,
pelaporan dan evaluasi, seperti tertera pada diagram berikut:
Gambar 12. Alur Pelaporan
dan Pelacakan Kasus
KIPI
Penemuan
Laporan
24 jam
Informasi dari Masyarakat
Petugas Kesehatan
1.Pengobatan/Perawatan Jika diperlukan
2.Pelaporan, Pelacakan/Investigasi
Konfirmasi
: Positif atau negatif
Identifikasi : Kasus Vaksin
Petugas
Tata
laksana
Sikap Masyarakat
Tunggal/berkelompok
Apakah
ada kasus lain
yang serupa
Petugas Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi
Analisis Sementara Penyebab
dan Klasifikasi KIPI melengkapi investigasi
Pokja
KIPI Kabupaten/Kota
Tindak Lanjut
Pengobatan
Komunikasi
Perbaikan Mutu Pelayanan
Puskesmas RS
Dinas Kes Kab.
Website Keamanan Vaksin
Kajian Laporan
Etiologi Lapangan
Kausalitas
KomDa PP KIPI
KomNas
PP-KIPI
Subdit Imunisasi , BPOM
Pada keadaan tertentu KIPI yang menimbulkan
perhatian berlebihan dari masyarakat,
maka pelaporan dapat dilakukan langsung kepada Kementerian Kesehatan cq. Sub
Direktorat Imunisasi/Komnas PP KIPI. Skema alur kegiatan pelaporan dan pelacakan KIPI,
mulai dari penemuan KIPI di masyarakat
kemudian dilaporkan dan dilacak
hingga akhirnya dilaporkan pada Menteri Kesehatan seperti skema berikut:
Gambar 13. Alur Pelaporan
dan Kajian KIPI
Menteri
Kesehatan
Komnas PP-KIPI Ditjen PP & PL BPOM Cq. Subdit Imunisasi
Website Keamanan Vaksin
Produsen
Vaksin
Komda PP-KIPI Dinas Kesehatan Balai POM Provinsi
Dinas Kesehatan Rumah
Sakit
Kabupaten/Kota
Memberikan laporan Mengirimkan
laporan Pelacakan
Koordinasi
Puskesmas
Masyarakat
Dari gambar di atas masyarakat akan melaporkan adanya KIPI
ke Puskesmas, UPS
atau RS. Kemudian UPS
akan
melaporkan ke Puskesmas, sementara Puskesmas dan RS akan melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk kasus KIPI serius maka Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota akan melakukan konfirmasi kebenaran kasus KIPI serius
tersebut, bila ternyata benar maka akan melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi. Kemudian bila perlu
dilakukan investigasi,
maka Dinas Kesehatan Provinsi akan berkoordinasi dengan Komda PP KIPI dan Balai POM Provinsi serta melaporkan
kedalam website keamanan vaksin untuk dilakukan kajian oleh komite
independen (KOMDA dan atau
KOMNAS PP KIPI).
(format laporan KIPI tercantum dalam formulir 1,
formulir 2, dan formulir 3 terlampir).
C.
Kurun Waktu Pelaporan
Laporan seharusnya selalu dibuat secepatnya sehingga keputusan
dapat dibuat secepat mungkin untuk
tindakan atau pelacakan. Kurun waktu pelaporan agar mengacu
pada tabel di bawah. Pada keadaan tertentu,
laporan satu KIPI dapat dilaporkan beberapa kali sampai ada kesimpulan akhir
dari kasus. Kurun
waktu pelaporan berdasarkan jenjang administrasi yang menerima laporan terlihat seperti tabel dibawah ini:
Tabel 16. Kurun waktu
pelaporan KIPI Serius
Jenjang Administrasi |
Kurun Waktu Diterimanya Laporan |
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota |
24 jam dari saat penemuan kasus |
Dinas Kesehatan Provinsi/ Komda PP-KIPI
(melalui website keamanan vaksin) |
24-72 jam dari saat penemuan kasus |
Sub Direktorat Imunisasi/ Komnas PP-KIPI (melalui website keamanan vaksin) |
24 jam-7 hari dari saat penemuan kasus |
Kurun waktu
pelaporan KIPI diatas
berdasarkan jenjang
Administrasi
dan kurun waktu diterimanya laporan KIPI serius. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian
pada pelaporan KIPI :
1. Identitas:
nama anak, tanggal dan tahun lahir (umur), jenis kelamin,
nama orang tua dan alamat.
2.
Waktu dan tempat pemberian Imunisasi
(tanggal, jam, lokasi).
3. Jenis vaksin
yang diberikan, cara pemberian, dosis,
nomor batch, siapa yang memberikan, bila disuntik tuliskan lokasi
suntikan.
4. Saat
timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui berapa lama interval
waktu antara pemberian Imunisasi dengan terjadinya KIPI.
5.
Adakah gejala KIPI pada
Imunisasi terdahulu?
6. Bila gejala klinis atau diagnosis
yang terdeteksi tidak terdapat dalam kolom isian, maka dibuat dalam
laporan tertulis.
7. Pengobatan
yang
diberikan dan
perjalanan penyakit (sembuh, dirawat atau meninggal).
8.
Sertakan hasil laboratorium yang pernah
dilakukan.
9.
Apakah terdapat gejala sisa, setelah
dirawat dan sembuh.
10. Tulis
juga apabila terdapat penyakit lain
yang menyertainya.
11. Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI (kronologis).
12. Adakah tuntutan dari keluarga.
13. Nama dokter yang bertanggung jawab.
14. Nama pelapor KIPI.
D. Faktor Pendukung Pelaporan KIPI
Agar
petugas
kesehatan mau melaporkan
KIPI
sesuai
dengan
ketentuan pelaporan, maka perlu:
1. meningkatkan kepedulian terhadap
pentingnya
pelaporan,
melalui
sistim pelaporan yang
telah
ada
sehingga
membuat
pelaporan
menjadi mudah, terutama pada situasi yang tak pasti;
2.
membekali petugas kesehatan dengan
pengetahuan mengenai KIPI
dan safety injection;
3. menekankan
bahwa investigasi adalah untuk menemukan masalah pada sistim sehingga segera
dapat
diatasi
dan
tidak
untuk menyalahkan seseorang;
4. memberikan
umpan
balik
yang
positif terhadap laporan. Paling sedikit, penghargaan pribadi
terhadap petugas kesehatan dengan pernyataan terima kasih untuk
laporannya, walaupun
laporannya tidak lengkap;
5. menyediakan
formulir
laporan
dan
formulir
investigasi
KIPI; dan
Laporan KIPI juga meliputi pelayanan Imunisasi pada UPS (Dokter
praktek swasta dan RS).
E.
Pelacakan KIPI
Pelacakan KIPI mengikuti
standar prinsip pelacakan epidemiologi, dengan memperhatikan kaidah pelacakan
vaksin, teknik dan prosedur Imunisasi
serta melakukan perbaikan berdasarkan
temuan yang didapat.
Tabel 17. Langkah-Langkah
dalam Pelacakan
KIPI
Langkah |
Tindakan |
|
1) Pastikan informasi |
• Dapatkan catatan medik pasien (atau catatan klinis lain) • Periksa informasi tentang pasien dari catatan medik dan dokumen lain • Isi setiap kelengkapan yang kurang dari formulir laporan KIPI • Tentukan informasi
dari kasus lain yang dibutuhkan untuk
mengelengkapi pelacakan |
|
pada laporan |
||
2) Lacak dan |
Tentang pasien |
|
Kumpulkan data |
• Riwayat imunisasi • Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat sebelumnya
dengan reaksi yang sama atau reaksi alergi yang lain • Riwayat keluarga dengan kejadian yang sama |
|
|
Tentang kejadian |
|
|
• Riwayat, deskripsi klinis, setiap hasil
laboratorium yang relevan dengan KIPI dan diagnosis dari kejadian • Tindakan apakah dirawat dan hasilnya |
|
|
Tentang tersangka vaksin-vaksin • Pada
keadaan-keadaa bagaimana vaksin
dikirim, kondisi penyimpanan, keadaan vaccine vial
monitor,
dan catatan suhu pada lemari es. • Penyimpanan vaksin sebelum tiba di fasilitas kesehatan,
dimana vaksin ini tiba dari pengelolaan cold chain yang lebih tinggi, kartu suhu. |
|
|
Tentang orang-orang lain |
|
|
• Apakah
ada orang lain
yang
mendapat imunisasi
dari |
|
|
vaksin yang sama dan menimbulkan penyakit • Apakah
ada
orang lain
yang
mempunyai penyakit yang sama (mungkin
butuh
definisi kasus); jika ya
tentukan paparan pada kasus-kasus terhadap tersangka vaksin yang dicurigai. • Investigasi pelayanan imunisasi |
|
3) Menilai pelayanan |
• Penyimpanan
vaksin (termasuk vial/ampul vaksin yang telah dibuka), distribusi dan pembuangan limbah. • Penyimpanan pelarut, distribusi • Pelarutan vaksin (proses
dan waktu/ jam dilakukan) • Penggunaan dan sterilisasi dari syringe dan jarum. • Penjelasan tentang pelatihan praktik imunisasi, supervisi
dan pelaksana imunisasi. |
|
dengan menanya- |
||
kan tentang: |
||
4) Mengamati |
• |
Apakah melayani
imunisasi dalam
jumlah
yang lebih |
pelayanan: |
• |
banyak daripada biasa? Lemari pendingin;
Apa saja yang
disimpan (catat jika ada kotak penyimpanan yang serupa
dekat dengan vial vaksin yang dapat
menimbulkan kebingungan); vaksin/pelarut
apa saja yang disimpan
dengan obat lain, apakah ada vial yang kehilangan labelnya.
Prosedur imunisasi (pelarutan, menyusun vaksin, teknik |
|
|
penyuntikan,
kemanan jarum
suntik
dan
syringe; |
|
|
pembuangan vial-vial yang sudah terbuka) |
|
• |
Apakah
ada
vial-vial yang sudah terbuka tampak |
|
|
terkontaminasi? |
5) Rumuskan suatu |
• Kemungkinan besar/ kemungkinan penyebab dari kejadian tersebut. |
|
hipotesis kerja |
||
6) Menguji hipotesa |
• Apakah distribusi kasus
cocok dengan hipotesa kerja? • Kadang-kadang diperlukan uji laboratorium |
|
kerja |
||
7) Menyimpulkan |
• Buat kesimpulan penyebab KIPI • Lengkapi formulir investigasi KIPI • Lakukan tindakan koreksi dan rekomendasikan tindakan lebih lanjut |
|
pelacakan |
F.
Uji Laboratorium Vaksin
Uji laboratorium diperlukan untuk
dapat
memastikan atau
menyingkirkan dugaan penyebab
seperti: vaksin
untuk uji sterilitas dan
toksisitas; pelarut
untuk uji sterilitas; jarum suntik
dan syringe
untuk uji sterilitas. Pemeriksaan
yang diperlukan (uji
laboratorium) adalah untuk
menjelaskan kecurigaan dan bukan sebagai prosedur rutin. Jenis KIPI yang
perlu dilakukan pengujian sampel
adalah KIPI yang dicurigai berhubungan dengan reaksi vaksin berat Serious Adverse Event (SAE), dan KIPI berkelompok
(cluster). Pemeriksaan (uji
laboratorium) dilakukan oleh Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN),
Badan POM.
Badan POM menugaskan Balai
Besar
POM
(BBPOM)
untuk melakukan pengambilan sampel, jika diperlukan. Pengambilan sampel
dilakukan oleh BBPOM/BPOM setelah berkoordinasi dengan KomNas PP KIPI/KomDa PP KIPI dan Dinas Kesehatan setempat untuk
identifikasi lot/Batch.
Jumlah
sampel
vaksin
yang
diambil
sesuai
kebutuhan.
Apabila
jumlah
vaksin di tempat kejadian KIPI/lapangan
tidak mencukupi kebutuhan pengujian, maka pengambilan sampel dapat dilakukan di Puskesmas/Dinas Kesehatan setempat yang merupakan sumber penyediaan dari vaksin yang terkait KIPI
pada tingkat Kecamatan/Kabupaten. Apabila sampel masih tidak mencukupi/ habis maka pengambilan sampel
dilakukan pada Dinas Kesehatan Provinsi dengan
nomor batch yang sama.
Proses pengambilan dan pengiriman
sampel harus dilakukan sesuai ketentuan dan persyaratan pengiriman vaksin dan
dilengkapi dengan Berita Acara.
Gambar 12. Sistematika Pengambilan dan
Pengiriman sampel
KOMDA KIPI
Informasi kasus
KIPI
KOMNAS PP KIPI
Pengiriman sampel
Hasil
pengujian
Informasi kasus
KIPI
Dinas
Kesehatan
BB/BPOM
Pengambilan
Pengambilan
sampel
Badan POM Deputi 1 u.p Ditwas
Distribusi
PT dan PKRT
sampel vaksin
Hasil pengujian
Tempat kasus KIPI/
Tempat Pengadaan vaksin terkait
PPOMN
Pengambilan Sampel.
Pengiriman
sampel
vaksin
dilakukan
oleh
BBPOM/BPOM
yang
ditujukan kepada:
Kepala
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) Jl. Percetakan Negara No. 23
Jakarta
Pusat, 10560 dengan tembusan kepada:
Direktur
Pengawasan Distribusi Produk Terapetik
dan PKRT Jl. Percetakan Negara No. 23
Jakarta Pusat. 10560
Kebutuhan sampel
yang diperlukan dalam
uji laboratorium vaksin adalah sebagai berikut:
Tabel 18.Sampel Vaksin
untuk Pemeriksaan Sterilitas
dan Toksisitas
Vaksin
1. |
Campak |
5 |
22
+ diluent/pelarut |
2. |
DT |
5 |
29 |
3. |
Td |
5 |
29 |
4. |
DPT-HB-Hib |
5 |
29 |
5. |
Polio |
10
dosis |
40 |
6. |
Polio |
20
dosis |
40 |
7. |
IPV |
5 |
29 |
8. |
Hepatitis
B Uniject |
0,5 |
56 |
9. |
BCG |
1 |
50 |
Berita Acara Pengambilan Sampel
Vaksin
Pada
hari
ini......................,tanggal....…..,bulan
.................................,
tahun .............., berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Tugas No......................................dari.............,tanggal....…...................,telah dilakukan pengambilan sample untuk
pengujian mutu produk pada :
Nama Sarana : Alamat
:
Nama Produk |
Nomor
Izin Edar
(NIE) |
Produsen |
No.Bets |
Tanggal Produksi |
Expiry Date |
Jumlah |
|
Demikian berita acara dibuat dengan sebenarnya.
………………..,
-
- Pihak Sarana
Petugas :
G.
Kelompok Risiko Tinggi KIPI
Untuk mengurangi risiko timbulnya
KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud
dengan kelompok risiko adalah:
1.
Anak yang mendapat reaksi simpang pada Imunisasi terdahulu.
2.
Bayi berat lahir rendah.
Pada dasarnya jadwal Imunisasi
bayi kurang bulan sama dengan bayi
cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:
1. Titer imunitas pasif melalui transmisi
maternal lebih rendah daripada
bayi cukup bulan
2. Apabila berat badan
bayi
sangat
kecil (<1000 gram) Imunisasi
ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan;
kecuali untuk Imunisasi hepatitis
B pada bayi dengan ibu yang
HBs Ag positif.
Apabila bayi masih dirawat setelah
umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila
vaksin tersedia, sehingga
tidak
menyebabkan penyebaran virus vaksin polio melalui tinja.
1.
Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat peyakit dasar atau
pengobatan imunosupresan (kemoterapi,
kortikosteroid jangka panjang).
Jenis vaksin hidup
merupakan indikasi kontra
untuk pasien imunokompromais, untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia.
Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan
kortikosteroid dosis kecil dan pemberian
dalam waktu pendek. Tetapi
Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid
sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14 hari.
Imunisasi dapat diberikan setelah satu
bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan
atau tiga bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
2.
Pada resipien yang mendapatkan human
immunoglobulin
Imunisasi
virus hidup diberikan setelah tiga bulan pengobatan untuk menghindarkan
hambatan pembentukan respons imun.
3. Pasien HIV
mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan
infeksi Walaupun responnya terhadap Imunisasi
tidak
optimal
atau
kurang, penderita HIV memerlukan Imunisasi. Pasien
HIV dapat diImunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati
sesuai dengan rekomendasi yang tercantum
pada tabel 18.
Tabel
19. Rekomendasi
Imunisasi
untuk Pasien HIV Anak
Vaksin |
Rekomendasi |
Keterangan |
IPV |
Ya |
Pasien dan keluarga serumah |
DPT |
Ya |
Pasien dan keluarga serumah |
Hib |
Ya |
Pasien dan keluarga serumah |
Hepatitis B* |
Ya |
Sesuai jadwal anak sehat |
Hepatitis A |
Ya |
Sesuai jadwal anak sehat |
MMR** |
Ya |
Diberikan umur 12 bulan |
Influenza |
Ya |
Tiap tahun diulang |
Pneumokok |
Ya |
Sedini mungkin |
BCG*** |
Ya |
Dianjurkan untuk Indonesia |
*)
Dianjurkan dosis Hepatitis B dilipat
gandakan dua kali.
**)
Diberikan pada penderita
HIV yang asimptomatik atau HIV
dengan gejala ringan.
***) Tidak diberikan bila HIV yang berat.
H.
KIPI Berkelompok
KIPI berkelompok adalah dua atau lebih KIPI yang serupa
yang terjadi pada saat yang bersamaan, di
tempat yang sama. KIPI berkelompok
kemungkinan besar meningkat akibat kesalahan program. Jika kejadian serupa juga terjadi pada orang lain yang tidak diImunisasi,
kemungkinan penyebabnya adalah karena
kebetulan/koinsiden dan bukan KIPI.
Pada pelacakan KIPI
berkelompok yang harus dilakukan adalah :
1.
Menetapkan definisi untuk KIPI tersebut
.
2. Lacak orang lain di daerah tersebut
yang mempunyai gejala penyakit
yang serupa dengan definisi KIPI tersebut.
3.
Dapatkan riwayat Imunisasi
(kapan, dimana, jenis dan nomor batch
vaksin yang diberikan).
4.
Tentukan
persamaan paparan di antara kasus-kasus tersebut.
5. Laporkan bila
ada berapa
anak
yang pada
saat
bersamaan
mendapatkan vaksin yang sama tetapi tidak ada gejala KIPI
Cara
melakukan identifikasi KIPI berkelompok terlihat
seperti diagram berikut:
Gambar 13. Alur Identifikasi
KIPI berkelompok
KIPI Berkelompok
Apakah s emua kasus berasal
dari satu fasilitas
yg sama (mengunakan bacth yg sama)?
Tidak
Apakah semua kasus mendapat vaksin dari
bacth
yg
s?ama
Tidak
Apakah reaksi vaksin diken?al
Tidak
Adakah penyakit yg sama pada
orang lain yang tidak dimunisasi ?
Tidak
Kesalahan prosedur koinsidental atau tidak diketahui’
Ya
Ya
Ya
Ya
Kesalahan Prosedur
Koinsidental
Kesalahan pembuatan vaksin, batch vaksin
tertentu bermasalah, atau
kesalahan pengiriman/ penyimpanan
Tidak
Adakah penya-kit yg sama pd orang lain yg
yang tidak
diimunisasi?
Apakah rasio
reaksi
berada
dalam rasio diharapkan ?
Tidak
Kesalahan prosedur atau masalah
vaksin
Ya
Ya
Koinsidental Reaksi Vaksin
I. Tindak
lanjut KIPI
1.
Pengobatan
Dengan adanya data KIPI dokter
Puskesmas dapat memberikan pengobatan segera. Apabila KIPI tergolong
serius
harus segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan
pemberian pengobatan segera.
Tabel 20. Gejala KIPI dan
Tindakan
yang Harus Dilakukan
2.
Komunikasi
Kepercayaan merupakan kunci utama komunikasi pada setiap tingkat, terlalu cepat menyimpulkan penyebab kejadian
KIPI dapat merusak kepercayaan masyarakat. Mengakui ketidakpastian, investigasi
menyeluruh, dan tetap beri informasi
ke masyarakat. Hindari membuat pernyataan yang terlalu dini tentang penyebab dari kejadian
sebelum pelacakan lengkap. Jika penyebab diidentifikasi sebagai kesalahan program,
penting untuk tidak berbohong tentang kesalahan seseorang pada
siapapun,
tetapi
tetap
fokus
pada masalah yang berhubungan
dengan sistim yang menyebabkan
kesalahan program dan langkah–langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat, akan bermanfaat apabila membangun
jaringan dengan tokoh masyarakat
dan tenaga kesehatan
di daerah, jadi informasi tersebut bisa dengan cepat
disebarkan.
3.
Perbaikan Mutu Pelayanan
Setelah
didapatkan kesimpulan penyebab dari hasil investigasi KIPI maka dilakukan tindak lanjut perbaikan seperti pada tabel berikut:
Tabel 21. Tindak Lanjut Perbaikan
J.
Evaluasi
Evaluasi rutin
dilakukan
oleh
Komda
PP KIPI/Dinas
Kesehatan
Provinsi minimal enam bulan sekali. Evaluasi
tahunan dilakukan oleh
Komda PP KIPI/Dinas Kesehatan Provinsi untuk
tingkat provinsi dan
Komnas PP KIPI/Sub
Direktorat Imunisasi untuk tingkat nasional.
Kriteria penilaian efektivitas
pemantauan KIPI adalah:
1.
Ketepatan waktu laporan
2.
Kelengkapan laporan
3.
Keakuratan laporan
4.
Kecepatan investigasi
5.
Keadekuatan tindakan perbaikan yang
dilakukan
6.
KIPI tidak
mengganggu Imunisasi
Perkembangan pemantauan KIPI dapat dinilai dari data laporan tahunan di tingkat provinsi dan nasional.
Data laporan tahunan
KIPI mengandung hal-hal di
bawah ini:
1. Jumlah laporan KIPI yang diterima,
dikelompokkan berdasarkan :
a.
Vaksin
b. Klasifikasi etiologi lapangan c. Klasifikasi kausalitas
2. Rate
masing-masing KIPI berdasarkan
vaksin yang diberikan (dan nomor batch) tingkat provinsi dan nasional.
3.
KIPI berat
yang sangat jarang.
4.
KIPI langka
lainnya.
5.
KIPI berkelompok
yang besar.
6.
Ringkasan pelacakan KIPI yang jarang terjadi/penting.
BAB
VI PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan dalam
pelaksanaan Imunisasi program sangat penting dilakukan
di semua tingkat administrasi guna
mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan
maupun evaluasi.
A. Pencatatan
Untuk masing-masing
tingkat administrasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tingkat
Desa
a. Sasaran Imunisasi
Pencatatan bayi, baduta dan WUS untuk persiapan pelayanan Imunisasi meliputi nama, orang
tua, suami, tanggal lahir dan
alamat. Petugas mengkompilasikan data sasaran tersebut ke dalam buku pencatatan
hasil Imunisasi bayi, baduta
dan WUS. Status Imunisasi juga dicatat dalam buku Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA), Kohort,
dan rekam medis.
b. Pencatatan Hasil Imunisasi
bayi dan baduta
Pencatatan hasil Imunisasi untuk bayi dan Baduta dibuat oleh petugas
Imunisasi di kohort bayi (tercantum dalam formulir
4 terlampir)
dan
kohort
anak
balita
dan
anak
prasekolah (tercantum dalam formulir 9 terlampir).
Masing-masing formulir untuk satu
desa.
Dalam perkembangan introduksi vaksin program,
untuk pencatatan yang belum tercantum dalam kohort maka formulir pencatatan hasil Imunisasi
akan ditetapkan kemudian.
c. Pencatatan hasil Imunisasi
Td untuk WUS
Pencatatan hasil Imunisasi
Td untuk WUS termasuk
ibu hamil dan calon
pengantin menggunakan buku catatan
Imunisasi WUS atau dicatat buku kohort ibu (tercantum dalam
formulir 13 dan formulir 14 terlampir). Imunisasi Td hari itu
juga dicatat dalam buku KIA.
d. Pencatatan hasil Imunisasi
Anak Usia Sekolah Dasar
Untuk pencatatan Imunisasi anak usia sekolah Dasar, Imunisasi
DT, campak atau Td yang
diberikan,dicatat di buku KIA/Buku Sehat anak Sekolah dan dicatat pada format
pelaporan BIAS dan
satu salinan diberikan kepada sekolah. Bila
pada waktu bayi terbukti
pernah mendapat
DPT-HB-Hib1 dicatat sebagai T1. Kemudian
mendapat DPT-HB-Hib2 dicatat sebagai T2. Kemudian mendapat DPT-HB-Hib
pada usia baduta dicatat sebagai T3.Sehingga
pemberian DT dan Td
di sekolah
dicatat sebagai T4 dan T5.
Bila tidak terbukti pernah mendapat
suntikan DPT-HB-Hib pada waktu bayi dan Baduta, maka DT
dicatat sebagai T1.
e.
Pencatatan dan pelaporan untuk fasilitas kesehatan swasta
Format pelaporan pelayanan Imunisasi yang dilaporkan minimal memuat data sebagai berikut : nama sasaran, nama orang tua, tanggal lahir,
alamat lengkap, jenis kelamin, dan jenis Imunisasi serta
tanggal pemberiannya.
(tercantum dalam formulir 5 terlampir)
Begitu juga jumlah kualitas dan kuantitas
semua logistik Imunisasi pilihan
(vaksin, ADS dan logistik
lainnya) harus diketahui oleh penyelenggara program Imunisasi nasional
untuk dilakukan monitoring bersama.
2. Tingkat
Puskesmas
a. Hasil Cakupan Imunisasi
1) Hasil kegiatan Imunisasi di lapangan
dicatat di kohort desa
dan direkap di buku pencatatan Imunisasi puskesmas (buku biru) (tercantum dalam formulir 6 dan formulir 10 terlampir).
2) Hasil Imunisasi
anak sekolah di rekap di buku hasil Imunisasi
anak sekolah (tercantum dalam formulir 15 terlampir).
3) Laporan hasil Imunisasi di pelayanan
swasta menggunakan format buku
kohort kemudian dicatat
di buku kohort desa asal sasaran.
4) Setiap catatan dari
buku
biru
ini
dibuat rangkap dua.
Lembar ke 2 dibawa
ke
kabupaten
sewaktu
mengambil
vaksin/konsultasi.
5) Dalam menghitung persentase cakupan,
yang
dihitung
hanya pemberian Imunisasi pada kelompok sasaran dan
periode yang dipakai adalah tahun
anggaran mulai dari
1
Januari sampai dengan 31 Desember pada tahun tersebut. b. Pencatatan Vaksin
Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah nomor batch dan tanggal kadaluwarsa harus dicatat ke dalam laporan
penerimaan vaksin atau kartu stok (tercantum
dalam formulir
20 terlampir). Sisa atau stok vaksin harus selalu dihitung pada setiap kali penerimaan dan
pengeluaran vaksin. Masing-masing
jenis vaksin mempunyai kartu stok tersendiri. Selain itu kondisi VVM sewaktu menerima dan mengeluarkan vaksin juga perlu dicatat di SBBK (Surat Bukti Barang
Keluar).
Jumlah vial dan dosis vaksin yang digunakan dan tersisa dalam penyelengaraan Imunisasi harus dilaporkan kembali
(tercantum dalam formulir 16 terlampir) beserta jumlah limbah Imunisasi ADS
dan vial bekas
untuk dimusnahkan
dengan berita
acara.
c. Pencatatan Suhu Vaccine Refrigerator
Temperatur Vaccine Refrigerator yang terbaca pada termometer yang diletakkan di tempat yang seharusnya, harus dicatat dua
kali sehari yaitu pagi waktu
datang dan sore
sebelum pulang(lampiranGrafik 1. Pencatan
Suhu Lemari Es).
Pencatatan harus dilakukan dengan upaya perbaikan:
1) Bila suhu tercatat di bawah 2
oC, harus dicurigai vaksin
Hepatitis B, DPT-HB-Hib,
DT, IPV,dan
Td
telah beku. Lakukan uji kocok (kecuali vaksin IPV), jangan gunakan vaksin yang rusak dan
buatlah catatan pada kartu stok vaksin.
2) Bila suhu tercatat
diatas 8 oC, segera pindahkan vaksin ke
cold box, vaccine carrier atau termos yang berisi cukup cool pack (kotak dingin cair).
Bila
perbaikan
Vaccine Refrigerator
lebih dari 2 hari, vaksin
harus dititipkan di puskesmas terdekat atau kabupaten. Vaksin yang telah kontak dengan suhu
kamar
lebih
dari
periode
waktu
tertentu, harus dibuang setelah
dicatat di kartu stok
vaksin
d. Pencatatan Logistik Imunisasi
Disamping vaksin, logistik Imunisasi
lain seperti cold chain harus dicatat jumlah,
keadaan, beserta nomor seri serta tahun (Vaccine
Refrigerator,
mini freezer, vaccine carrier, container) harus
dicatat ke dalam kolom
keterangan. Untuk peralatan habis pakai seperti ADS, safety box dan spare part cukup dicatat
jumlah dan jenisnya.
3.
Tingkat Kabupaten/Kota
a.
Hasil cakupan Imunisasi
Kompilasi laporan hasil Imunisasi dari semua puskesmas dan RSU
kabupaten maupun rumah sakit swasta dilakukan setiap bulan dan
dicatat
di
buku hasil
Imunisasi kabupaten/Kota (tercantum
dalam formulir 5 terlampir). Setiap catatan dari buku ini dibuat dalam rangkap dua. Lembar ke 2
dibawa ke provinsi pada waktu mengambil vaksin/konsultasi.
b.
Pencatatan vaksin
Penerimaan dan pengeluaran vaksin terperinci menurut jumlah, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa harus
dicatat dalam buku
stok vaksin (tercantum
dalam formulir 21 terlampir). Sisa atau stok vaksin harus dihitung pada setiap kali
penerimaan atau
pengeluaran vaksin. Masing-masing jenis
vaksin mempunyai buku stok tersendiri. Selain itu kondisi VVM sewaktu menerima dan mengirimkan vaksin
ke puskesmas juga perlu dicatat pada buku
stok dan SBBK (Surat Bukti Barang
Keluar).
c.
Pencatatan logistik Imunisasi
Disamping penerimaan dan pengeluaran
vaksin juga dicatat nomor seri untuk sarana
cold chain (Vaccine
Refrigerator, freezer, vaccine carrier) dan
keadaan sarana dicatat ke dalam kolom
keterangan. Untuk peralatan
habis pakai seperti ADS perlu juga dicatat nomor seri/lot
masa kadaluwarsa, jumlah dan
merk, safety box cukup dicatat jumlah dan jenisnya.
4.
Tingkat Provinsi
a.
Hasil Cakupan Imunisasi
Kompilasi laporan hasil Imunisasi dari semua
kabupaten/kota dilakukan setiap
bulan dan
dicatat di buku
hasil Imunisasi provinsi (tercantum dalam formulir
8 terlampir).
Setiap catatan di buku ini dibuat dalam rangkap
dua. Lembar ke
2
dikirimkan ke pusat. b. Pencatatan
Vaksin
Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa harus dicatat
ke dalam buku stok vaksin (tercantum dalam formulir
22 terlampir). Sisa atau stok vaksin harus selalu dihitung pada setiap kali penerimaan atau pengeluaran vaksin. Masing-masing jenis vaksin
mempunyai buku stok tersendiri. Keluar
masuknya barang termasuk vaksin harus dicatat di buku umum. Jenis vaksin,
nomor batch dan kondisi VVM saat diterima
atau dikeluarkan untuk vaksin
c.
Pencatatan Barang Imunisasi
Disamping vaksin sarana cold chain (Vaccine
Refrigerator, freezer, vaccine carrier, container) harus dicatat nomor
seri, tahun dan keadaan ke
dalam format pencatatan. Untuk peralatan seperti jarum, syringe
dan spare part cukup dicatat jumlah dan jenisnya.
B.
Pelaporan
Hasil pencatatan Imunisasi
yang dilakukan oleh setiap unit yang melakukan kegiatan Imunisasi, mulai dari puskesmas pembantu, puskesmas, rumah sakit umum, Kantor
Kesehatan Pelabuhan, balai Imunisasi swasta, rumah sakit
swasta, klinik swasta
disampaikan kepada pengelola program Imunisasi
kabupaten/kota (tercantum dalam
formulir 7 dan formulir 11 terlampir) dan provinsi (tercantum dalam formulir 8
dan formulir 12 terlampir) sesuai waktu yang telah ditetapkan. Sebaliknya,
umpan balik laporan
dikirimkan secara berjenjang
dari tingkat atas ke tingkat lebih bawah.
Gambar.14. Sistematika Pencatatan
dan Pelaporan
Imunisasi
Rutin
:
Gambar 15. Sistematika Pencatan
Pelaporan
Imunisasi
dasar
dan lanjutan
WUS
Gambar 16 . Sistematika Pencatan Pelaporan Imunisasi lanjutan
Anak Usia
Sekolah
Bagan alur laporan
sebagai berikut :
Gambar 17. Bagan Alur Pelaporan
DITJEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT CQ. DITJEN
KEFARMASIAN
DAN ALAT KESEHATAN
l 15
|
|
gal 10
PUSKESMAS, FASYANKES (RUMAH
SAKIT, PRAKTEK SWASTA, dll)
gal 5
Alur Pelaporan
Umpan Balik
KOHORT (BAYI, ANAK,
IBU)
Gambar 18. Bagan Alur Pelaporan
Imunisasi Khusus
DITJEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT CQ. DITJEN
KEFARMASIAN
DAN ALAT KESEHATAN
|
al 15 bulan pelaksanaan
|
l 10 bulan pelaksanaan
l 5 bulan pelaksanaan
PUSKESMAS, FASYANKES (RUMAH
SAKIT, PRAKTEK SWASTA, dll)
Alur Pelaporan
Umpan Balik
Hal-hal yang dilaporkan adalah:
1.
Cakupan Imunisasi.
2. Dalam melaporkan cakupan Imunisasi,
harus dipisahkan pemberian
Imunisasi terhadap kelompok di luar umur
sasaran. Pemisahan ini sebenarnya sudah dilakukan mulai saat pencatatan, supaya tidak mengacaukan
perhitungan persen cakupan.
3. Stok dan Pemakaian Vaksin.
4. Penerimaan, pemakaian dan
stok
vaksin
setiap
bulan
harus dilaporkan bersama-sama dengan
laporan cakupan Imunisasi.
5. Sarana peralatan
cold chain di puskesmas dan
unit pelayanan lainnya diidentifikasi baik jumlah
maupun kondisinya
dilaporkan oleh puskesmas, kabupaten/kota, dan provinsi secara berjenjang minimal sekali setahun (tercantum dalam formulir 17, formulir
18, dan formulir 19 terlampir).
BAB VI PENUTUP
Dengan ditetapkannya Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi ini, maka diharapkan semua instansi terkait termasuk swasta dan masyarakat dapat bertanggung jawab dalam menyelenggarakan
pelayanan Imunisasi dengan benar dan berkualitas optimal serta
bertanggung jawab. Untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
melalui upaya pencegah terjadinya suatu penyakit melalui upaya maksimal
pemberian Imunisasi dasar lengkap
pada bayi, Imunisasi lanjutan pada anak umur di bawah dua tahun
dan pada anak usia sekolah serta wanita usia subur.
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
Formulir 1. Pelaporan KIPI Serius
Isi dengan Ballpoin (tembus karbon)
Data diisi dengan benar dan valid
FORMULIR PELAPORAN KEJADIAN IKUTAN PASCA
IMUNISASI
(KIPI) Tgl. terima : …./…./20....
Identitas pasien
Tanggal lahir : ...../...../………
Nama : ......................................... Nama Orang Tua
: ......................................... Jenis Kelamin |
Penanggung jawab (dokter) |
|||
......................................................................... |
||||
Alamat |
: .......................................................... .......................................................... |
1. Laki-laki; |
2. Perempuan |
Alamat (RS, Puskesmas, Klinik) ........................................................................... |
RT/RW |
: ....../...... Kel./Desa ............................ |
Bagi Wanita
Usia Subur (WUS) |
RT/RW : ....../...... Kel./Desa ............................ |
|
Kec. |
: .......................................................... |
1. Hamil
2. Tidak Hamil |
Kec. : ......................................................... |
|
Kab/Kota |
: .......................................................... |
|
Kab/Kota:
.......................................................... |
|
Prop. |
: .......................................................... |
KU sebelum imunisasi : |
Prop. : .......................................................... |
|
Telp. |
: .......................................................... |
............................................. |
Telp. : .......................................................... |
|
|
Kode Pos:
Kode Pos:
Pemberi Imunisasi
: Dokter / Bidan / Perawat / Jurim/ ....................
|
Vaksin-vaksin yang diberikan dalam 4 minggu terakhir
Pemberian
Tanggal Jam Oral / intrakutan /
subkutan / i.m
Lokasi penyuntikan
Jumlah dosis
Tempat pemberian imunisasi
: 1. RS; 2. RB; 3. Puskesmas;
4. Dokter Praktek;
5. Bidan Praktek; 6. BP;
7. Posyandu;
8. Sekolah;
9. Balai Imunisasi; 10. Bidan Desa (Polindes); 11. Rumah; 12. Pustu ; 13. Pos PIN
Manifestasi kejadian ikutan (keluhan, gejala klinis)
|
Keluhan & Gejala Klinis Waktu gejala timbul Lama gejala
Perawatan / tindakan
Tanggal Jam
Mnt Mnt Jam
Hari Tindakan darurat
Bengkak pada lokasi penyuntikan
Rawat
jalan
Perdarahan pada lokasi penyuntikan
Rawat
Inap (tgl....................)
Perdarahan lain.................................................... Dirujuk ke........................ Kemerahan lokal
(tgl......................... ) Kemerahan tersebar
Gatal Kondisi
akhir pasien
Bengkak pada bibir / kelopak mata / kemaluan
Sembuh
Bentol disertai gatal
Meninggal
Muntah
(tgl ................................) Diare
Pingsan (sinkop)
Kejang
Sesak nafas
Demam tinggi (>390 C) lebih dari satu hari Pembesaran kelenjar aksila Kelemahan/kelumpuhan otot: lengan/tungkai
Kesadaran menurun
Menangis menjerit terus menerus > 3 jam
Lain-lain 1. .........................................................
2. .........................................................
Apakah ada anak lain yang diimunisasi pada saat yang sama mengalami gejala serupa?
Ya
Tidak
Apakah ada anak lain yang tidak diimunisasi pada saat yang sama mengalami gejala serupa?
Ya
Tidak
Informasi kesehatan lainnya (alergi, kelainan kongenital, dalam terapi obat-obatan tertentu)
Berita KIPI diperoleh dari : (kader, keluarga, masyarakat, ...........................) ............................................, tanggal ...../...../..........
Nama
:
Tanda tangan pelapor Tanda tangan pemberi imunisasi
Hubungan dengan pasien :
Tanggal : ...../...../..........
(............................)
(........................................)
Formulir 2. Investigasi KIPI
FORMULIR INVESTIGASIKEJADIAN
IKUTAN PASCA IMUNISASI (Otopsi Verbal)
Wawancara dilakukan
oleh
:
(nama, kedudukan, instansi, telelepon, email)
1. Nama
: Instansi : Telepon/Fax/Email :
2. Nama :
Istansi : Telepon/Fax/Email :
Tanggal : Responden :
Jam :
1. Nama
:
Hubungan
dengan kasus KIPI :
2. Nama
:
Hubungan dengan kasus KIPI :
IDENTITAS KASUS KIPI
Nama : Lelaki/Perempuan
Tanggal lahir : / /
Usia : Tahun
_Bulan Hari
Nama
ayah : Nama
ibu :
Alamat
: Jalan
………………………… Nomer
….
RT/RW ……………….
Dusun/Kampung…………….. Desa/Kelurahan …………………
Kecamatan
…………………..
Kabupaten …………………………
Provinsi ……………………….…
Jumlah saudara kandung:
IMUNISASI
Imunisasi terdahulu
(lebih dari 30
hari, dari imunisasi terakhir)
Imunisasi (Vaksin) |
Tgl |
Jam |
No. Batch |
Tgl. Kadalu arsa |
VVM |
Cara Pemberian (Intra
kutan,
Sub- kutan, IM, tetes) |
Jumlah
vaksin (ml /
tetes) |
Lokasi penyuntikan |
KIPI* |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
* Jika Ya: Reaksi timbul pada tgl ..........................................
Gejala & Waktu timbulnya
gejala ............................................................................. Diagnosis ....................................
Imunisasi sekarang
(dalam kurun 30 hari terakhir)
:
Imunisasi
(Vaksin) |
Tgl |
Jam |
No. Batch |
Tgl. Kadalu
arsa |
VVM |
Cara Pemberian
(Intra
kutan,
Sub- kutan, IM, tetes) |
Jumlah vaksin
(ml /
tetes) |
Lokasi penyuntikan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tempat imunisasi
: Posyandu Puskesmas Praktek swasta
Pos PIN |
Balai pengobatan |
RS/RB |
Sekolah |
Rumah |
Lainlain
: |
Pemberi imunisasi : Jurim |
Perawat |
D |
r |
Kader |
Bidan |
|
|
KONDISI RANTAI DINGIN
|
1. Apakah vaksin disimpan pada tempat
yang
sesuai? (bukan refrigerator
rumah tangga dan bukan
freezer untuk OPV)
2. Apakah vaksin disimpan pada suhu yang sesuai? ( 2 – 80 C)
3. Apakah dilakukan monitoring suhu dan pencatatan secara berkala?
(suhu dicatat dua kali sehari dan terdapat
grafik pencatatan suhu)
4. Apakah terdapat vaksin DPT-HB, DT, TT, HB Uniject yang beku atau diduga beku di dalam tempat
penyimpanan
vaksin?
5. Apakah
terdapat barang selain vaksin di dalam tempat
penyimpanan vaksin?
6. Apakah vaksin disimpan bersama dengan obat lain
dengan pemisahan dan penandaan yang jelas,
sehingga menjamin tidak
terjadi kontaminasi/kontaminasi silang?
7. Apakah terdapat
vaksin yang kadaluarsa atau mengalami
kerusakan fisik di dalam tempat penyimpanan vaksin dan
dipisahkan serta diberi penandaan
yang
jelas?
8. Apakah terdapat sisa vaksin yang telah dilarutkan di dalam tempat
penyimpanan vaksin dan dipisahkan serta diberi
penandaan yang
jelas?
9. Apakah terdapat vaksin dengan
kondisi VVM C atau D di dalam tempat penyimpanan vaksin
dan dipisahkan serta
diberi penadaan yang jelas?
10.
Apakah
tempat penyimpanan vaksin dilengkapi dengan termometer
yang
berfungsi dengan baik dan terkalibrasi? (Kalibrasi minimal satu
kali/tahun)
11. Apakah terdapat generator
yang berfungsi dengan
baik
untuk
menjamin jika terjadi listrik padam?
KEADAAN BAYI/ANAK/WUS SEBELUM IMUNISASI
Gejala |
Tidak |
Ya |
Jika ya, timbulnya gejala
sejak : |
|
Tanggal |
Pukul |
|||
Demam |
|
|
|
|
Batuk/pilek |
|
|
|
|
Mencret |
|
|
|
|
Muntah |
|
|
|
|
Sesak Napas |
|
|
|
|
Kuning/ikterik |
|
|
|
|
Lain-lain
: |
|
|
|
|
|
|
|
|
- Alergi lainnya:
Ada Sebutkan Tidak Ada
Pengobatan saat ini |
|
|
- Pemakaian obat-obat steroid |
Ada |
idak ada |
- Pengobatan lainnya: |
Ada |
Sebutkan Tidak ada |
Riwayat alergi pada keluarga:
PERJALANAN MANIFESTASI KLINIS KASUS KIPI PADA BAYI/ANAK /
WUS
Gejala |
Tidak |
Ya |
Jika ya, timbulnya gejala
sejak : |
Lama
gejala |
|
Tanggal |
Pukul |
Jam / Hari |
|||
Bengkak di tempat suntikan |
|
|
|
|
|
Perdarahan di tempat
suntikan |
|
|
|
|
|
Ruam lokal,
bengkak, merah
& gatal - pada kulit - pada bibir -
pada mata |
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ruam tersebar: - pada muka -
pada anterior tubuh -
pada posterior tubuh - pada anggota
gerak -
seluruh tubuh |
|
|
|
|
|
Demam tinggi > 390 |
|
|
|
|
|
Nyeri kepala |
|
|
|
|
|
Nyeri Otot |
|
|
|
|
|
Lesu |
|
|
|
|
|
Batuk/pilek |
|
|
|
|
|
Mencret |
|
|
|
|
|
Muntah |
|
|
|
|
|
Sesak Napas |
|
|
|
|
|
Kuning / ikterik |
|
|
|
|
|
Perdarahan |
|
|
|
|
|
Kejang |
|
|
|
|
|
Kelemahan/kelumpuhan otot
lengan / tungkai |
|
|
|
|
|
Pingsan
(sinkop) |
|
|
|
|
|
Penurunan Kesadaran |
|
|
|
|
|
Tanda-tanda syok anafilaktik |
|
|
|
|
|
Sakit Kepala |
|
|
|
|
|
Menangis menjerit > 3
jam |
|
|
|
|
|
Lemas &
kebas seluruh tubuh |
|
|
|
|
|
Pembengkakan kelj.getah bening (leher/ketiak/lipat
paha) |
|
|
|
|
|
Sakit disertai kelemahan pada lengan yg disuntik |
|
|
|
|
|
Bengkak, kemerahan,
nyeri (reaksi Arthus) |
|
|
|
|
|
Identitas pelapor
Gejala awal KIPI diketahui pertama kali oleh
:
Nama :
Hubungan dengan penderita :
Pada tanggal …………………….. jam …………
Alur penanggulangan kasus KIPI
Laporan I adanya
KIPI
dilakukan
pada tanggal …………………..… jam………
dan disampaikan
kepada
Nama institusi :
Alamat :
Tindakan
yang
dilakukan oleh penerima
laporan
pertama : Memberi pengobatan
Nama obat, waktu,
dosis dan cara
pemberian obat:
Nama obat (usahakan
nama generik) |
Waktu pemberian |
dosis |
Cara pemberian |
|
tanggal |
jam |
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Hasil pengobatan:
membaik
tidak ada kemajuan memburuk
sembuh pada tanggal ………./…………../…………
Merujuk
Waktu merujuk : tanggal…………….…
jam…………. Rujukan kepada :
Nama institusi :
Alamat :
Rujukan pertama KIPI tiba tanggal …………… jam ………… pada
Nama
: Jabatan :
Nama
institusi dan alamat :
Gejala klinis/keadaan saat di tempat rujukan :
Diagnosis : Tindakan
|
- Rawat Inap awat Jalan
|
- M
beri
pengobatan
Nama obat, waktu,
dosis dan cara
pemberian obat:
Nama obat (usahakan
nama generik) |
Waktu pemberian |
Dosis |
Cara pemberian |
|
tanggal |
jam |
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
- Tinda n lain : Hasil pengobatan:
membaik
tidak ada kemajuan memburuk
sembuh pada tanggal ………./…………../…………
Rujukan kedua KIPI
Waktu
merujuk :
tanggal……………………………… jam………….
Oleh: Nama : Jabatan : Rujukan II tiba tanggal …………… jam ………… pada
Nama institusi : Alamat :
Gejala klinis/keadaan saat di tempat rujukan :
Diagnosis : Tindakan
|
- Rawat Inap awat Jalan
|
- M
beri
pengobatan
Nama obat, waktu, dosis dan cara pemberian
obat:
Nama obat (usahakan
nama generik) |
Waktu pemberian |
Dosis |
Cara pemberian |
|
tanggal |
jam |
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
- Tinda n lain : Hasil pengobatan:
membaik
tidak ada kemajuan memburuk
sembuh pada tanggal ………./…………../…………
Rujukan ketiga KIPI
Waktu
merujuk :
tanggal……………………………… jam………….
Oleh: Nama : Jabatan :
Rujukan III tiba tanggal …………… jam ………… pada
Nama
: Jabatan :
Nama institusi dan alamat :
Gejala klinis/keadaan saat di tempat rujukan :
Diagnosis : Tindakan
|
- Rawat Inap awat Jalan
|
- M
beri
pengobatan
Nama obat, waktu,
dosis dan cara
pemberian obat:
Nama obat (usahakan
nama generik) |
Waktu pemberian |
Dosis |
Cara pemberian |
|
tanggal |
jam |
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
- Tinda n lain : Hasil pengobatan:
membaik
tidak ada kemajuan memburuk
sembuh pada tanggal ………./…………../…………
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
HASIL AKHIR
SEMBUH SEMPURNA
SEMBUH DENGAN GEJALA SISA
BERUPA :
MENINGGAL,
tanggal …………….…………… jam ………………….
KESIMPULAN DOKTER YANG MERAWAT PALING AKHIR
DIAGNOSIS :
1.
2.
3.
SEBAB KEMATIAN :
HASIL PEMERIKSAAN UJI VAKSIN
Petugas BPOM
- Nama: ……………………..
-
Institusi:
…………………. Waktu pengambilan sampel
- Tanggal: ……/……./……
-
Waktu: ………………..
Jumlah sampel*: …………………..
No Batch. : …………………………
Hasil: Tes Toksisitas: …………………..
……….. Tes Sterilitas:
……………. ……………………..
TANDA TANGAN
PENGISI FORMULIR INVESTIGASI
( ) ( )
Jabatan:
Jabatan
:
Formulir 3. Kajian KIPI Serius
Nama Pasien
No. Kasus
LANGKAH 1 (KELAYAKAN)
LEMBAR KERJA KLASIFIKASI KAUSALITAS KIPI
Kelengkapan
Data
Nama satu atau lebih
vaksin yang diberikan
sebelum
KIPI?
Apakah diagnosis yang valid?
Apakah diagnosis memenuhi definisi kasus?
Apakah vaksin/vaksinasi
Buat pertanyaan
tentang kausalitas disini
menyebabkan
? (Kejadian
direview di Langkah 2)
LANGKAH 2 (DAFTAR KIPI) Beri tanda √ pada kotak yang sesuai
|
II. (waktu). Jika “Ya”pada pertanyaan di II, apakah
KIPI berada di dalam
time window peningkatan risiko?
*TD: Tidak
Diketahui, NA: Not Applicable
LANGKAH 3 (Algoritma) Review semua langkah dan √
kotak yang tepat
I A. Hubungan kausal inkonsisten
terhadap imunisasi
III A. Hubungan kausal inkonsisten
terhadap imunisasi
Ya
I. Apakah terdapat bukti kuat untuk penyebab lain?
Tidak
II. Apakah terdapat hubungan kausal
yang diketahui
dengan
vaksin/vaksinasi?
Tidak
Ya
III. Apakah terdapat bukti kuat untuk menyangkal hubungan kausal?
Tidak
IV. Review faktor kualifikasi
lain
Ya
II (Waktu).
Apakah KIPI terjadi dalam time window
peningkatan risiko?
Tidak
Apakah KIPI
terklasifikasi?
Ya
Tidak
IV D. Unclassifiable
Ya
|
II A. Hubungan |
IV A. Hubungan |
IV B. |
IV C. Hubungan |
kausal konsisten terhadap
imunisasi |
kausal konsisten terhadap
imunisasi |
Indeterminate |
kausal inkonsisten
terhadap |
|
Catatan untuk Langkah
3: |
|
|
|
|
LANGKAH 4 (Klasifikasi) Beri √ kotak yang tepat
Terdapat Informasi
yang tersedia
dan memenuhi syarat
A. Hubungan kausal konsisten dengan imunisasi
A1. Reaksi terkait produk vaksin
A2. Reaksi terkait defek kualitas vaksin
A3. Reaksi terkait kesalahan pada pelaksanaan imunisasi
A4. Ansietas terkait imunisasi
B. Indeterminate
B1. Hubungan sementara konsisten tetapi terdapat
bukti yang cukup pasti untuk vaksin menyebabkan KIPI
(kejadian yang berhubungan dengan
vaksin baru)
B2. Faktor pertimbangan menghasilkan tren yang bertentangan antara hubungan kausal konsisten dan inkonsisten
dengan
imunisasi
C. Hubungan kausal
inkonsisten dengan imunisasi
C. Koinsiden
Kondisi utama atau kondisi yang disebabkan paparan terhadap sesuatu selain vaksin
|
Tidak dapat ditentukan (Unclassifiable)
Tuliskan informasi
Yang diperlukan
Untuk klasifikasi
*B1: Merupakan sinyal potensial dan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
investigasi
Simpulkan klasifikasi:
Dengan bukti yang tersedia, kami menyimpulkan bahwa klasifikasinya adalah
_ karena
Formulir 4. Kohort Bayi
Formulir 5.Pelaporan Imunisasi Dasar di Rumah Sakit/Unit Pelayanan Swasta
Formulir 6. Rekapan Pelaporan Imunisasi
Dasar di Puskesmas
Formulir 7.Rekapan Pelaporan Imunisasi
Dasar di Kabupaten/Kota
Formulir 8. Rekapan Pelaporan Imunisasi
Dasar di Provinsi
Formulir 9. Kohor
anak balita dan anak prasekolah
Puskesmas
: Bulan : Kode : Tahun :
N
o U r ut |
NIK |
NAM A |
Tgl
La hir |
L / P |
Na
ma Ibu |
Al a m at RT /R
W, No Tel p. |
Punya Buku KIA |
Imun isasi Lanju
tan |
PELAYANAN ANAK BALITA |
||||||||||||
DPT-HB-Hib (18-24 bln) |
Campak (18-24bln) |
Januari |
Febuari |
Maret |
April |
Mei |
Juni |
Juli |
Agustus |
September |
Oktober |
Nopember |
Desember |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
TAHUN.......... |
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pelayana Me
|
Pelayanan Anak Balita
Pra
Sekolah
ng gal
Formulir 10. Rekapan Pelaporan Imunisasi
Lanjutan
BADUTA Tingkat
Puskesmas
Formulir 11. Rekapan Pelaporan Imunisasi Lanjutan BADUTA Tingkat
Kabupaten/Kota
Formulir 12. Rekapan Pelaporan Imunisasi Lanjutan BADUTA Tingkat Provinsi
Formulir 13. Pencatatan Imunisasi Vaksin Tetanus Difteri (Td) Wanita
Usia
Subur(WUS)
Formulir 14. Kohort Ibu
Formulir 15. Pencatatan Imunisasi Lanjutan Pada Anak Usia Sekolah
Formulir 16. Format Rekapitulasi
Pemakaian Vaksin dan Logistik
Formulir 17. Laporan Rantai Vaksin Tingkat
Puskesmas
Formulir 18. Laporan Rantai Vaksin Tingkat
Kabupaten/Kota
Formulir 19. Laporan Rantai Vaksin Tingkat
Provinsi
Formulir 20. Laporan Penerimaan
Vaksin Puskesmas
Formulir 21. Laporan Penerimaan
Vaksin Kabupaten/Kota
Formulir 22. Laporan Penerimaan
Vaksin Provinsi
Formulir 23. Laporan Permintaan
Vaksin Provinsi ke Pusat
Formulir 24.Laporan Permintaan Vaksin
Kabupaten/Kota ke Provinsi
Formulir 25. Permintaan Vaksin
Provinsi ke Pusat
Formulir 26.Grafik Pencatatan Suhu
Lemari Es
Formulir 27.Laporan KIPI Non Serius
Posting Komentar untuk "PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI"