PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI


 

 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI

 

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017

TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI

 

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

Menimbang    :  a.    bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang            setinggi-tingginya    diperlukan    upaya    untuk mencegah terjadinya suatu penyakit melalui imunisasi;

b.    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 132 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,         perlu    mengatur    ketentuan    mengenai penyelenggaraan imunisasi;

c.    bahwa  Peraturan  Menteri  Kesehatan Nomor  42  Tahun

 


2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum;

d.    bahwa      berdasarkan      pertimbangan      sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan                       Peraturan   Menteri   Kesehatan   tentang Penyelenggaraan Imunisasi;

 

 

Mengingat      :  1.    Undang-Undang    Nomor    4    Tahun    1979    tentang Kesejahteraan     Anak    (Lembaran    Negara    Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara      Republik       Indonesia       Nomor       3143);



 

 

 

2.    Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  1984  tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);

3.    Undang-Undang    Nomor    23    Tahun    2002    tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik     Indonesia  Nomor  4235)  sebagaimana  telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946);

4.    Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

 

Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

 

2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik

 

Indonesia Nomor 4431);

 

5.    Undang-Undang    Nomor    32    Tahun    2009    tentang Perlindungan                    dan    Pengelolaan    Lingkungan    Hidup (Lembaran                    Negara   Republik   Indonesia   Tahun   2009

Nomor   140,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik

 

Indonesia Nomor 5059);

 

6.    Undang-Undang    Nomor    36    Tahun    2009    tentang

 

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

 

2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik

 

Indonesia Nomor 5063);

 

7.    Undang-Undang    Nomor    23    Tahun    2014    tentang Pemerintahan                          Daerah   (Lembaran   Negara   Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan    Daerah   (Lembaran   Negara   Republik


 

 

 

Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran

 

Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

 

8.    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

 

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

 

2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik

 

Indonesia Nomor 5607);

 

9.    Undang-Undang    Nomor    38    Tahun    2014    tentang Keperawatan                        (Lembaran   Negara   Republik   Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan                             Wabah  Penyakit  Menular  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor   49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3447);

 

11. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan                    Sediaan   Farmasi   dan   Alat   Kesehatan (Lembaran                    Negara   Republik   Indonesia   Tahun   1998

Nomor   138,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik

 

Indonesia Nomor 3781);

 

12. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan                   Kefarmasian   (Lembaran   Negara   Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor  124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);

13.  Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan                     Limbah  Bahan  Berbahaya  dan  Beracun (Lembaran                    Negara   Republik   Indonesia   Tahun   2014

Nomor     333,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik

 

Indonesia Nomor 5617);

 

14.  Peraturan            Menteri            Kesehatan            Nomor

 

290/MENKES/PER/III/2008       tentang       Persetujuan

 

Tindakan Kedokteran;

 

15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);


 

 

 

16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1113);

17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang               Pusat  Kesehatan  Masyarakat  (Berita  Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1676);

18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1755);

19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Hepatitis Virus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1126);

20.  Peraturan  Menteri  Kesehatan  Nomor  64  Tahun  2015

 

tentang    Organisasi    dan    Tata    Kerja    Kementerian

 

Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015

 

Nomor 1508);

 

21. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2016 tentang               Pemberian   Sertifikat   Vaksinasi  Internasional (Berita  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 2016 Nomor

578);

 

 

 

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan   :  PERATURAN         MENTERI         KESEHATAN         TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI.

 

 

BAB I KETENTUAN UMUM

 

 

Pasal 1

 

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

 

1.    Imunisasi         adalah         suatu         upaya         untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.


 

 

 

2.    Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.

3.    Imunisasi  Program  adalah  imunisasi  yang  diwajibkan kepada seseorang sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

4.    Imunisasi Pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan

 

kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit tertentu.

5.    Auto  Disable  Syringe  yang  selanjutnya  disingkat  ADS adalah  alat  suntik  sekali  pakai  untuk  pelaksanaan pelayanan imunisasi.

6.    Safety Box adalah sebuah tempat yang berfungsi untuk menampung sementara limbah bekas ADS yang telah digunakan dan harus memenuhi persyaratan khusus.

7.    Cold  Chai adalah  sistem  pengelolaan  Vaksin  yang

 

dimaksudkan untuk memelihara dan menjamin mutu Vaksin dalam pendistribusian mulai dari pabrik pembuat Vaksin sampai pada sasaran.

8.    Peralatan  Anafilaktik  adalah  alat  kesehatan  dan  obat untuk penanganan syok anafilaktik.

9.    Dokumen   Pencatatan   Pelayanan   Imunisasi   adalah formulir                pencatatan   dan   pelaporan   yang   berisikan cakupan imunisasi, laporan KIPI, dan logistik imunisasi.

10. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat                 KIP adalah   kejadian   medik   yang   diduga berhubungan dengan imunisasi.


 

 

 

11.  Pusat  Kesehatan  Masyarakat  yang  selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan           upaya  kesehatan  masyarakat  dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih         mengutamakan   upaya   promotif   dan   preventif, untuk    mencapai  derajat  kesehatan  masyarakat  yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

12. Komite  Nasional  Pengkajian  dan  Penanggulangan Kejadian                 Ikutan   Pasca   Imunisasi   yang   selanjutnya disebut Komnas PP KIPI adalah komite independen yang melakukan                 pengkajian  untuk  penanggulangan  kasus KIPI di tingkat  nasional.

13.  Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian

 

Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disebut Komda PP KIPI adalah komite independen yang melakukan pengkajian untuk penanggulangan kasus KIPI di tingkat daerah provinsi.

14.  Pemerintah  Pusat  adalah  Presiden  Republik  Indonesia yang            memegang    kekuasaan    pemerintahan    negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

15.  Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara                        Pemerintahan  Daerah  yang  memimpin pelaksanaan                        urusan    pemerintahan    yang    menjadi kewenangan daerah otonom.

16.  Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan

 

pemerintahan di bidang kesehatan.

 

17. Direktur  Jenderal  adalah  Direktur  Jenderal  pada Kementerian                       Kesehatan  yang  mempunyai  tugas  dan tanggung jawab di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit.

 

 

Pasal 2

 

Ruang lingkup pengaturan meliputi jenis Imunisasi, penyelenggaraan Imunisasi Program, penyelenggaraan Imunisasi  Pilihan,  pemantauan  dan  penanggulangan  KIPI,


 

 

 

penelitian   dan   pengembangan,   pera serta   masyarakat, pencatatan dan pelaporan, serta pembinaan dan pengawasan.

 

 

BAB II JENIS IMUNISASI

 

 

Bagian Kesatu

 

Umum

 

 

 

Pasal 3

 

(1)   Berdasarkan    jenis    penyelenggaraannya,    Imunisasi dikelompokkan     menjadi    Imunisasi    Program    dan Imunisasi Pilihan.

(2)   Vaksin untuk Imunisasi Program dan Imunisasi Pilihan

 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

 

 

Bagian Kedua

 

Imunisasi Program

 

 

 

Pasal 4 (1)   Imunisasi Program terdiri atas:

a.  Imunisasi rutin;

 

b.  Imunisasi tambahan; dan c.  Imunisasi khusus.

(2)   Imunisasi Program harus diberikan sesuai dengan jenis Vaksin, jadwal atau waktu pemberian yang ditetapkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

 

Pasal 5

 

(1)   Imunisasi rutin dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan.

(2)   Imunisasi   rutin   terdiri   atas   Imunisasi   dasar   dan

 

Imunisasi lanjutan.


 

 

 

Pasal 6

 

(1)   Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan pada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun.

(2)   Imunisasi  dasar  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)

 

terdiri atas Imunisasi terhadap penyakit:

 

a.    hepatitis B;

 

b.    poliomyelitis; c.    tuberkulosis; d.    difteri;

e.    pertusis;

 

f.     tetanus;

 

g.    pneumonia  dan  meningitis  yang  disebabkan  oleh

 

Hemophilus Influenza tipe b (Hib); dan h.    campak.

 

 

Pasal 7

 

(1)   Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat      (2)  merupakan  ulangan  Imunisasi  dasar  untuk mempertahankan         tingkat     kekebalan     dan     untuk memperpanjang masa perlindungan anak yang sudah mendapatkan Imunisasi dasar.

(2)   Imunisasi  lanjutan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

 

diberikan pada:

 

a.    anak usia bawah dua tahun (Baduta);

 

b.    anak usia sekolah dasar; dan c.    wanita usia subur (WUS).

(3)   Imunisasi    lanjutan    yang    diberikan    pada    Baduta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas Imunisasi terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib), serta campak.

(4)   Imunisasi  lanjutan  yang  diberikan  pada  anak  usia sekolah dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b    terdiri  atas  Imunisasi  terhadap  penyakit  campak, tetanus, dan difteri.


 

 

 

(5)   Imunisasi  lanjutan  yang  diberikan  pada  anak  usia sekolah               dasar  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4) diberikan pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS) yang diintegrasikan dengan usaha kesehatan sekolah.

(6)   Imunisasi    lanjutan    yang    diberikan    pada    WUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas Imunisasi terhadap penyakit tetanus dan difteri.

 

 

Pasal 8

 

(1)   Imunisasi tambahan merupakan jenis Imunisasi tertentu yang diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko                 terkena    penyakit    sesuai    dengan    kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.

(2)   Pemberian Imunisasi tambahan sebagaimana dimaksud

 

pada ayat (1) dilakukan untuk melengkapi Imunisasi dasar dan/atau lanjutan pada target sasaran yang belum tercapai.

(3)   Pemberian Imunisasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban pemberian Imunisasi rutin.

(4)   Penetapan pemberian Imunisasi tambahaan berdasarkan kajian epidemiologis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan  oleh  Menteri,  kepala  dinas  kesehatan provinsi, atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

 

 

Pasal 9

 

(1)   Imunisasi   khusus   dilaksanakan   untuk   melindungi seseorang dan masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu.

(2)   Situasi  tertentu  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) berupa                persiapan     keberangkatan     calon     jemaah haji/umroh,                persiapan  perjalanan  menuju  atau  dari negara endemis penyakit tertentu, dan kondisi kejadian luar biasa/wabah penyakit tertentu.

(3)   Imunisasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Imunisasi terhadap meningitis meningokokus, yellow fever (demam kuning), rabies, dan poliomyelitis.


 

 

 

(4)   Menteri   dapat   menetapkan   situasi   tertentu   pada Imunisasi khusus selain situasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

 

Pasal 10

 

(1)   Menteri  dapat  menetapkan  jenis  Imunisasi  Program selain yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Komite Penasehat Ahli Imunisasi Nasional  (Indonesian  Technical  Advisory Group on Immunization).

(2)   Komite  Penasihat  Ahli  Imunisasi  Nasional  (Indonesian

 

Technical Advisory Group on Immunization) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

(3)   Komite  Penasihat  Ahli  Imunisasi  Nasional  (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas unsur profesi, akademisi, dan peneliti yang memiliki integritas, keahlian, dan/atau  pengalaman  bidang  imunisasi  di tingkat nasional/internasional.

(4)   Komite  Penasihat  Ahli  Imunisasi  Nasional  (Indonesian

 

Technica Advisor Group   on   Immunization)  memiliki tugas:

a.     memantau  dan  mengkaji  perkembangan  keilmuan Vaksin              baik   dala aspek   teknologi,   produksi, maupun                  pengembangan     Vaksin     baru     serta memperhatikan    kondisi    yang    berkembang    di masyarakat; dan

b.    memilih teknologi di bidang Imunisasi dan penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).

 

 

Bagian Ketiga

 

Imunisasi Pilihan

 

 

 

Pasal 11

 

(1)   Imunisasi   Pilihan   dapat   berupa   Imunisasi  terhadap penyakit:


 

 

 

a.     pneumonia  dan  meningitis  yang  disebabkan  oleh pneumokokus;

b.    diare yang disebabkan oleh rotavirus;

 

c.    influenza;

 

d.    cacar air (varisela);

 

e.    gondongan (mumps);

 

f.     campak jerman (rubela);

 

g.    demam tifoid;

 

h.    hepatitis A;

 

i.     kanker   leher rahim yang disebabkan oleh Human

 

Papillomavirus;

 

j.     Japanese Enchephalitis;

 

k.    herpes zoster;

 

l.     hepatitis B pada dewasa; dan m.   demam berdarah.

(2)   Menteri dapat menetapkan jenis Imunisasi Pilihan selain yang diatur dalam Peraturan Menteri ini berdasarkan rekomendasi         dari   Komite   Penasehat   Ahli   Imunisasi Nasional  (Indonesia Technica Advisor Group   on Immunization).

(3)   Menteri   dapat   menetapkan   jenis   Imunisasi   Pilihan

 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Imunisasi Program sesuai dengan kebutuhan berdasarkan rekomendasi dari Komite Penasehat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization).

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Imunisasi Pilihan diatur dalam Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi tercantum dalam        Lampiran    yang    merupakan    bagian    tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


 

 

 

BAB III PENYELENGGARAAN IMUNISASI PROGRAM

 

 

Bagian Kesatu

 

Umum

 

 

 

Pasal 12

 

(1)   Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Imunisasi Program.

(2)   Penyelenggaraan     Imunisasi     Program     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a.    perencanaan;

 

b.    penyediaan dan distribusi logistik;

 

c.    penyimpanan dan pemeliharaan logistik;

 

d.    penyediaan tenaga pengelola;

 

e.    pelaksanaan pelayanan;

 

f.     pengelolaan limbah; dan

 

g.    pemantauan dan evaluasi.

 

 

 

Bagian Kedua

 

Perencanaan

 

 

 

Pasal 13

 

(1)   Perencanaan     penyelenggaraan     Imunisasi     Program dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan mengacu pada komitmen global serta target pada RPJMN dan Renstra yang berlaku.

(2)   Perencanaan  penyelenggaraan  Imunisasi  Program  oleh

 

Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus memperhatikan usulan perencanaan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi secara berjenjang yang meliputi jumlah sasaran  pada  daerah  kabupaten/kota,  kebutuhan logistik, dan pendanaan Imunisasi Program di tingkat pusat dan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 

 

(3)   Perencanaan  penyelenggaraan  Imunisasi  Program  oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi operasional     penyelenggaraan     pelayanan, pemeliharaan    peralatan  Cold  Chain,  penyediaan  alat pendukung                 Cold   Chain dan   Dokumen   Pencatatan Pelayanan Imunisasi.

 

 

Pasal 14

 

(1)   Usulan perencanaan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal paling lambat pada triwulan ketiga untuk tahun berikutnya.

(2)   Dalam  hal  Pemerintah  Daerah  kabupaten/kota  dan Pemerintah Daerah provinsi tidak menyampaikan usulan perencanaan                         sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1), Pemerintah                       Pusat    akan    melakukan    perencanaan berdasarkan                         estimasi     dari     perhitungan     tahun sebelumnya.

(3)   Usulan perencanaan penyelenggaraan Imunisasi Program Pemerintah                     Daerah   kabupaten/kota   dan   Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan:

a.    analisa hasil evaluasi;

 

b.    upaya yang sudah dilakukan; dan

 

c.     rincian  data  sarana,  prasarana,  alat,  tenaga,  dan biaya.

(4)   Apabila     dibutuhkan     verifikasi     terhadap     usulan perencanaan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi dapat dibentuk tim verifikasi yang terdiri dari unit teknis terkait.

 

 

Bagian Ketiga

 

Penyediaan dan Distribusi Logistik

 

 

 

Pasal 15

 

(1)   Logistik    yang    dibutuhkan    dalam    penyelenggaraan


 

 

 

Imunisasi Program meliputi:

 

a.    Vaksin;

 

b.    ADS;

 

c.    Safety Box;

 

d.    Peralatan Anafilaktik;

 

e.    peralatan Cold Chain;

 

f.     peralatan pendukung Cold Chain; dan

 

g.    Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi.

 

(2)   Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat

 

(1) huruf e terdiri atas:

 

a.     alat penyimpan Vaksin meliputi cold room, freezer room, vaccine refrigerator, dan freezer;

b.    alat    transportasi    Vaksin    meliputi    kendaraan berpendingin khusus, cold box, vaccine carrier, cool pack, dan cold pack; dan

c.     alat     pemantau     suhu,     meliputi     termometer, termograf,                     alat    pemantau    suhu    beku,    alat pemantau/mencatat   suhu  secara  terus-menerus, dan alarm.

(3)   Peralatan pendukung Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi automatic voltage stabilizer (AVS),  standby  generator,  dan  suku  cadang  peralatan Cold Chain.

 

 

Pasal 16

 

(1)   Pemerintah     Pusat     bertanggung     jawab     terhadap penyediaan                      dan   pendistribusian   logistik   Imunisasi berupa  Vaksin,  ADS,  Safety  Box,  dan  peralatan  Cold Chain  yang  dibutuhkan  dalam  penyelenggaraan Imunisasi Program.

(2)   Dalam penyediaan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu memperhatikan batas masa kadaluarsa.

(3)   Penyediaan  dan  pendistribusian  peralatan  Cold  Chain

 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi fasilitas kesehatan milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.


 

 

 

(4)   Pendistribusian  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)

 

untuk:

 

a.     Vaksin, ADS, dan Safety Box dilaksanakan sampai ke provinsi;  dan

b.    Peralatan Cold Chain dilaksanakan sampai ke lokasi tujuan.

(5)   Dalam    hal    terjadi    kekosongan    atau    kekurangan ketersediaan Vaksin di satu daerah maka Pemerintah Pusat dapat melakukan relokasi Vaksin dari daerah lain sesuai     dengan    ketentuan    peraturan    perundang- undangan.

 

 

Pasal 17

 

(1)   Dalam  memenuhi  kebutuhan  Vaksin,  Menteri  dapat menugaskan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang     produksi  Vaksin  sesuai  dengan  perencanaan nasional.

(2)   Dalam  hal  badan  usaha  milik  negara  sebagaimana dimaksud                    pada   ayat   (1)   tidak   dapat   memenuhi kebutuhan Vaksin nasional, Menteri dapat menunjuk badan usaha milik negara di bidang kefarmasian untuk melakukan impor.

 

 

Pasal 18

 

(1)   Pemerintah  Daerah  provinsi  dan  Pemerintah  Daerah kabupaten/kota        bertanggung       jawab       terhadap penyediaan:

a.     peralatan  Cold  Chain,  peralatan  pendukung  Cold Chain, Peralatan Anafilaktik, dan Dokumen Pencatatan  Pelayanan   Imunisasi   sesuai   dengan kebutuhan; dan

b.    ruang untuk menyimpan peralatan Cold Chain dan logistik Imunisasi lainnya yang memenuhi standar dan persyaratan.

(2)   Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat

 

(1) huruf a kecuali alat penyimpan Vaksin.


 

 

 

(3)   Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas cold box, vaccine carrier, cool pack, cold pack, termometer, termograf, alat pemantau suhu beku, alat pemantau/pencatat  suhu  secara  terus-menerus, alarm, dan kendaraan berpendingin khusus.

(4)   Peralatan pendukung Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi automatic voltage stabilizer (AVS),  standby  generator,  dan  suku  cadang  peralatan Cold Chain.

(5)   Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab terhadap pendistribusian ke seluruh daerah kabupaten/kota di wilayahnya meliputi:

a.    Vaksin;

 

b.    ADS;

 

c.    Safety Box;

 

d.    Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi;

 

e.    dokumen suhu penyimpanan Vaksin; dan f.     dokumen pencatatan  logistik.

(6)   Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pendistribusian ke seluruh Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lain di wilayahnya meliputi: a.  Vaksin;

b.    ADS;

 

c.    Safety Box;

 

d.    Peralatan Anafilaktik;

 

e.    Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi; dan f.     dokumen suhu penyimpanan Vaksin.

(7)   Dalam hal Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah                kabupaten/kota    tidak    mampu    memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat membantu penyediaan peralatan agar kualitas Vaksin tetap terjaga dengan baik.

 

 

Pasal 19

 

(1)   Penyediaan     dan     pendistribusian     logistik     untuk penyelenggaraan Imunisasi Program dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 

 

(2)   Pendistribusian Vaksin harus dilakukan sesuai standar untuk              menjamin    kualitas    Vaksin    sesuai    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 20

 

(1)   Pada  kondisi  tertentu  Pemerintah  Pusat,  Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berhak    menarik   Vaksin   yang   beredar   di   fasilitas pelayanan kesehatan.

(2)   Kondisi  tertentu  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) berupa               adanya   kebijakan   nasional   dan/atau   hasil kesepakatan internasional.

 

 

Pasal 21

 

Menteri dapat menetapkan logistik lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan Imunisasi Program sesuai dengan perkembangan teknologi dan efektifitas efisiensi pencapaian tujuan program Imunisasi.

 

 

Bagian Keempat

 

Penyimpanan dan Pemeliharaan Logistik

 

 

 

Pasal 22

 

Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap penyimpanan dan pemeliharaan logistik Imunisasi Program di wilayah kerjanya.

 

 

Pasal 23

 

(1)   Untuk  menjaga  kualitas,  Vaksin  harus  disimpan pada tempat dengan kendali suhu tertentu.

(2)   Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperuntukkan khusus menyimpan Vaksin saja.


 

 

 

Bagian Kelima

 

Tenaga Pengelola

 

 

 

Pasal 24

 

(1)   Pemerintah  Daerah  provinsi  dan  Pemerintah  Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyediaan tenaga              pengelola   untuk   penyelenggaraan   Imunisasi Program di wilayahnya masing-masing.

(2)   Tenaga pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

 

terdiri atas pengelola program dan pengelola logistik.

 

(3)   Tenaga pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus  memenuhi  kualifikasi  dan  kompetensi  tertentu yang        diperoleh  dari  pendidikan  dan  pelatihan  yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi yang diatur dan ditetapkan oleh Menteri.

(4)   Pemerintah   Pusat,   Pemerintah   Daerah   provinsi   dan

 

Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

 

 

Bagian Keenam

 

Pelaksanaan Pelayanan

 

 

 

Pasal 25

 

(1)   Pelayanan Imunisasi Program dapat dilaksanakan secara massal atau perseorangan.

(2)   Pelayanan  Imunisasi  Program  sebagaimana  dimaksud pada           ayat   (1)   dilaksanakan   dengan   menggunakan pendekatan           keluarga    untuk    meningkatkan    akses pelayanan imunisasi.

(3)   Pelayanan      Imunisasi      Program      secara      massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di posyandu,   sekolah atau   pos   pelayanan   imunisasi lainnya.


 

 

 

(4)   Pelayanan   Imunisasi   Program   secara   perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di rumah sakit, Puskesmas, klinik, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

 

 

Pasal 26

 

(1)   Setiap       fasilitas       pelayanan       kesehatan       yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi Program, wajib menggunakan Vaksin yang disediakan oleh Pemerintah Pusat.

(2)   Dikecualikan   dari   ketentuan   sebagaimana  dimaksud pada ayat (1):

a.    berdasarkan       alasan       medis       yang       tidak

 

memungkinkan diberikan Vaksin yang disediakan oleh Pemerintah Pusat yang dibuktikan oleh surat keterangan dokter atau dokumen medis yang sah; atau

b.    dalam    hal    orang    tua/wali    anak    melakukan penolakan                     untuk    menggunakan    Vaksin    yang disediakan Pemerintah Pusat.

(3)   Fasilitas     pelayanan     kesehatan     yang     melakukan pelanggaraan  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.    teguran tertulis; dan/atau b.    pencabutan izin.

(4)   Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan

 

oleh  Menteri  atau  Pemerintah  Daerah  sesuai  dengan kewenangan masing-masing.

 

 

Pasal 27

 

(1)   Pelaksanaan     pelayanan     Imunisasi     rutin     harus direncanakan                          oleh    fasilitas    pelayanan    kesehatan penyelenggara pelayanan Imunisasi secara berkala dan berkesinambungan.

(2)   Perencanaan   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1) meliputi jadwal pelaksanaan, tempat pelaksanaan, dan pelaksana pelayanan Imunisasi.


 

 

 

Pasal 28

 

(1)   Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab menyiapkan                      biaya   operasional   untuk   pelaksanaan pelayanan Imunisasi rutin dan Imunisasi tambahan di Puskesmas,                      posyandu,   sekolah,   dan   pos   pelayanan imunisasi lainnya.

(2)   Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

 

meliputi biaya:

 

a.    transportasi dan akomodasi petugas;

 

b.    bahan habis pakai;

 

c.    penggerakan masyarakat;

 

d.    perbaikan serta pemeliharaan peralatan Cold Chain

 

dan kendaraan Imunisasi;

 

e.     distribusi   logistik   dari   daerah   kabupaten/kota sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan; dan

f.     pemusnahan limbah medis Imunisasi.

 

 

 

Pasal 29

 

(1)   Pemerintah    Daerah    provinsi,    Pemerintah    Daerah kabupaten/kota   dan   jajarannya   bertanggung   jawab menggerakkan      peran     aktif     masyarakat     dalam pelaksanaan pelayanan Imunisasi Program.

(2)   Penggerakkan   pera aktif   masyarakat   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:

a.    pemberian  informasi  melalui  media  cetak,  media

 

sosial, media elektronik, dan media luar ruang;

 

b.    advokasi dan sosialisasi;

 

c.    pembinaan kader;

 

d.    pembinaan kepada kelompok binaan balita dan anak sekolah; dan/atau

e.     pembinaan    organisasi    atau    lembaga    swadaya masyarakat.

 

 

Pasal 30

 

Pelayanan   Imunisasi   Program   dilaksanakan   oleh   tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 

 

Pasal 31

 

Proses pemberian imunisasi harus memperhatikan:

 

a.    keamanan, mutu, dan khasiat Vaksin yang digunakan;

 

dan

 

b.    penyuntikan  yang  aman  (safety  injection)  agar  tidak terjadi penularan penyakit terhadap tenaga kesehatan yang melaksanakan pelayanan imunisasi dan masyarakat serta menghindari terjadinya KIPI.

 

 

Pasal 32

 

(1)   Sebelum pelayanan Imunisasi Program, tenaga kesehatan harus memberikan penjelasan tentang Imunisasi meliputi jenis     Vaksin  yang  akan  diberikan,  manfaat,  akibat apabila tidak diimunisasi, kemungkinan terjadinya KIPI dan upaya yang harus dilakukan, serta jadwal Imunisasi berikutnya.

(2)   Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan   alat  bantu   seperti   media  komunikasi massa.

(3)   Kedatangan masyarakat di tempat pelayanan Imunisasi baik          dalam   gedung   maupun   luar   gedung   setelah diberikan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan persetujuan untuk dilakukan Imunisasi.

(4)   Dalam pelayanan Imunisasi Program, tenaga kesehatan

 

harus melakukan penyaringan terhadap adanya kontra indikasi pada sasaran Imunisasi.

 

 

Pasal 33

 

Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindakan menghalang-halangi   penyelenggaraan   Imunisasi   Program dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 

 

Bagian Ketujuh

 

Pengelolaan Limbah

 

 

 

Pasal 34

 

(1)   Rumah sakit, Puskesmas, klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang menyelenggarakan Imunisasi bertanggung       jawab    terhadap    pengelolaan    limbah imunisasi      sesuai  dengan  persyaratan  dan  ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Dalam  hal  penyelenggaraan  Imunisasi  dilakukan  oleh dokter             atau  bidan  praktek  perorangan,  pemusnahan limbah vial dan/atau ampul Vaksin harus diserahkan ke institusi yang mendistribusikan Vaksin.

(3)   Dalam    hal    pelayanan    Imunisasi    Program    yang

 

dilaksanakan  di  posyandu  dan  sekolah,  petugas pelayanan Imunisasi bertanggung jawab mengumpulkan limbah ADS ke dalam Safety Box, vial dan/atau ampul Vaksin   untuk   selanjutnya   dibawa   ke   Puskesmas setempat  untuk  dilakukan  pemusnahan  limbah Imunisasi sesuai dengan persyaratan.

(4)   Pemusnahan limbah Imunisasi harus dibuktikan dengan berita acara.

 

 

Bagian Kedelapan

 

Pemantauan dan Evaluasi

 

 

 

Pasal 35

 

(1)   Pemerintah  Pusat,  Pemerintah  Daerah  provinsi,  dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib melaksanakan pemantauan   dan  evaluasi  penyelenggaraan  Imunisasi Program secara    berkala,    berkesinambungan,    dan berjenjang.

(2)   Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat      (1)     dilakukan     untuk     mengukur     kinerja penyelenggaraan Imunisasi.

(3)   Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan instrumen:


 

 

 

a.     pemantauan    wilayah    setempat    (PWS)    untuk pemantauan dan analisis cakupan;

b.    data quality self assessment (DQS) untuk mengukur kualitas data;

c.     effective     vaccine     management     (EVM)     untuk mengukur                   kualitas  pengelolaan  Vaksin  dan  alat logistik lainnya;

d.    supervisi    suportif    untuk    memantau    kualitas pelaksanaan program;

e.    surveilens KIPI untuk memantau keamanan Vaksin;

 

f.     recording and reporting (RR) untuk memantau hasil pelaksanaan Imunisasi;

g.     stock management system (SMS) untuk memantau ketersediaan Vaksin dan logistik;

h.    Cold  Chain  equipment  management  (CCEM)  untuk inventarisasi peralatan Cold Chain;

i.     rapid  convinience  assessment  (RCA) untuk menilai secara cepat kualitas pelayanan Imunisasi;

j.     survei  cakupan  Imunisasi  untuk  menilai  secara eksternal pelayanan Imunisasi; dan

k.    pemantauan  respon  imun  untuk  menilai  respon antibodi hasil pelayanan Imunisasi.

 

 

Bagian Kesembilan

 

Pengaturan Lebih Lanjut

 

 

 

Pasal 36

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Imunisasi Program  diatur  dalam  Pedoman  Penyelenggaraan Imunisasi tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

 

BAB IV PENYELENGGARAAN IMUNISASI PILIHAN

 

 

Pasal 37

 

(1)   Pelayanan Imunisasi Pilihan hanya dapat dilaksanakan


 

 

 

oleh fasilitas pelayanan kesehatan berupa:

 

a.    rumah sakit;

 

b.    klinik; atau

 

c.    praktik dokter.

 

(2)   Pelayanan   Imunisasi   Pilihan   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dokter atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

 

 

Pasal 38

 

(1)   Setiap   proses   pemberian   Imunisasi   Pilihan   harus memperhatikan keamanan, mutu, dan khasiat Vaksin yang digunakan sesuai dengan standar yang berlaku.

(2)   Vaksin  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  harus

 

diperoleh dari industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)   Dikecualikan dari ketentuan ayat (2) bagi praktik dokter harus memperoleh Vaksin dari apotek yang memiliki izin sesuai    dengan    ketentuan    peraturan    perundang- undangan.

 

 

Pasal 39

 

Penyelenggara Imunisasi Pilihan harus bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah Imunisasi yang dilaksanakan sesuai dengan persyaratan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB V

 

PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI

 

 

Pasal 40

 

(1)   Dalam  rangka  pemantauan  dan  penanggulangan  KIPI, Menteri membentuk Komnas PP KIPI dan Gubernur membentuk Komda PP KIPI.


 

 

 

(2)   Keanggotaan     Komnas  PP  KIPI  dan  Komda  PP  KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur perwakilan dokter spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis kandungan dan kebidanan,   dokter   spesialis   syaraf,   dokter   spesialis forensik, farmakolog, vaksinolog dan imunolog, dan/atau unsur lintas sektor terkait.

(3)   Dalam hal dibutuhkan untuk mendukung tugas Komda PP KIPI dan Komnas PP KIPI, bupati/walikota dapat membentuk Pokja PP KIPI yang paling sedikit terdiri atas unsur      perwakilan  dokter  spesialis  anak  dan  dokter spesialis penyakit dalam.

(4)   Pembiayaan  operasional  Komnas  PP  KIPI  dibebankan

 

pada anggaran pendapatan belanja negara dan Komda PP KIPI atau Pokja PP KIPI dibebankan pada anggaran pendapatan belanja daerah.

(5)   Pemantauan     dan     penanggulangan     KIPI     harus dilaksanakan melalui kegiatan:

a.    surveilans  KIPI   dan  laman  (website keamanan

 

Vaksin;

 

b.    pengobatan dan perawatan pasien KIPI; dan c.    penelitian dan pengembangan KIPI.

 

 

Pasal 41

 

(1)   Masyarakat yang mengetahui adanya dugaan terjadinya KIPI, harus segera melapor kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan Imunisasi atau dinas kesehatan setempat.

 

 

(2)   Fasilitas   pelayanan   kesehatan   yang   melaksanakan pelayanan Imunisasi atau dinas kesehatan setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan investigasi.

(3)   Hasil  investigasi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) harus segera dilaporkan secara berjenjang kepada kepala dinas      kesehatan   kabupaten/kota   dan   kepala   dinas kesehatan provinsi.


 

 

 

(4)   Kepala dinas kesehatan provinsi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Komnas PP KIPI, Komda PP KIPI, dan Pokja PP KIPI.

(5)   Laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4)  dapat disampaikan melalui laman (website) keamanan Vaksin.

(6)   Terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan kajian etiologi lapangan oleh Komda PP KIPI dan kajian kausalitas oleh Komnas PP KIPI.

(7)   Hasil kajian KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dan diumpan balik kepada provinsi.

 

 

Pasal 42

 

(1)   Pasien  yang  mengalami  gangguan  kesehatan  diduga akibat KIPI diberikan pengobatan dan perawatan selama proses   investigasi   dan   pengkajian   kausalitas   KIPI berlangsung.

(2)   Dalam hal gangguan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai gangguan kesehatan akibat KIPI, maka pasien mendapatkan pengobatan dan perawatan.

(3)   Pembiayaan    untuk    investigasi    dan    kajian    kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada Pemerintah         Pusat,     Pemerintah     Daerah     provinsi, Pemerintah   Daerah   kabupaten/kota,   serta   sumber pembiayaan lain  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.

(4)   Pembiayaan untuk pengobatan, perawatan, dan rujukan

 

bagi seseorang yang mengalami gangguan kesehatan diduga KIPI atau akibat KIPI dibebankan pada anggaran pendapatan belanja daerah atau sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


 

 

 

BAB VI

 

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

 

 

 

Pasal 43

 

(1)   Pemerintah  Pusat,  Pemerintah  Daerah  provinsi,  dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berkewajiban untuk memfasilitasi  atau    melaksanakan    penelitian    dan pengembangan di bidang Imunisasi.

(2)   Penelitian   dan   pengembangan   di   bidang   Imunisasi dilakukan                    melalui    unit    kerja    pada    Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas dan fungsi di bidang penelitian dan pengembangan kesehatan, para ahli, dan lembaga penelitian lain.

(3)   Penelitian dan pengembangan di bidang Imunisasi dapat

 

berupa penelitian dan pengembangan terkait Vaksin, kekebalan dari Vaksin yang diberikan, manajemen program, sumber daya manusia, dan dampak kesehatan masyarakat.

(4)   Penelitian  dan  Pengembangan  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diutamakan untuk kemandirian     dalam  negeri  dalam  rangka  memenuhi penyelenggaraan dan keberlanjutan program Imunisasi serta kebutuhan Vaksin.

 

 

BAB VII

 

PERAN SERTA MASYARAKAT

 

 

 

Pasal 44

 

(1)   Masyarakat termasuk swasta dapat berperan serta dalam pelaksanaan Imunisasi bekerja sama dengan  Pemerintah Pusat,    Pemerintah  Daerah  provinsi,  dan  Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

(2)   Peran  serta  masyarakat  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) dapat diwujudkan melalui:

a.    penggerakkan masyarakat;

 

b.    sosialisasi Imunisasi;

 

c.    dukungan fasilitasi penyelenggaraan Imunisasi;


 

 

 

d.    keikutsertaan sebagai kader; dan/atau

 

e.     turut         serta         melakukan         pemantauan penyelenggaraan Imunisasi.

 

 

BAB VIII PENCATATAN DAN PELAPORAN

 

 

Pasal 45

 

(1)   Setiap       fasilitas       pelayanan       kesehatan       yang menyelenggarakan       pelayanan      Imunisasi      harus melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala serta berjenjang kepada Menteri melalui dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota.

(2)   Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada

 

ayat (1) meliputi cakupan Imunisasi, stok dan pemakaian Vaksin, ADS, Safety Box, monitoring suhu, kondisi peralatan Cold Chain, dan kasus KIPI atau diduga KIPI.

 

 

Pasal 46

 

(1)   Pelaksana    pelayanan    Imunisasi    harus    melakukan pencatatan                       terhadap     pelayanan     Imunisasi     yang dilakukan.

(2)   Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin dilakukan di buku

 

kesehatan ibu dan anak, buku kohor ibu/bayi/balita, buku rapor kesehatanku, atau buku rekam medis.

(3)   Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan swasta wajib dilaporkan setiap   bulan    ke    Puskesmas    wilayahnya    dengan menggunakan format yang berlaku.

(4)   Pencatatan pelayanan Imunisasi tambahan dan khusus dicatat dan dilaporkan dengan format khusus secara berjenjang   kepada   Menteri   melalui   dinas  kesehatan Pemerintah                  Daerah  provinsi  dan  Pemerintah  Daerah kabupaten/kota.


 

 

 

BAB IX

 

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

 

 

 

Pasal 47

 

(1)   Menteri,  Pemerintah  Daerah  provinsi,  dan  Pemerintah Daerah               kabupaten/kota   melakukan   pembinaan   dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Imunisasi yang dilaksanakan oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan secara berkala, berjenjang, dan berkesinambungan.

(2)   Dalam    hal    pengawasan    terhadap    Vaksin    untuk Imunisasi, selain dilaksanakan oleh Menteri, Pemerintah Daerah          provinsi,       dan       Pemerintah       Daerah kabupaten/kota,  juga dilakukan oleh kepala badan yang memiliki   tugas    dan    tanggung    jawab    di    bidang pengawasan  obat dan makanan.

(3)   Pembinaan   dan   pengawasan   sebagaimana   dimaksud

 

pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan Imunisasi.

 

 

BAB X KETENTUAN PENUTUP

 

 

Pasal 48

 

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

 

Pasal 49

 

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


 

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

pada tanggal 6 Februari 2017

 

 

 

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

ttd

NILA FARID MOELOEK Diundangkan di Jakarta

 

pada tanggal 11 April 2017

 

 

 

DIREKTUR JENDERAL

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

 

 

ttd

 

 

 

WIDODO EKATJAHJANA

 

 

 

 

 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 559

 

 

 


 

 

 

LAMPIRAN

 

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 12 TAHUN 2017

 

TENTANG

 

PENYELENGGARAAN IMUNISASI

 

 

PEDOMAN PENYELENGGARAAN IMUNISASI BAB I

 

PENDAHULUAN

 

 

 

A.    Latar belakang

 

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 melalui   pembangunan nasional   yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.  Keberhasilan pembangunan  kesehatan  sangat  dipengaruhi  oleh  tersedianya  sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam satu program kesehatan dengan perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid.

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden), yaitu beban masalah penyakit menular dan penyakit  degeneratif.  Pemberantasan  penyakit  menular  sangat  sulit karena penyebarannya tidak mengenal batas wilayah administrasi. Imunisasi merupakan salah satu tindakan pencegahan penyebaran penyakit ke wilayah lain yang terbukti sangat cost effective. Dengan Imunisasi,   penyakit   cacar   telah   berhasil   dibasmi,   dan   Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar pada tahun 1974.

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

 

Imunisasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit menular yang merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya untuk menurunkan angka kematian pada anak.


 

 

 

Kegiatan Imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Mulai tahun 1977 kegiatan Imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap  beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu  Tuberkulosis,  Difteri,  Pertusis,  Campak,  Polio,  Tetanus  serta Hepatitis B.  Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara adalah eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak dan rubela dan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN).

Indonesia berkomitmen terhadap mutu pelayanan Imunisasi dengan menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices) bagi penerima suntikan, petugas dan lingkungan terkait dengan pengelolaan limbah medis tajam yang aman (waste disposal management).

Cakupan  Imunisasi  harus  dipertahankan  tinggi  dan  merata  di

 

seluruh  wilayah.  Hal  ini  bertujuan  untuk  menghindarkan  terjadinya daerah kantong yang akan mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk mendeteksi dini terjadinya peningkatan kasus penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, Imunisasi perlu didukung oleh   upaya surveilans epidemiologi.

Masalah lain yang harus dihadapi adalah munculnya kembali PD3I yang sebelumnya telah berhasil ditekan (Reemerging Diseases), maupun penyakit menular baru (New Emerging Diseases) yaitu  penyakit-penyakit yang tadinya tidak dikenal (memang belum ada, atau sudah ada tetapi penyebarannya  sangat  terbatas;  atau  sudah  ada  tetapi  tidak menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia).

Seiring   dengan   kemajuan   ilmu   pengetahuan   dan   teknologi,

 

penyelenggaraan Imunisasi terus berkembang antara lain dengan pengembangan vaksin baru (Rotavirus, Japanese Encephalitis, Pneumococcus, Dengue Fever dan lain-lain) serta penggabungan beberapa jenis vaksin sebagai vaksin kombinasi misalnya DPT-HB-Hib.

Penyelenggaraan Imunisasi mengacu pada kesepakatan-kesepakatan

 

internasional  untuk  pencegahan  dan  pemberantasan  penyakit,  antara lain:

1.    WHO  melalui  WHA  tahun  2012  merekomendasikan  rencana  aksi global  tahun  2011-2020  menetapkan  cakupan  Imunisasi nasional minimal 90%, cakupan Imunisasi di Kabupaten/Kota minimal 80%,


 

 

 

eradikasi  polio  tahun  2020,  eliminasi  campak  dan  rubela  serta introduksi vaksin baru;

2.    Mempertahankan status Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal

 

(ETMN);

 

3.    Himbauan  dari  WHO  dalam  global  health  sector  strategy  on  viral hepatiti 2030   target   eliminasi   virus   hepatitis   termasuk  virus hepatitis B;

4.    WHO/UNICEF/UNFPA tahun 1999 tentang Joint Statement on  the

 

Use of Autodisable Syringe in Immunization Services;

 

5.    Konvensi Hak Anak: Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1999 tertanggal 25

Agustus  1990,  yang  berisi  antara  lain  tentang  hak  anak  untuk memperoleh kesehatan dan kesejahteraan dasar;

6.    The Millenium Development Goals  (MDGs)   pada tahun 2000 yang meliputi  goal  4:  tentang  reduce  child  mortality,  goal  5:  tentang improve maternal health, goal 6: tentang combat HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain (yang disertai dukungan teknis dari UNICEF); dan dilanjutkan  dengan  Sustainable  Development  Goals  (SDGs)  2016-

2030.

 

7.    Resolusi Regional Committee, 28 Mei 2012 tentang Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubela, mendesak negara-negara anggota untuk mencapai                  eliminasi  campak  pada  tahun  2015  dan  melakukan pengendalian penyakit rubela;

8.    WHO-UNICEF  tahun  2010  tentang  Joint  Statement  on  Effective

 

Vaccine Management Initiative.

 

 

 

B.    Tujuan

 

1.    Tujuan Umum

 

Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat

 

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

 

2.    Tujuan Khusus

 

a.     Tercapainya cakupan Imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi sesuai target RPJMN.

b.     Tercapainya   Universa Child   Immunization/UCI   (Prosentase minimal 80% bayi yang mendapat IDL disuatu desa/kelurahan) di seluruh desa/kelurahan


 

 

 

c.     Tercapainya target Imunisasi lanjutan pada anak umur di bawah dua tahun (baduta) dan pada anak usia sekolah dasar serta Wanita Usia Subur (WUS).

d.    Tercapainya  reduksi,  eliminasi,  dan  eradikasi  penyakit  yang dapat dicegah dengan Imunisasi.

e.     Tercapainya  perlindungan  optimal  kepada  masyarakat  yang akan berpergian ke daerah endemis penyakit tertentu.

f.     Terselenggaranya   pemberian   Imunisasi   yang   aman   serta pengelolaan limbah medis (safety injection practise and  waste disposal management).

 

 

C.    Kebijakan

 

Berbagai   kebijakan   telah   ditetapkan   untuk   mencapai   tujuan penyelenggaraan Imunisasi yaitu:

1.    Penyelenggaraan  Imunisasi  dilaksanakan  oleh  pemerintah,  swasta dan         masyarakat,  dengan  mempertahankan  prinsip  keterpaduan antara pihak terkait.

2.    Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan Imunisasi dengan melibatkan berbagai sektor terkait.

3.    Mengupayakan kualitas pelayanan yang bermutu.

 

4.    Mengupayakan       kesinambungan       penyelenggaraan       melalui perencanaan  program dan anggaran terpadu.

 

 

D.   Strategi

 

1.     Peningkatan  cakupan  Imunisasi  program  yang  tinggi  dan  merata melalui:

a.     penguatan   PWS   dengan   memetaka wilayah   berdasarkan cakupan dan analisa masalah untuk  menyusun kegiatan dalam rangka  mengatasi   permasalahan  setempat.

b.    menyiapkan  sumber  daya  yang  dibutuhkan  termasuk  tenaga yang terampil, logistik (vaksin, alat suntik, safety box dan cold chain terstandar), biaya dan sarana pelayanan.

c.    terjaganya kualitas dan mutu pelayanan.

 

d.    pendekatan   keluarga   sebagai   upaya   untuk   meningkatkan jangkauan                     sasaran    dan    mendekatkan    akses    pelayanan Imunisasi di wilayah kerja Puskesmas.


 

 

 

e.     pemberdayaan masyarakat melalui TOGA, TOMA, aparat desa dan kader sehingga masyarakat mau dan mampu menjangkau pelayanan Imunisasi.

f.     pemerataan jangkauan terhadap semua  desa/kelurahan  yang sulit atau tidak terjangkau pelayanan.

g.     peningkatan dan pemerataan jangkauan pelayanan, baik yang stasioner maupun yang menjangkau masyarakat di daerah sulit.

h.    pelacakan sasaran yang belum atau tidak lengkap mendapatkan pelayanan Imunisasi (Defaulter Tracking) diikuti dengan upaya Drop Out Follow Up (DOFU)  dan sweeping.

2.    Membangun   kemitraan   dengan   lintas   sektor,   lintas   program,

 

organisasi    profesi,    kemasyarakatan    dan    keagamaan    dalam meningkatkan kuantitas serta kualitas pelayanan Imunisasi.

3.     Melakukan  advokasi,  sosialisasi,  dan  pembinaan  secara  terus- menerus

4.     Menjaga   kesinambungan   program,   baik   perencanaan   maupun anggaran (APBN, APBD, LSM dan masyarakat).

5.     Memberikan  perhatian  khusus  untuk  wilayah  rawan  sosial  dan rawan penyakit (KLB).

6.    Melaksanakan kesepakatan global: Eradikasi Polio, Eliminasi Tetanus

 

Maternal dan Neonatal, Eliminasi Campak dan Rubela.


 

 

 

BAB II

 

JENIS DAN JADWAL IMUNISASI

 

 

 

A.   Imunisasi Program

 

Imunisasi Program adalah Imunisasi yang diwajibkan kepada seseorang sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan  dan  masyarakat  sekitarnya  dari  penyakit  yang  dapat dicegah dengan Imunisasi. Imunisasi Program terdiri atas Imunisasi rutin, Imunisasi tambahan, dan Imunisasi khusus.

Menteri  dapat  menetapkan  jenis  Imunisasi  Program  selain  yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Komite Penasehat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization). Introduksi Imunisasi baru ke dalam Imunisasi program dapat diawali dengan kampanye atau demonstrasi  program  di  lokasi  terpilih  sesuai  dengan  epidemiologi penyakit.

Imunisasi  diberikan  pada  sasaran  yang  sehat  untuk  itu  sebelum

 

pemberian Imunisasi diperlukan skrining untuk menilai kondisi sasaran.

 

Prosedur skrining sasaran meliputi:

 

1.    Kondisi sasaran;

 

2.    Jenis dan manfaat Vaksin yg diberikan;

 

3.    Akibat bila tidak diImunisasi;

 

4.    Kemungkinan KIPI dan upaya yang harus dilakukan; dan

 

5.    Jadwal Imunisasi berikutnya.


 

 

 

Gambar 1. Sistematika Skrining Pemberian Imunisasi

 

 

 

 

 

 

1.    Imunisasi Rutin

 

a.    Imunisasi Dasar

 

Tabel 1. Jadwal Pemberian Imunisasi

 

 

 

 

Umur

 

 

 

Jenis

Interval Minimal untuk jenis Imunisasi yang sama

0-24 Jam

Hepatitis B

 

1 bulan

BCG, Polio 1

2 bulan

DPT-HB-Hib 1, Polio 2

 

 

 

1 bulan

3 bulan

DPT-HB-Hib 2, Polio 3

4 bulan

DPT-HB-Hib 3, Polio 4, IPV

9 bulan

Campak

 


 

 

 

Catatan :

 

•   Pemberian Hepatitis B paling optimal diberikan pada bayi

<24 jam pasca persalinan, dengan didahului suntikan vitamin K1 2-3 jam sebelumnya, khusus daerah dengan akses sulit, pemberian Hepatitis B masih diperkenankan sampai <7 hari.

 

•   Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit,   Klinik   dan Bidan Praktik Swasta, Imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan.

 

•   Pemberian BCG optimal diberikan sampai usia 2 bulan, dapat            diberikan   sampai   usia   <1   tahun   tanpa   perlu melakukan tes mantoux.

 

•   Bayi yang telah mendapatkan Imunisasi dasar   DPT-HB- Hib 1, DPT-HB-Hib 2, dan DPT-HB-Hib 3 dengan jadwal dan       interval   sebagaimana   Tabel   1,   maka  dinyatakan mempunyai status Imunisasi T2.

 

•   IPV mulai diberikan secara nasional pada tahun 2016

 

•   Pada kondisi tertentu, semua jenis vaksin kecuali HB 0 dapat diberikan sebelum bayi berusia 1 tahun.

 

 

b.    Imunisasi Lanjutan

 

Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menjamin terjaganya tingkat imunitas pada anak baduta, anak usia sekolah, dan wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil.

Vaksin  DPT-HB-Hib  terbukti  aman  dan  memiliki  efikasi yang  tinggi,  tingkat  kekebalan  yang  protektif  akan  terbentuk pada bayi yang sudah mendapatkan tiga dosis Imunisasi DPT- HB-Hib.Walau Vaksin sangat efektif melindungi kematian dari penyakit difteri, secara keseluruhan efektivitas melindungi gejala penyakit hanya berkisar 70-90 %.

Hasil penelitian (Kimura et al,1991) menunjukkan bahwa titer antibodi yang terbentuk setelah dosis pertama <0.01 IU/mL dan setelah dosis kedua berkisar 0.05-0.08 IU/mL dan setelah 3 dosis menjadi 1,5 -1,7 IU/mL dan menurun pada usia 15-18 bulan menjadi 0.03 IU/mL sehingga dibutuhkan booster. Setelah booster diberikan didapatkan titer antibodi yang tinggi sebesar

6,7 – 10.3 IU/mL.


 

 

 

Hasil serologi yang didapat pada anak yang diberikan DPT- HB-Hib  pada  usia  18-24  bulan  berdasarkan  penelitian  di Jakarta dan Bandung (Rusmil et al,2014) diketahui Anti D 99.7

%, Anti T 100 %, HbSAg 99.5%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Imunisasi DPT harus diberikan 3 kali dan tambahan pada usia 15-18 bulan untuk meningkatkan titer anti bodi pada anak-anak.

Penyakit lain yang membutuhkan pemberian Imunisasi lanjutan pada usia  baduta adalah  campak. Penyakit campak adalah  penyakit  yang  sangat  mudah  menular  dan mengakibatkan komplikasi yang berat. Vaksin campak memiliki efikasi kurang lebih 85%, sehingga masih terdapat anak-anak yang belum memiliki kekebalan dan menjadi kelompok rentan terhadap penyakit campak.

 

Tabel 2. Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Dua Tahun

 

 

Umur

Jenis

Imunisasi

Interval minimal setelah Imunisasi dasar

 

18 bulan

DPT-HB-Hib

12 bulan dari DPT-HB-Hib 3

Campak

6 bulan dari Campak dosis pertama

 

Catatan:

 

•   Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib dan

 

Campak dapat diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan

 

•   Baduta    yang    telah    lengkap    Imunisasi    dasar    dan mendapatkan Imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status Imunisasi T3.

 

 

Hasil   serologi   Campak   sebelum   dilakukan   Imunisasi campak pada anak sekolah dasar diketahui titer antibodi terhadap campak adalah 52,60% – 65,56%. Setelah Imunisasi campak pada BIAS diketahui titer antibodi meningkat menjadi

96.69% - 96.75% (SRH, 2009).

 

Hasil serologi Difteri   sebelum dilakukan Imunisasi difteri pada anak sekolah dasar diketahui titer antibodi adalah 20.13%

 29,96%  setelah  Imunisasi  difteri  pada  BIAS  diketahui titer antibodi meningkat menjadi 92.01% - 98.11% (SRH, 2011).


 

 

 

Tabel 3. Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar

 

Sasaran

Imunisasi

Waktu Pelaksanaan

 

Kelas 1 SD

Campak

 

DT

Agustus

 

November

Kelas 2 SD

Td

November

Kelas 5 SD

Td

November

 

Catatan

 

•   Anak usia sekolah dasar yang telah lengkap Imunisasi dasar dan          Imunisasi  lanjutan  DPT-HB-Hib  serta  mendapatkan Imunisasi   DT   dan   T dinyatakan   mempunyai   status Imunisasi T5.

 

 

Tabel 4. Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS)

 

Status

Imunisasi

Interval Minimal

Pemberian

 

Masa Perlindungan

T1

-

-

T2

4 minggu setelah T1

3 tahun

T3

6 bulan setelah  T2

5 tahun

T4

1 tahun setelah T3

10 tahun

T5

1 tahun setelah T4

Lebih dari 25 tahun

 

Catatan:

 

•   Sebelum Imunisasi,  dilakukan  penentuan status Imunisasi T (screening)  terlebih dahulu, terutama pada saat pelayanan antenatal.

•   Pemberian Imunisasi Td tidak perlu diberikan, apabila status T sudah mencapai T5, yang harus dibuktikan dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak, kohort dan/atau rekam medis.

 

 

2.    Imunisasi Tambahan

 

Yang termasuk dalam kegiatan Imunisasi Tambahan adalah:

 

a.    Backlog fighting

 

Merupakan upaya aktif di tingkat Puskesmas untuk melengkapi Imunisasi dasar pada anak yang berumur di bawah tiga   tahun. Kegiatan ini diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa  yang  selama  dua  tahun  berturut-turut  tidak  mencapai UCI.


 

 

 

b.    Crash program

 

Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat Puskesmas yang ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah terjadinya KLB. Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan crash program adalah:

1)    Angka kematian bayi akibat PD3I  tinggi;

 

2)    Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang; dan

 

3)    Desa yang selama tiga tahun berturut-turut tidak mencapai

 

UCI.

 

Crash program bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis Imunisasi,  misalnya  campak,  atau  campak  terpadu  dengan polio.

c.    Pekan Imunisasi Nasional (PIN)

 

Merupakan kegiatan Imunisasi massal  yang dilaksanakan secara serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat. PIN bertujuan untuk memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit dan meningkatkan herd immunity (misalnya polio, campak, atau Imunisasi lainnya). Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa memandang status Imunisasi sebelumnya.

d.    Cath Up Campaign (Kampanye)

 

Merupakan kegiatan Imunisasi Tambahan massal yang dilaksanakan  serentak  pada  sasaran  kelompok  umur  dan wilayah tertentu dalam upaya memutuskan transmisi penularan agent  (virus  atau  bakteri)  penyebab  PD3I.  Kegiatan ini  biasa dilaksanakan pada awal pelaksanaan kebijakan pemberian Imunisasi,  seperti  pelaksanaan  jadwal  pemberian  Imunisasi baru.


 

 

 

e.    Sub PIN

 

Merupakan  kegiatan  serupa  dengan  PIN  tetapi dilaksanakan pada wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).

f.     Imunisasi  dalam  Penanggulangan  KLB  (Outbrea Response

 

Immunization/ORI)

 

Pedoman pelaksanaan Imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan dengan situasi epidemiologis penyakit masing- masing.

3.    Imunisasi Khusus

 

a.    Imunisasi Meningitis Meningokokus

 

1)     Meningitis  meningokokus  adalah  penyakit  akut  radang selaput               otak   yang   disebabkan   oleh   bakteri   Neisseria meningitidis.

2)     Meningitis   merupakan   salah   satu    penyebab   utama kesakitan  dan  kematian  di  seluruh  dunia.  Case  fatality rate-nya melebihi 50%, tetapi dengan diagnosis dini, terapi modern dan suportif,  case fatality rate menjadi 5-15%.

3)     Pencegahan   dapat   dilakukan   denga Imunisasi   dan profilaksis                    untuk   orang-orang   yang   kontak   dengan penderita meningitis dan carrier.

4)     Imunisasi   meningitis   meningokokus   diberikan   kepada masyarakat yang akan melakukan perjalanan ke negara endemis meningitis, yang belum mendapatkan Imunisasi meningitis   atau  sudah  habis  masa  berlakunya  (masa berlaku 2 tahun).

5)     Pemberian  Imunisasi  meningitis  meningokokus  diberikan minimal               30  (tiga  puluh)  hari  sebelum  keberangkatan. Setelah               divaksinasi,   orang   tersebut   diberi   ICV   yang mencantumkan tanggal pemberian Imunisasi.

6)     Bila Imunisasi diberikan kurang dari  14 (empat belas)  hari sejak keberangkatan ke negara yang endemis meningitis atau ditemukan adanya kontraindikasi terhadap Vaksin meningitis,        maka   harus   diberikan   profilaksis   dengan antimikroba yang sensitif terhadap  Neisseria Meningitidis.

7)     Bagi   yang   datang   atau   melewati   negara   terjangkit meningitis harus bisa menunjukkan sertifikat vaksin (ICV)


 

 

 

yang masih berlaku sebagai bukti bahwa mereka telah mendapat Imunisasi meningitis.

b.    Imunisasi Yellow Fever (Demam Kuning)

 

1)     Demam kuning adalah penyakit infeksi virus akut dengan durasi pendek masa inkubasi 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) hari dengan tingkat mortalitas yang bervariasi. Disebabkan      oleh   virus   demam   kuning   dari   genus Flavivirus, famili Flaviviridae, vektor perantaranya adalah nyamuk Aedes aegypti.

2)    Icterus    sedang  kadang  ditemukan  pada  awal  penyakit.

 

Setelah remisi singkat selama beberapa jam hingga 1 (satu) hari, beberapa kasus berkembang menjadi stadium intoksikasi yang lebih berat ditandai dengan gejala perdarahan seperti epistaksis (mimisan), perdarahan ginggiva, hematemesis  (muntah seperti warna air kopi atau hitam),  melena,  gagal  ginjal  dan  hati,  20%-50%  kasus ikterus berakibat fatal.

3)     Secara    keseluruhan    mortalitas    kasus    di    kalangan penduduk  asli  di  daerah  endemis  sekitar 5% tapi dapat mencapai 20% - 40% pada wabah tertentu.

4)    Pencegahan  dapat  dilakukan  dengan  Imunisasi  demam

 

kuning  yang  akan  memberikan  kekebalan  efektif  bagi semua orang yang akan melakukan perjalanan berasal dari negara atau ke negara/daerah endemis demam kuning.

5)    Vaksin  demam  kuning  efektif  memberikan  perlindungan

 

99%. Antibodi terbentuk 7-10 hari sesudah Imunisasi dan bertahan seumur hidup.

6)     Semua  orang  yang  melakukan  perjalanan,  berasal  dari negara atau ke negara yang dinyatakan endemis demam kuning (data negara endemis dikeluarkan oleh WHO yang selalu di update) kecuali bayi di bawah 9  (sembilan)  bulan dan ibu hamil trimester pertama harus diberikan Imunisasi demam   kuning,   dan   dibuktikan   dengan   International Certificate of Vaccination (ICV).

7)    Bagi yang datang atau melewati negara terjangkit demam

 

kuning  harus  bisa  menunjukkan  sertifikat  vaksin  (ICV)

 

yang  masih  berlaku  sebagai  bukti  bahwa  mereka  telah


 

 

 

mendapat Imunisasi demam kuning. Bila ternyata belum bisa menunjukkan ICV (belum diImunisasi), maka terhadap mereka harus dilakukan isolasi selama  (enam)   hari, dilindungi     dari    gigitan    nyamuk    sebelum    diijinkan melanjutkan  perjalanan  mereka.  Demikian  juga  mereka yang    surat  vaksin  demam  kuningnya  belum  berlaku, diisolasi sampai ICVnya berlaku.

8)     Pemberian  Imunisasi  demam  kuning  kepada  orang  yang akan menuju negara endemis demam kuning selambat- lambatnya 10 (sepuluh)  hari sebelum berangkat, bagi yang belum pernah diImunisasi. Setelah divaksinasi, diberi ICV dan tanggal pemberian vaksin dan yang bersangkutan setelah itu harus menandatangani di ICV.  Bagi yang belum dapat                 melakukan tanda tangan   (anak-anak), maka yang menandatanganinya orang    tua    yang    mendampingi bepergian.

c.    Imunisasi Rabies

 

1)     Penyakit  anjing  gila  atau  dikenal  dengan  nama  rabies merupakan suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang   ditularkan oleh anjing, kucing dan kera.

2)     Penyakit  ini  bila  sudah  menunjukkan  gejala  klinis  pada hewan  dan  manusia  selalu  diakhiri  dengan  kematian, sehingga mengakibatkan timbulnya rasa cemas dan takut bagi  orang-orang  yang  terkena  gigitan dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat pada umumnya. Vaksin rabies  dapat   mencegah   kematian   pada   manusia   bila diberikan secara dini pasca gigitan.

3)    Vaksin anti rabies (VAR) manusia diberikan kepada seluruh

 

kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) yang berindikasi, sehingga kemungkinan kematian akibat rabies dapat dicegah.

d.    Imunisasi Polio

 

1)     Polio adalah penyakit lumpuh layu yang disebabkan oleh virus Polio liar   yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian


 

 

 

2)    Pencegahan  dapat  dilakukan  dengan  Imunisasi  untuk orang-orang  yang  kontak  dengan  penderita  polio  dan carrier.

3)    Imunisasi   Polio   diberikan   kepada   orang   yang   belum mendapat Imunisasi dasar lengkap pada bayi atau tidak bisa menunjukkan catatan Imunisasi/buku KIA, yang akan melakukan perjalanan ke negara endemis atau terjangkit polio.      Imunisasi diberikan minimal 14 (empat belas) hari sebelum keberangkatan, dan dicatatkan dalam sertifikat vaksin (International Certificate of Vaccination).

4)    Bagi yang datang dari negara endemis atau terjangkit polio atau transit lebih dari 4 minggu di negara endemis polio harus bisa menunjukkan sertifikat vaksin (International Certificate of Vaccination) yang masih berlaku sebagai bukti bahwa mereka telah mendapat Imunisasi polio.

 

 

B.   Imunisasi Pilihan

 

Imunisasi pilihan adalah Imunisasi lain yang tidak  termasuk dalam Imunisasi program, namun dapat diberikan pada bayi, anak, dan dewasa sesuai dengan kebutuhannya dan pelaksanaannya juga dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan kebutuhan program, Menteri dapat menetapkan jenis

 

Imunisasi pilihan menjadi Imunisasi program setelah mendapat rekomendasi    dari    ITAGI.    Dalam    membuat    rekomendasi,    ITAGI mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

1.    Beban penyakit (burden of disease);

 

2.    Penilaian  Vaksin,  yang  terdiri  dari:  kemampuan  vaksin  untuk menimbulkan   kekebalan   (efficacy),   keamanan   vaksin   (safety), ketersediaan      vaksin     yang     terus     menerus     (sustainable), keterjangkauan harga (affordable);

3.    Cost effectiveness dari vaksin;

 

4.    Memperkuat kesehatan Nasional (National Health Security), setelah dilakukan analisis terhadap manfaat yang didapat dari vaksin ini terhadap                 kesehatan  masyarakat  (Public  Health  Impact  Analysis) sehingga sudah menjadi prioritas untuk diberikan; dan

5.    Kesinambungan pembiayaan.


 

 

 

Introduksi Imunisasi Pilihan ke dalam Imunisasi Program dapat diawali dengan kampanye atau demonstrasi program di lokasi terpilih sesuai dengan epidemiologi penyakit.

Beberapa  vaksin  yang  digunakan  dalam  pelaksanaan  Imunisasi

 

Pilihan saat ini adalah;

 

1.     Vaksin Measles, Mumps, Rubela :

 

a.     Vaksin MMR   bertujuan   untuk mencegah Measles (campak), Mumps (gondongan) dan Rubela merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada   suhu 280C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya.

b.    Vaksin harus digunakan dalam waktu  (satu)   jam setelah

 

dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terhindar dari cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar.

c.    Rekomendasi:

 

1)     Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan rubela atau sudah mendapatkan Imunisasi campak.

2)     Anak   dengan   penyakit   kronis   seperti   kistik   fibrosis, kelainan jantung bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.

3)    Anak berusia 1 tahun yang berada di   day care centre,

 

family day care dan playgroups.

 

4)    Anak yang tinggal di lembaga cacat mental. d.    Kontra Indikasi:

1)     Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau dengan gangguan imunitas, yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgBB/hari prednisolon)

2)     Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin

3)    Pemberian MMR harus ditunda pada anak dengan demam

 

akut, sampai penyakit ini sembuh

 

4)    Anak  yang  mendapat  vaksin  hidup  yang  lain  (termasuk

 

BCG dan vaksin virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada


 

 

 

keadaan ini Imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah Imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin.

5)     Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat Imunisasi MMR (karena  komponen  rubela)  dan  dianjurkan  untuk  tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat suntikan MMR.

6)     Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah yang mengandung imunoglobulin (whole blood, plasma). Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.

7)    Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV).

 

Sebenarnya HIV bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk pada  dokter spesialis anak (konsultan).

e.    Dosis:

 

Dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan dalam.

f.     Jadwal:

 

1)    Diberikan pada usia 12–18 bulan.

 

2)     Pada populasi dengan insidens penyakit campak dini yang tinggi,             Imunisasi  MMR   dapat   diberikan   pada   usia   9 (sembilan) bulan.

2.     Vaksin Tifoid

 

a.    Vaksin tifoid  polisakarida parenteral

 

1)     Susunan vaksin polisakarida: setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhii; polisakarida 0,025 mg; fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat.

2)    Penyimpanan pada suhu 2 – 80C, jangan dibekukan

 

3)    Kadaluwarsa dalam 3 tahun b.    Rekomendasi:

Vaksin Polisakarida Parenteral diberikan untuk anak usia

 

≥ 2 tahun.

 

c.    Kontra Indikasi:

 

1)    Alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin.


 

 

 

2)     Pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif

d.    Dosis dan Jadwal:

 

1)     Dosis 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha

2)    Imunisasi ulangan tiap 3 tahun

 

3)     Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%,  walaupun telah mendapatkan  Imunisasi tetap  dianjurkan untuk  memilih makanan dan minuman yang higienis

3.     Vaksin Varisela

 

a.     Vaksin  virus  hidup  varisela-zoster  yang  dilemahkan  terdapat dalam bentuk bubuk kering

b.    Penyimpanan pada suhu 2–80C

 

c.    Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR (MMR/V)

 

d.     Infeksi setelah terpapar apabila telah diImunisasi dapat terjadi pada 1%-2% kasus setahun, tetapi infeksi umumnya bersifat ringan

e.    Rekomendasi:

 

1)    Vaksin diberikan mulai umur masuk sekolah (5 tahun)

 

2)    Pada anak 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan

 

dua kali selang 4 minggu

 

3)     Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam setelah        penularan      (dengan      persyaratan:      kontak dipisah/tidak berhubungan)

f.     Kontra Indikasi:

 

1)    Demam tinggi

 

2)     Hitung  limfosit  kurang  dari  1200/µl  atau  adanya  bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi

3)     Pasien     yang     mendapat     pengobatan     dosis     tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih)

4)    Alergi neomisin g.    Dosis dan Jadwal:

Dosis 0,5 ml suntikan secara subkutan, dosis tunggal.

 

4.     Vaksin Hepatitis A

 

a.    Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine).


 

 

 

b.     Pemberian bersama vaksin lain tidak mengganggu respon imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping.

c.    Rekomendasi:

 

1)    Populasi risiko tinggi tertular Virus Hepatitis A (VHA).

 

2)    Anak usia 2 tahun, terutama anak di daerah endemis.

 

Pada usia >2 tahun antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap makanan dan minuman yang tercemar.

3)     Pasien   Penyakit   Hati   Kronis,   berisiko   tinggi   hepatitis fulminan bila tertular VHA.

4)    Kelompok lain: pengunjung ke daerah endemis; penjamah

 

makanan; anak usia 2–3 tahun di Tempat  Penitipan Anak (TPA); staf TPA; staf dan penghuni institusi untuk cacat mental; pria homoseksual dengan pasangan ganda; pasien koagulopati; pekerja dengan primata; staf bangsal neonatologi.

d.    Kontra Indikasi:

 

Vaksin  VHA  tidak  boleh  diberikan  kepada individu yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama

e.    Dosis dan Jadwal:

 

1)    Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien

 

2)     Vaksin  diberikan  2  kali,  suntikan  kedua  atau  booster bervariasi antara 6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk

3)    Vaksin diberikan pada usia ≥ 2 tahun

 

5.     Vaksin Influenza

 

a.     Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus).

b.    Vaksin influenza mengandung antigen dari dua sub tipe virus

 

c.     influenza A dan sat sub   tipe   virus influenza B, subtipenya setiap             tahun   direkomendasikan   ole WHO      berdasarkan surveilans epidemiologi seluruh dunia.

d.     Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus-menerus, maka  perlu  dilakukan  vaksinasi  secara  teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang mengandung galur yang mutakhir.


 

 

 

e.    Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenesitas tinggi.

 

f.     Vaksin influenza harus disimpan   dalam Vaccine  Refrigerator

 

dengan suhu 2º- 8ºC. Tidak boleh dibekukan. g.    Rekomendasi:

1)    Semua orang usia ≥ 65 tahun

 

2)     Anak  dengan  penyakit  kronik  seperti  asma,  diabetes, penyakit ginjal dan kelemahan sistem imun

3)     Anak  dan  dewasa  yang  menderita  penyakit  metabolik kronis,              termasuk   diabetes,   penyakit   disfungsi   ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi

4)    Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang

 

yang  berisiko  tinggi  mendapat  komplikasi  yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orang-orang yang melayani atau erat dengan orang yang mempunyai risiko tinggi

5)    Imunisasi influenza dapat diberikan kepada anak sehat usia

 

6–23 bulan h.    Kontra Indikasi

1)     Individu     dengan    hipersensitif     anafilaksis     terhadap pemberian vaksin influenza sebelumnya dan  protein  telur jangan diberi vaksinasi influenza

2)     Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan

3)     Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita penyakit demam akut yang berat

i.     Jadwal dan Dosis

 

1)     Dosis untuk anak usia kurang dari 2  tahun adalah 0,25 ml dan usia lebih dari 2 tahun adalah 0,5 ml

2)     Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza pada  usia  ≤  8  tahun,  vaksin  diberikan  2  dosis  dengan selang   waktu  minimal  4  minggu,  kemudian  Imunisasi diulang setiap tahun

3)     Vaksin influenza diberikan secara suntikan intra muskular di  otot  deltoid  pada  orang  dewasa  dan  anak  yang  lebih


 

 

 

besar,    sedangkan    untuk    bayi    diberikan    di    paha anterolateral

4)     Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan dua (2) dosisdengan jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan

5)    Bila anak usia   9 tahun cukup diberikan satu kali saja,

 

teratur, setiap tahun satu kali

 

6.     Vaksin Pneumokokus

 

Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus polisakarida (Pneumococcal  Polysacharide Vaccine/PPV) dan vaksin pneumokokus konyugasi (Pneumococcal Conjugate Vaccine/PCV).

 

Tabel 5. Perbandingan PPV dan PCV

 

Pneumococcal Polysacharide

Vaccine

Pneumococcal Conjugate Vaccine

 

Polisakarida bakteri

Konjugasi polisakarida dengan protein difteri

T-independent antigen

T-dependent

Kurang imunogenik pada anak

<2 tahun, rekomendasi untuk usia >2 tahun

 

Kurang imunogenik pada anak usia <2 tahun

Imunitas jangka pendek, tidak

Mempunyai memori jangka panjang, respon booster positif

ada respon booster

PPV 23 : 14, 6B, 19F, 18C, 23F,

PCV 10: 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F,

4, 9V, 19A, 6A, 7F, 3, 1, 9N,

23F, 1, 5, dan 7F

22F, 18B, 15C, 12F, 11A, 18F,

PCV 13: 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F,

33F, 10A, 38, 13

23F, 1, 5, 7F, 3, 6A, dan 19A

 

 

Rekomendasi:

 

a.    Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV) diberikan pada:

 

1)    Lansia usia > 65 tahun

 

2)     Anak usia > 2 tahun yang mempunyai risiko   tinggi   IPD (Invasive   Pneumococcal   Disease)   yaitu   anak   dengan asplenia (kongenital atau didapat), penyakit   sickle cell, splenic dysfunction   dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum splenektomi

3)     Pasien  usia  >  2  tahun  dengan  imunokompromais  yaitu HIV/AIDS,   sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ


 

 

 

4)     Pasien  usia  >  2  tahun  dengan  imunokompeten  yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes

5)    Pasien usia > 2 tahun kebocoran cairan serebrospinal

 

b.    Vaksin Pneumokokus konyugasi (PCV) direkomendasikan pada:

 

1)    Semua anak sehat usia 2 bulan – 5 tahun;

 

2)     Anak  dengan  risiko  tinggi  IPD  termasuk  anak  dengan asplenia                baik  kongenital  atau  didapat,  termasuk  anak dengan penyakit sicklecell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum splenektomi;

3)     Pasien dengan imunokom promais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ;

4)    Pasien  dengan  imunokompeten  yang  menderita  penyakit

 

kronis yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes;

 

5)    Pasien kebocoran cairan serebrospinal; dan

 

6)     Selain itu juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang          huniannya  padat,  lingkungan  merokok,  di  panti asuhan dan sering terserang akut otitis media

7)    Jadwal dan Dosis:

 

a)    Vaksin PCV diberikan pada bayi umur 2, 3 bulan dan

 

12 bulan;

 

b)    Pemberian PCV minimal umur 6 minggu;

 

c)    Interval antara dosis pertama dan kedua 4 minggu;

 

dan

 

d)    Apabila  anak  datang  tidak  sesuai  jadwal  pemberian Imunisasi pneumokokus konyugasi yang telah ditetapkan maka jadwal dan dosis seperti pada tabel berikut ini:

 

Tabel 6.   Jadwal dan Dosis Vaksin Pneumokokus Konyugasi (PCV)

untuk Anak Datang di Luar Jadwal Imunisasi

 

 

Imunisasi

Dosis vaksin yang diberikan

 

Interval

Keterangan tambahan

Jika anak

2 dosis

Minimal 1

Dosis ketiga

belum

Imunisasi dasar

bulan

diberikan

mendapatkan

PCV sampai

 

dengan interval

Imunisasi PCV

usia 11 bulan

 

minimal 2

pada usia 2

 

 

bulan dari dosis

dan 3 bulan

 

 

kedua


 

 

 

 

Jika anak di

2 dosis sampai usia 24 bulan

Minimal 1

Tidak perlu

atas usia 12

bulan

dosis ketiga

bulan belum

 

 

pernah

 

 

mendapat

 

 

Imunisasi PCV

 

 

Jika anak

1 dosis

 

 

belum

Imunisasi

 

 

mendapatkan

lanjutan PCV

 

 

Imunisasi PCV

(dosis ketiga)

 

 

lanjutan (dosis

sampai usia 24

 

 

ketiga) pada

bulan

 

 

usia 12 bulan

 

 

 

 

 

7.     Vaksin Rotavirus

 

Terdapat  dua  jenis  Vaksin  Rotavirus  (RV)  yang  telah  ada  di pasaran yaitu vaksin monovalent dan pentavalent.

a.    Vaksin  monovalent  oral  berasal  dari  human  RV  vaccine  RIX

 

4414, dengan sifat berikut:

 

1)    Live, attenuated, berasal dari human RV/galur 89 – 12.

 

2)     Monovalen,  berisi  RV  tipe  G1,  P1A  (P8),  mempunyai neutralizing epitope  yang sama dengan RV tipe G1, G3, G4 dan G9 yang merupakan mayoritas isolat yang ditemukan pada manusia.

3)     Vaksin  diberikan  secara  oral    dengan  dilengkapi  bufer dalam kemasannya.

4)     Pemberian dalam 2 dosis pada usia 6–12 minggu dengan interval 8 minggu.

b.     Vaksin pentavalent oral merupakan kombinasi dari strain yang diisolasi dari human dan bovine yang bersifat:

1)    Live,  attenuated,  empatreassortant  berasal  dari  human

 

G1,G2,G3  dan  G4  serta  bovine  P7.  Reassortant  kelima berasal dari bovine G6P1A(8).

2)     Pemberian dalam 3  (tiga) dosis dengan interval   10 minggu sejak pemberian dosis pertama.

3)     Dosis   pertama   diberikan   umur    bulan.   Vaksin   ini maksimal diberikan pada saat bayi berumur 8 bulan. Pemberian vaksin rotavirus diharapkan selesai pada usia 24 minggu.


 

 

 

8.     Vaksin Japanese Ensephalitis

 

a.     Vaksin  diberikan  secara  serial  dengan  dosis  1  ml  secara subkutan pada hari   ke 0,7 dan   ke   28. Untuk anak yang berumur 1–3 tahun dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama.

b.    Booster  diberikan  pada  individu  yang  berisiko  tinggi  dengan dosis 1 ml tiga tahun kemudian

9.     Vaksin Human Papillomavirus (HPV)

 

a.     Vaksin  HPV  yang  telah  beredar  di  Indonesia  dibuat  dengan teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat dua jenis vaksin HPV yaitu:

1)    Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18)

 

2)    Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18)

 

b.    Vaksin HPV mempunyai efikasi 96–98% untuk mencegah kanker leher rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18.

c.    Rekomendasi:

 

Imunisasi    vaksin    HPV    diperuntukkan    pada    anak perempuan sejak usia >9 tahun.

d.    Dosis  dan Jadwal:

 

1)     Dosis 0,5 ml, diberikan secara intra muskular pada daerah deltoid

2)     Vaksin HPV bivalen, jadwal pemberian dengan interval 0,1 dan 6 bulan pada anak usia 9 - 25 tahun

3)    Vaksin HPV quadrivalen:

 

a)     Jadwal  pemberian  dengan  interval  0  dan  12  bulan pada anak usia 9 - 13 tahun

b)    Jadwal  pemberian  dengan  interval  0,2  dan  6  bulan pada anak usia  > 13 - 45 tahun

10.   Vaksin Herpes Zoster

 

a.     Vaksin  Herpes  Zoster  bertujuan  untuk  mencegah  penyakit Herpes  zoster  dan  nyeri  pasca  herpes  (NPH).  Herpes  zoster adalah  penyakit  infeksi  akibat  reaktivasi dari virus cacar air (Virus Varicella Zoster) yang menyerang saraf dan biasanya ditandai dengan ruam kulit.

b.    Setelah dilarutkan vaksin harus segera disuntikkan ke pasien

 

(tidak boleh lebih dari 30 menit setelah vaksin dilarutkan)


 

 

 

c.    Posologi:

 

Sediaan  bentuk  serbuk  terlipofilisasi  dari Virus Varicella Zoster yang dilemahkan dari anak yang terkena varicella secara alamiah. Saat akan digunakan direkonstitusi/dilarutkan dengan pelarut yang disediakan.

d.    Indikasi:

 

Untuk individu usia 50 tahun ke atas, imunokompeten dengan atau tanpa episode zoster dan histori cacar air sebelumnya

e.    Dosis :

 

Diberikan satu kali vaksinasi (dosis tunggal 0,65 ml/dosis) di lengan atas secara sub kutan. Durasi perlindungan berdasarkan penelitian sampai 10 tahun.

f.     Kontra Indikasi :

 

1)    Riwayat alergi terhadap komponen vaksin gelatin, neomisin

 

2)    Penekanan/penurunan sistem imun

 

3)    Tuberkolosis aktif yang tidak diterapi

 

4)    Kehamilan

 

11.   Vaksin Hepatitis B

 

a.     Vaksin Hepatitis B bertujuan untuk memberikan perlindungan danmengurangi insiden timbulnya penyakit hati kronik dan karsinoma hati.

b.    Setelah dilarutkan vaksin harus segera disuntikkan ke pasien

 

(tidak boleh lebih dari 30 menit setelah vaksin dilarutkan)

 

c.    Posologi:

 

Vaksin Hepatitis B mengandung HbsAg yang telah dimurnikan (vaksin DNA rekombinan).

d.    Indikasi:

 

Vaksin Hepatitis B diberikan kepada kelompok individu dengan risiko tinggi tertular Hepatitis B, diantaranya adalah :

1)     Petugas  kesehatan  atau  pekerja  lainnya  yang  berisiko terhadap paparan darah penderita Hepatitis B

2)    Pasien hemodialisis

 

3)     Pasien   yang   membutuhkan   transfusi   darah   maupun komponen darah

4)    Individu yang memiliki keluarga dengan riwayat Hepatitis B


 

 

 

5)    Kontak atau hubungan seksual dengan karier Hepatitis B

 

atau Hepatitis B akut

 

6)    Turis yang bepergian ke daerah endemik Hepatitis B

 

7)    Pengguna obat-obatan suntik

 

8)    Populasi berisiko secara seksual

 

9)    Pasien dengan penyakit hati kronik

 

10)  Pasien yang berencana melakukan transplantasi organ e.    Dosis :

Vaksin  Hepatitis  B  diberikan  dalam  3  dosis,  yaitu  pada bulan ke-0, 1 dan  6 atau sesuai dengan petunjuk produsen vaksin. Diberikan di lengan atas secara intra muskular.

f.     Kontra Indikasi :

 

1)    Riwayat alergi terhadap ragi

 

2)     Riwayat efek simpang yang berat pada penyuntikan dosis pertama

12.   Vaksin Dengue

 

Vaksin Dengue adalah jenis virus dari group Flavivirus yang mempunya 4 sero tipr, Dengue1, Dengue2, Dengue3 dan Dengue4.

Kandidat vaksin yang yang dikembangkan berdasarkan Live attenuated vaccine, Live recombinant vaccines, Subunit and inactived vaccine. Saat ini yang sudah sampai fase 3 adalah Live attenuated recombinant vaccines baru  dengan nama CYD dengue vaccine.

a.    Posologi:

 

1)    Live attenuated ,recombinant dengue serotype 1 virus

 

2)    Live attenuated ,recombinant dengue serotype 2 virus

 

3)    Live attenuated ,recombinant dengue serotype 3 virus

 

4)    Live attenuated ,recombinant dengue serotype 4 virus

 

b.    Indikasi:

 

c.    Dosis:

 

Vaksin Dengue terdiri dari powder dan pelarut, setiap dosis

 

0,5ML diberikan secara subkutan pada lengan . d.    Kontra Indikasi :

1)    Riwayat alergi terhadap ragi

 

2)     Riwayat efek simpang yang berat pada penyuntikan dosis pertama


 

 

 

e.    Imunogenesitas

 

Serokonversi sebesar 1005 terhadap masing-masing strain virus dengue (D1-4).

f.     Reaksi KIPI

 

Pada penerima vaksin dengue CYD didapatkan 305 reaksi lokal berupa nyeri, 40% reaksi sistemik berupa nyeri kepala, lemas, dan nyeri otot.


 

 

 

BAB III PENYELENGGARAAN IMUNISASI PROGRAM

 

 

A.    Perencanaan

 

Perencanaan   harus   disusun   secara   berjenjang       mulai   dari puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat (bottom up). Perencanaan merupakan  kegiatan  yang  sangat  penting  sehingga  harus  dilakukan secara benar oleh petugas yang profesional.   Ketidaktepatan   dalam perencanaan akan mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan program, tidak tercapainya target kegiatan, pemborosan keuangan negara   serta hilangnya kepercayaan masyarakat. Perencanaan Imunisasi program, meliputi:

1.    Penentuan Sasaran

 

a.    Sasaran Imunisasi Rutin

 

1)    Bayi pada Imunisasi Dasar

 

Jumlah bayi lahir hidup di tingkat Provinsi dan Kabupaten dihitung/ditentukan berdasarkan angka yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Sasaran ini digunakan untuk menghitung Imunisasi Hepatitis B, BCG dan Polio1.

Jumlah bayi baru lahir di tingkat kecamatan dan desa

 

dapat dihitung sebagai berikut :

 

 

Kecamatan  :

Jml bayi lahir hidup kecamatan thn lalu x Jml bayi kab/kota tahun ini

Jml bayi lahir hidup kab/kota tahun lalu

 

 

Desa/Kel    :

Jml bayi lahir hidup desa/kel tahun lalu x Jml bayi kecamatan tahun ini

Jml bayi lahir hidup kecamatan tahun lalu

 

A T A U

 

Desa = Pendataan sasaran per Desa

 

 

Jumlah   bayi   yang bertahan hidup (Surviving Infant) dihitung/ditentukan berdasarkan jumlah bayi baru lahir dikurangi dengan jumlah kematian bayi yang didapat dari perhitungan angka kematian bayi (AKB) dikalikan dengan jumlah bayi baru lahir.   Jumlah ini digunakan sebagai sasaran Imunisasi bayi usia 2-11 bulan.


 

 

 

 

 

Surviving Infant (SI) =

 

Jumlah bayi baru lahir – (AKB x Jumlah bayi baru lahir)

 

 

 

2)    Anak dibawah dibawah usia 2 tahun (Baduta) pada

 

Imunisasi lanjutan

 

a)     Untuk sasaran Imunisasi lanjutan pada baduta sama dengan jumlah Surviving Infant (SI) tahun lalu.

b)    Jumlah   Baduta   dihitung/ditentukan   berdasarkan jumlah  Surviving infant (SI).

3)    Anak sekolah dasar pada Imunisasi lanjutan

 

Untuk sasaran Imunisasi lanjutan pada anak sekolah dasar didapatkan dari data Kementerian Kesehatan

4)    Wanita Usia Subur (WUS) pada Imunisasi lanjutan

 

Batasan   Wanita Usia   Subur   WUS yang menjadi sasaran Imunisasi lanjutan adalah antara 15-49 tahun. Jumlah   sasaran       WUS   ini   didapatkan   dari   data Kementerian  Kesehatan.  Wanita  usia  subur  terdiri  dari WUS hamil dan tidak hamil

 

WUS = 21,9% x Jumlah Penduduk

 

 

b.    Sasaran Imunisasi Tambahan

 

Sasaran Imunisasi tambahan adalah kelompok resiko (golongan umur) yang paling beresiko terkenanya kasus. Jumlah sasaran didapatkan berdasarkan pendataan langsung.

c.    Sasaran Imunisasi Khusus

 

Sasaran Imunisasi khusus ditetapkan dengan keputusan tersendiri (misalnya jemaah haji, masyarakat yang akan pergi ke negara tertentu).

2.    Perencanaan Kebutuhan Logistik

 

Logistik Imunisasi terdiri dari vaksin, Auto Disable Syringe dan safety box. Ketiga kebutuhan tersebut harus direncanakan secara bersamaan dalam jumlah yang berimbang (system bundling).

a.    Perencanaan Vaksin

 

Dalam menghitung jumlah kebutuhan vaksin, harus diperhatikan   beberapa   hal,   yaitu   jumlah   sasaran,   jumlah


 

 

 

pemberian, target cakupan 100% dan indeks pemakaian vaksin

 

dengan memperhitungkan sisa vaksin (stok) sebelumnya.

 


Kebutuhan = { 𝐽�𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽��𝐽� 𝑠�𝐽�𝑠�𝐽�𝑠�𝐽�𝑠𝑠 𝑥𝑥 𝐽�𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽��𝐽� 𝑃𝑃𝑃�𝐽�𝑃�𝑃�𝑠�𝑃𝑃𝐽𝐽𝑠𝑠 𝑥𝑥 100%

𝐼�𝑃𝑃 𝑉�𝐽�𝑉𝑉𝑠𝑠𝑃��𝑠𝑠


} – sisa stok


 

 

 

Indek Pemakaian vaksin (IP) adalah pemakaian rata–rata setiap  kemasan  vaksin.  Cara  menghitung  IP  adalah  dengan

membagi jumlah cakupan dengan jumlah vaksin yang dipakai.

 

 

IP = Jumlah cakupan / Jumlah vaksin yang dipakai

 

 

 

Untuk menentukan jumlah kebutuhan vaksin ini, maka perhitungan   IP vaksin harus dilakukan pada setiap level. IP vaksin untuk kegiatan Imunisasi massal (BIAS atau kampanye) lebih besar dibandingkan dengan Imunisasi rutin diharapkan sasaran berkumpul dalam jumlah besar pada satu tempat yang sama.

Untuk Tingkat Pusat, penyediaan vaksin ditambah 25% dari kebutuhan satu tahun sebagai langkah antisipasi adanya pelaksanaan Imunisasi tambahan dan atau kerusakan vaksin.

b.    Perencanaan Auto Disable Syringe

 

Alat suntik yang dipergunakan dalam pemberian Imunisasi adalah  alat  suntik  yang  akan  mengalami  kerusakan  setelah sekali pemakaian (Auto Disable Syringe/ADS).   Ukuran ADS beserta penggunaannya terlihat seperti tabel berikut:

 

Tabel 7. Ukuran ADS dan Penggunaan

 

No

Ukuran ADS

Penggunaan

1

0,05 ml

Pemberian imunisasi BCG

 

2

 

0,5 ml

Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib, Campak, DT, Td, dan IPV

3

5 ml

Untuk melarutkan vaksin BCG dan Campak

 

Untuk Tingkat Pusat, berdasarkan sistem bundling maka perencanaan dan penyediaanADS mengikuti jumlah vaksin dan indeks pemakaian vaksin.

c.    Perencanaan Safety Box

 

Safety box digunakan untuk menampung alat suntik bekas pelayanan Imunisasi sebelum dimusnahkan. Safety box ukuran


 

 

 

2,5 liter mampu  menampung 50 alat suntik bekas, sedangkan ukuran 5 liter menampung 100 alat suntik bekas. Limbah Imunisasi selain alat suntik bekas tidak boleh dimasukkan ke dalam safety box. Berdasarkan sistem bundling maka penyediaansafety box mengikuti jumlah ADS. Safety box yang sudah berisi alat suntik bekas tidak boleh disimpan lebih dari 2 x 24 jam.

d.    Perencanaan Kebutuhan Peralatan Cold Chain

 

Vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu tertentu (pada suhu 2 s/d 8 ºC  untuk vaksin sensitif beku atau pada  suhu -15 s/d  -25  ºC untuk vaksin yang sensitif panas).

 

Sesuai  dengan  tingkat  administrasi,  maka  sarana coldchain yang dibutuhkan adalah:

 

Provinsi                 :  Coldroom, freeze room, Vaccine Refrigerator

 

dan freezer

 

Kabupaten/kota    :  Coldroom, Vaccine Refrigerator dan freezer

 

Puskesmas            :  Vaccine Refrigerator

 

Tabel 8. Jenis Standar Minimal Peralatan Program Imunisasi

 

JENIS

Provinsi

Kab/Kota

Puskesmas

Voltage Stabilizer

Indikator pembekuan dan pemantau suhu panas

 

 

 

Alat pencatat suhu kontinyu

Thermometer

ADS (autodisable syringe)

Safety  box

Kendaraan berpendingin khusus

 

Komputer

Tabung pemadam kebakaran

Suku cadang

Tool kits

 

Penentuan jumlah kapasitas Cold Chain harus dihitung berdasarkan volume puncak kebutuhan vaksin rutin  (maksimal stok) ditambah dengan kegiatan tambahan (bila ada).

Maksimal stok vaksin provinsi adalah 2 bulan kebutuhan ditambah   1   bulan   cadangan,   kabupaten/kota   1   bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Puskesmas 1 bulan kebutuhan ditambah dengan 1 minggu cadangan.

Selain kebutuhan Vaccine Refrigerator  dan freezer, harus direncanakan juga kebutuhan vaksin carrier untuk membawa


 

 

 

vaksin ke   lapangan serta cool pack   sebagai penahan suhu dingin dalam Vaksin carrier  selama transportasi vaksin.

Cara perhitungan kebutuhan   Cold Chai adalah dengan mengalikan jumlah stok maksimal  vaksin (semua jenis vaksin) dengan volume   setiap jenis vaksin, dan membandingkannya dengan volume vaccine refrigerator/freezer.

 

Tabel 9. Volume Beberapa Jenis Vaksin/ Kemasan

 

 

Vaccine

Panjan

g

(cm)

 

Lebar

(cm)

 

Tinggi

(cm)

 

Volume

(cm3)

 

Total

Doses

 

cm3/

doses

Td 10 ds

11

4,5

4,5

222,75

100

2,228

DT 10 ds

11

4,5

4,5

222,75

100

2,228

Campak 10 ds

12

5

5,5

330

100

3,3

Campak 20 ds

12

4,8

5,5

316,8

200

1,584

Pelarut Campak 10 ds

8,5

3,5

8,5

252,88

100

2,529

Pelarut Campak 20 ds

9

3,8

11

376,2

200

1.881

 

Hepatitis B PID

 

16,6

 

15,2

 

11,9

3002,6

1

 

100

 

30,03

Polio 10 ds

8,5

3,6

4

122,4

100

1,224

Polio 20 ds

17

8,5

3,8

549,10

1000

0,549

Dropper Polio 10 dosis

(10 pcs)

 

8,5

 

3,6

 

7,6

232,56

0

 

-

 

-

Dropper Polio 20 dosis

(50 pcs)

 

11,8

 

9

 

8

 

849,6

 

-

 

-

BCG (Bio Farma)

8,6

3,5

11,1

334,11

200

1,671

Pelarut BCG

(Bio Farma)

 

8,5

 

3,5

 

7,8

 

232,05

 

200

 

1,16

BCG 20 ds-SII (India)

18,5

9,8

5

906,5

1000

0,907

Pelarut BCG SII (India)

14,5

6

7,3

635,1

50

12,7

BCG 20 ds-SSI

(Denmark)

 

11,5

 

2,3

 

12,8

 

338,56

 

200

 

1,69

Pelarut BCG-SSI

11,5

2,3

12,8

338,56

10

33,86

BCG GS

15

7.5

5

562,5

1000

0,563

Pelarut BCG GS

12,8

7

6

537,6

50

10,75

Pentavalen 5 ds

10,3

2,3

11,3

267,70

50

5,354

IPV 5 ds

 

 

 

 

 

 

IPV 10 ds

11,5

6

6

414

100

4,14

 

 

Cara   menentukan   volume   vaccine    refrigerator/freezer adalah   dengan   mengukur   langsung   pada   bagian   dalam (ruangan) penyimpanan vaksin. Volume bersih untuk penyimpanan  vaksin  adalah  70%  dari  total volume. Kegiatan seperti  BIAS, PIN, atau Outbreak Response Immunization (ORI) juga harus diperhitungkan dalam perhitungan kebutuhan Cold Chain.


 

 

 

3.    Perencanaan Pendanaan

 

Sumber pembiayaan untuk Imunisasi dapat berasal dari pemerintah dan sumber pembiayaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembiayaan yang bersumber dari pemerintah berbeda-beda pada tiap tingkat administrasi  yaitu  tingkat  pusat  bersumber  dari  Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tingkat provinsi bersumber dari APBN (dekon) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) provinsi, tingkat kabupaten/kota bersumber dari APBN (tugas perbantuan) dan APBD kabupaten/kota berupa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).  Pendanaan ini dialokasikan dengan mengunakan formula khusus antara lain berdasarkan jumlah penduduk, kapasitas fiskal, jumlah masyarakat miskin dan lainnya.

Di era desentralisasi, fungsi pemerintah pusat adalah dalam menjamin ketersediaan vaksin dan alat suntik dan safety box, bimbingan teknis, pedoman pengembangan, pemantauan dan evaluasi, pengendalian kualitas, kegiatan TOT (training  of  trainer), advokasi, penelitian operasional dan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi). Meskipun ada komitmen yang kuat dari pemerintah pusat dalam mendukung Imunisasi dalam bentuk penyediaanvaksin dan alat suntik ke seluruh kabupaten/kota sudah terbukti, dalam beberapa kasus, masih terjadi masalah dalam ketersediaan biaya operasional yang seharusnya disediakan oleh pemerintah daerah. Situasi  ini  akan  berdampak  besar  misalnya  terjadinya  KLB  di berbagai wilayah, khususnya di daerah rural dan miskin.

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bertanggung jawab menyiapkan biaya operasional untuk pelaksanaan pelayanan Imunisasi rutin dan Imunisasi tambahan.

Biaya operasional sebagaimana dimaksud meliputi biaya:

 

a.    transport dan akomodasi petugas;

 

b.    bahan habis pakai;

 

c.    penggerakan masyarakat; dan

 

d.    perbaikan  serta  pemeliharaan  peralatan  rantai  vaksin  dan kendaraan Imunisasi.

e.     distribusi  logistik  dari  kabupaten/kota  sampai  ke  fasilitas pelayanan kesehatan; dan

f.     pemusnahan limbah medis Imunisasi


 

 

 

Untuk kesuksesan kegiatan Imunisasi dalam pelaksanaan, komoditas, teknis, dan keuangan maka setiap tingkat administrasi memiliki tanggung jawab sebagai berikut:

a.    Tanggung jawab ke bawah (Accountable down)

 

Pusat bertanggung jawab dalam penyediaan vaksin dan sekaligus mendistribusikannya ke provinsi. Pusat bersama Daerah bertanggung jawab dalam penyediaanlogistik lainnya. Pendistribusian selanjutnya menjadi tanggung jawab daerah secara berjenjang sesuai dengan kebijakan masing-masing daerah. Daerah juga bertanggung jawab dalam penyediaan sumber daya dan biaya pemeliharaan peralatan cold chain.

b.    Tanggung jawab setempat (Accountable at level)

 

Provinsi dan kabupaten/kota bertanggung jawab menyediakan sumber daya untuk operasional dan beberapa komponen investasi.  Sistem  desentralisasi telah menempatkan kabupaten/kota sebagai aktor utama dalam mengimplementasikan kegiatan. Pemerintah Daerah harus mampu menjamin ketersediaan dana untuk mendukung keberlangsungan program (biaya operasional, pemeliharaan dan lainnya) melalui advokasi kepada para stakeholder.

c.    Tanggung jawab ke atas (Accountable up)

 

Puskesmas      sebagai      ujung      tombak      pelayanan, pembiayaannya  ditanggung  oleh  pemerintah  daerah,  kecuali beberapa  komoditas  yang  disuplai   dari  Pusat.  Puskesmas bertanggung        jawab        untuk       memberikan       laporan pertanggungjawaban ke kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Diperlukan  perencanaan  yang  komprehensif  yang  melibatkan

lintas sektor dan lintas program untuk mendukung keberlanjutan kegiatan Imunisasi.   Perencanaan kegiatan Imunisasi memerlukan informasi yang dapat menggambarkan situasi pencapaian Imunisasi dan  sumber  daya  yang  ada  saat  ini  dan  juga  tujuan  yang  akan dicapai   pada   masa  mendatang  yang  tertuang  dalam  Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Perencanaan ini harus diikuti dengan penyusunan penganggaran yang dibutuhkan sehingga merupakan satu kesatuan perencanaan yang komprehensif.


 

 

 

B.    Penyediaan dan Distribusi Logistik

 

1.    Penyediaan Logistik

 

Pemerintah  bertanggung  jawab  terhadap  penyediaan  logistik

 

Imunisasi Program:

 

a.    penyediaan vaksin, b.    ADS,

c.    safety box, dan

 

d.    peralatan cold chain berupa:

 

1)    alat penyimpan Vaksin, meliputi cold room, freezer room,

 

vaccine refrigerator,dan freezer;

 

2)     alat transportasi Vaksin, meliputi kendaraan berpendingin khusus, cold box, vaccine carrier, cool pack, dan cold pack; dan

3)     alat pemantau suhu, meliputi termometer, termograf, alat pemantau   suhu   beku,   alat   pemantau/mencatat   suhu secara terus-menerus, dan alarm.

Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap penyediaan logistik Imunisasi Program:

a.     peralatan Cold Chain selain vaccine refrigerator, berupa cold box, vaccine carrier, cool pack, cold pack, termometer, termograf, alat pemantau suhu beku, alat pemantau/pencatat suhu secara terus-menerus, alarm, dan kendaraan berpendingin khusus;

b.    peralatan pendukung Cold Chain;

 

c.    Peralatan Anafilaktik;

 

d.     Dokumen   Pencatatan   Pelayanan   Imunisasi   sesuai   dengan kebutuhan; dan

e.     ruang  untuk  menyimpan  peralatan  Cold  Chain  dan  logistik Imunisasi lainnya yang memenuhi standar dan persyaratan. Untuk              mengatasi   keadaan   tertentu   (KLB   atau   bencana)

penyediaan vaksin dapat dilakukan bekerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.    Pendistribusian

 

Seluruh proses distribusi vaksin program dari pusat sampai ketingkat pelayanan, harus mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi agar mampu memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran.


 

 

 

a.    Pusat ke Provinsi

 

1)     Penyedia   vaksin   bertanggung   jawab   terhadap   seluruh pengiriman vaksin dari pusat sampai ke tingkat provinsi.

2)     Dinas  kesehatan  provinsi  mengajukan  rencana  jadwal penyerapan vaksin alokasi provinsi yang dikirimkan kepada Direktorat Jenderal yang membawahi bidang Kefarmasian dan  Alat  Kesehatan  Kementerian  Kesehatan,  tembusan kepada Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan yang membawahi      bidang   Pengendalian   Penyakit   cq.   Subdit Imunisasi  serta  kepada penyedia vaksin paling lambat 10 hari kerja setelah alokasi vaksin diterima di provinsi.

3)     Vaksin akan dikirimkan  sesuai jadwal rencana penyerapan dan atau permintaan yang diajukan oleh dinas kesehatan provinsi (tercantum dalam formulir 25 terlampir).

4)     Pengiriman   vaksin   (terutama   BCG)   dilakukan   secara bertahap (minimal dalam   dua   kali pengiriman) dengan interval waktu   dan   jumlah   yang   seimbang   dengan memperhatikan       tanggal   kadaluarsa   dan   kemampuan penyerapan serta kapasitas tempat penyimpanan.

5)     Vaksin  untuk  kegiatan  BIAS  dikirimkan  1  (satu)  bulan sebelum pelaksanaan atau sesuai permintaan.

6)     Vaksin   alokasi   pusat   akan   dikirimkan   berdasarkan permintaan resmi dari dinas kesehatan provinsi   yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal yang membawahi bidang Pengendalian Penyakit  Kementerian Kesehatan  cq. Direktur   yang  membawahi  bidang  Imunisasi  dengan melampirkan   laporan   monitoring   vaksin   pada   bulan terakhir.

7)    Dalam setiap pengiriman vaksin harus disertakan dokumen

 

berupa:

 

a)     SP     (Surat     Pengantar)     untuk     vaksin     alokasi provinsi/SBBK (Surat Bukti Barang Keluar) untuk vaksin alokasi pusat (tercantum dalam formulir 22 terlampir).

b)    VAR (Vaccine Arrival Report) untuk setiap nomor batch vaksin. (tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22 terlampir).


 

 

 

c)    Copy   Certificate of Release (CoR) untuk setiap batch

 

vaksin

 

8)     Wadah  pengiriman  vaksin  berupa  cold  box  disertai  alat untuk mempertahankan suhu dingin berupa :

a)     Cool pack untuk vaksin Td, DT, Hepatitis B, dan DPT- HB-Hib.

b)    Cold pack  untuk vaksin BCG dan Campak.

 

c)    Dry ice dan/atau cold pack untuk vaksin Polio.

 

9)     Pelarut dan penetes dikemas pada suhu kamar terpisah dengan vaksin  (tanpa menggunakan pendingin).

10)  Pada setiap  cold  box   disertakan alat pemantau paparan suhu tambahan  berupa:

a)     Indikator paparan suhu beku untuk vaksin   sensitif beku (DT, Td, Hep.B dan DPT-HB-Hib).

b)    Indikator paparan suhu panas untuk vaksin BCG. b.    Provinsi ke Kabupaten/Kota

1)     Merupakan  tanggung  jawab  Pemerintah  Daerah    dengan cara            diantar     oleh     provinsi     atau     diambil     oleh kabupaten/kota.

2)     Dilakukan   atas   dasar   permintaan   resmi   dari   dinas kesehatan  kabupaten/kota     dengan  mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung tempat penyimpanan. (tercantum dalam formulir 23 dan formulir 24 terlampir).

3)     Menggunakan  cold box  yang  disertai alat penahan suhu dingin berupa:

a)    Cool pack  untuk  vaksin DT, Td, Hepatitis B PID dan

 

DPT-HB-Hib.

 

b)    Cold pack untuk vaksin BCG, Campak dan Polio.

 

4)     Apabila vaksin sensitif beku dan sensitif panas ditempatkan dalam  satu  wadah    maka  pengepakannya  menggunakan cold box  yang berisi cool pack.

5)     Dalam setiap pengiriman harus disertai dengan dokumen berupa:

a)     VAR   (Vaccine Arriva Report)    yang mencantumkan seluruh vaksin (tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22 terlampir).


 

 

 

b)    SBBK (Surat Bukti Barang Keluar) (tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22 terlampir).

6)     Pengepakan vaksin sensitif beku harus dilengkapi dengan indikator pembekuan.

c.    Kabupaten/ Kota ke Puskesmas

 

1)     Dilakukan dengan cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh puskesmas.

2)     Dilakukan   atas dasar   permintaan resmi dari puskesmas dengan mempertimbangkan stok maksimum   dan daya tampung penyimpanan vaksin (tercantum dalam formulir

23 dan formulir 24 terlampir).

 

3)     Menggunakan  cold box   atau vaccine carrier yang disertai dengan cool pack.

4)     Disertai dengan dokumen pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) (tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22 terlampir) dan Vaccine Arrival Report (VAR) (tercantum dalam formulir 21 dan formulir 22 terlampir).

5)     Pada setiap  cold box  atau vaksin  carrier  disertai dengan indikator pembekuan.

d.    Puskesmas ke Tempat Pelayanan

 

1)     Vaksin dibawa dengan menggunakan vaccine carrier yang diisi coolpack dengan jumlah yang sesuai ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan  di wilayah kerja Puskesmas, baik pemerintah maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi program.

2)     Dilakukan dengan cara diantar olehPuskesmas atau diambil oleh fasilitas pelayanan kesehatan atas dasar permintaan resmi.

 

 

C.    Penyimpanan dan Pemeliharaan Logistik

 

Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan  ketingkat  berikutnya  (atau  digunakan),  vaksin  harus selalu disimpan pada suhu yang telah ditetapkan, yaitu:

1.    Provinsi

 

a.    Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C pada

 

freeze room atau freezer


 

 

 

b.    Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold room

 

atau vaccine refrigerator

 

2.    Kabupaten/Kota

 

a.    Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C pada

 

freezer

 

b.    Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold room

 

atau vaccine refrigerator.

 

3.    Puskesmas

 

a.     Semua vaksin disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada vaccine refrigerator

b.     Khusus  vaksin  Hepatitis  B,  pada  bidan  desa  disimpan  pada suhu ruangan, terlindung dari sinar matahari langsung.

 

Tabel 10. Penyimpanan Vaksin

 

 

VAKSIN

PROVINSI

KAB/KOTA

PKM/PUSTU

Bides/UPK

MASA SIMPAN VAKSIN

2 BLN+1 BLN

1 BLN+1 BLN

1 BLN+1 MG

1 BLN+ 1 MG

POLIO

-15°C s.d. -25 °C

 

 

DPT-HB-Hib

 

 

 

 

2°C s.d. 8°C

DT

BCG

CAMPAK

Td

IPV

Hepatitis B

Suhu ruang

 

Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2°C s.d. 8°C  atau pada suhu ruang terhindar dari sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C. Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian sisa vaksin.

1.   Keterpaparan Vaksin terhadap Panas

 

Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan dengan perubahan   kondisi Vaccine  Vial  Monitor (VVM) A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu meskipun masa kadaluwarsanya masih lebih panjang.  Vaksin dengan kondisi VVM C dan D tidak boleh digunakan


 

 

 

Gambar 2. Indikator VVM Pada Vaksin

 

Segi empat lebih terang dari lingkaran

Gunakan vaksin bila belum kadaluarsa

 

 

 

Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran

Gunakan vaksin lebih dahulu bila belum kadaluarsa

 

 

Batas untuk tidak digunakan lagi :

Segi empat berwarna sama dengan lingkaran

JANGAN GUNAKAN VAKSIN

 

 

Melewati Batas Buang :

Segi empat lebih gelap dari lingkaran

JANGAN GUNAKAN VAKSIN

 

 

 

2.   Masa Kadaluarsa Vaksin

 

Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih pendek masa kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO).

3.   Waktu Penerimaan vaksin (First In First Out/ FIFO)

 

Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih dahulu.Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih awal mempunyai jangka waktu pemakaian yang lebih pendek.

4.   Pemakaian Vaksin Sisa

 

Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit atau praktek swasta) bisa digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

a.    Disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C

 

b.    VVM dalam kondisi A atau B

 

c.    Belum kadaluwarsa

 

d.    Tidak terendam air selama penyimpanan e.    Belum melampaui masa pemakaian.

 

Tabel 11. Masa Pemakaian Vaksin Sisa

 

Jenis Vaksin

Masa Pemakaian

Keterangan

Polio

2 Minggu

Cantumkan tanggal pertama kali vaksin

digunakan

IPV

4Minggu

DT

4 Minggu

Td

4 Minggu

DPT-HB-Hib

4 Minggu

BCG

3 Jam

Cantumkan waktu vaksin dilarutkan

Campak

6 Jam


 

 

 

Distribusi Logistik Imunisasi

 

 

 

5.   Penanganan Vaksin pada Keadaan Tertentu

 

Penanganan vaksin dalam keadaan tertentu perlu dipahami, mengingat vaksin sangat rentan terhadap perubahan suhu, penyimpanan vaksin pada tingkat puskesmas dianggap yang paling rentan, karena power tidak stabil, tidak ada listrik, daya listrik terbatas.

Beberapa hal yang harus dipahami antara lain:

 

a.     Pahami bentuk dan type vaccine refrigerator.

 

b.     Bila Ice Line Refrigerator,  periksa suhu, jangan membuka pintu vaccine refrigerator, karena vaccine refrigerator jenis ini, mempunyai cold life 15 – 24 jam.

c.     Bila RCW 42 EK-50 EK, mempunyai cold lif4-5 jam, maka siapkan peralatan ataulangkah-langkah penyelamatan vaksin:

1)    Menggunakan burner.

 

2)    Hidupkan generator, bila ada


 

 

 

Gambar 3.    Langkah-langkah penyelamatan vaksin pada keadaan tertentu

 

 

Rencana tindakan pengamanan Vaksin, jika peralatan

cold chain yang bermasalah

 

Langkah-langkah penyelamatan vaksin apabila kehabisan Bahan bakar / putus aliran listrik atau Vaccine refrigerator rusak

 

 

Berapa lama waktu yg dibutuhkan untuk perbaikan atau pengadaan/

supply Bahan Bakar

 

 


Ya, <5 hari                                     5 hari?


Tidak, 5 hari


 

 


Selamatkan vaccine di dalam cold box yang kapasitas dingin sampai 5 hari

 

Pastikan cold Pack/cool pack/ air dingin ditempatkan didasar, disamping, dibagian atas, dalam cold box dan disertai thermometer

 

Untuk jenis vaksin sensitive panas menggunakan cold pack dan vaksin sensitive beku menggunakan cool pack

 

Anda harus mendengar bunyi air saat mengocok cold pack, sebelum dimasukkan dalam coldbox

 

Jangan memakai vaccine carrier atau cold box yang daya tahannya kurang dari 5 hari, kecuali tidak ada lagi yang lain, namun tetap dicek perubahan suhu 2 kali sehari.

 

Kalau tidak ada cold box/vaccine carrier maka lihat kotak kanan


 

 

 

1.

Titipcold pack/cool pack pada fasilitas pelayanan kesehatan/toko/kios/ keluarga/teman yg ada Lemari Es , selama minimal 12 Jam

Nama orang yang dapat dihubungi: ............

 

No.telepon:........................................

 

2.

 

Jika tdk ada lemari es lainnya maka segeralah titipkan vaksin pada Puskesmas/ Rumah sakit terdekat / kirim ke Kab/kota yang ada Vaccine refrigerator

 

Nama petugas Penerima :..................

 

No. radio atau hand phone:..................

 

 

Hari

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari


 


Setelah Vaccine refrigerator

diperbaiki


Setelah

Vaccine

refrigerator


 

- Kembalikan vaksin ketika Vaccine refrigerator sudah berfungsi kembali.

- Pastikan anda memeriksa status VVM pada semua vaksin ketika mengembalikannya ke dalam Vaccine refrigerator .

 

 

 

6.   Monitoring Vaksin dan Logistik

 

Setiap akhir bulan atasan langsung pengelola vaksin melakukan monitoring administrasi dan fisik vaksin serta logistik  lainnya. Hasil monitoring dicatat pada kartu stok dan dilaporkan secara berjenjang bersamaan dengan laporan cakupan Imunisasi.


 

 

 

Sarana Penyimpanan Vaksin terdiri atas:

 

1.    Kamar Dingin dan Kamar Beku

 

a.     Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3)  sampai  dengan  100.000  liter  (100  m3).  Suhu  bagian dalamnya mempunyai kisaran antara +2oC s/d +8oC. Kamar dingin  ini   berfungsi   untuk   menyimpan   vaksin   program Imunisasi yang harus disimpan pada suhu 2oC s/d 8oC.

b.     Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3)  sampai  dengan  100.000  liter  (100  m3),  suhu  bagian dalamnya mempunyai kisaran antara  -15oC s/d  -25oC. Kamar beku utamanya berfungsi untuk menyimpan vaksin polio.

c.    Kamar  dingin  dan  kamar  beku  umumnya  hanya  terdapat  di

 

tingkat provinsi mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Secara teknis sistem pendingin kamar dingin dan kamar beku dibagi dalam 3 (tiga) sistem, yaitu:

1)    Sistem    pendingin    dengan    menggunakan    Hermatic

 

Compressor”;

 

2)    Sistem  pendingin  dengan  menggunakan  Semi  Hermatic

 

Compressor”; dan

 

3)    Sistem   pendingin   dengan   menggunakan   Open   type

 

Compressor”.

 

d.    Aturan pengoperasian kamar dingin dan kamar beku:

 

1)     Kamar dingin/kamar beku harus dioperasikan secara terus menerus selam 24 jam.

2)    Listrik dan suhu bagian dalam harus selalu terjaga.

 

3)     Kamar   dingin/kamar   beku   hanya   untuk   menyimpan vaksin.

e.     Setiap kamar dingin/kamar beku mempunyai atau dilengkapi dengan:

1)     2 (dua) buah cooling unit sebagai pendinginnya dan diatur agar cooling unit ini bekerja bergantian.

2)     Satu unit generator (genset) automatis atau manual yang selalu siap untuk beroperasi bila listrik padam.


 

 

 

3)    Alarm  control  yang  akan  berbunyi  pada  suhu  di bawah

 

+2oC atau pada suhu di atas +8oC atau pada saat power listrik padam.

4)     Mempunyai thermometeryang dapat mencatat suhu secara automatis selama 24 jam yang terpasang  pada dinding luar kamar dingin atau kamar beku.

5)     Mempunyai    indikator    beku    (freeze-tag)    yang    harus diletakkan                    pada   bagian   dalam   kamar   dingin   untuk mengetahui bila terjadi penurunan suhu dibawah 0oC.

f.     Pemantauan kamar dingin dan kamar beku:

 

1)    Periksa suhu pada  thermometer  setiap hari pagi dan sore.

 

Bila  terjadi  penyimpangan  suhu  segera  laporkan  pada atasan;

2)     Jangan masuk ke   dalam kamar dingin atau kamar beku bila tidak perlu;

3)     Sebelum memasuki kamar dingin atau kamar beku harus memberitahu petugas lain;

4)     Gunakan  jaket  pelindung  yang  tersedia  saat  memasuki kamar dingin atau kamar beku;

5)     Pastikan  kamar  dingin  dan  kamar  beku  hanya  berisi vaksin;

6)     Membuka  pintu  kamar  dingin  atau  kamar  beku  jangan terlalu lama

7)     Jangan  membuat    cool  pack    bersama  vaksin  di  dalam kamar dingin, pembuatan cool pack harus menggunakan Vaccine Refrigerator tersendiri;

8)     Jangan  membuat    cold  pack    bersama  vaksin  di  dalam kamar beku, pembuatan  cold pack  harus  menggunakan freezer tersendiri.

2.    Vaccine Refrigerator dan Freezer

 

Vaccine Refrigerator adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, DT, Hepatitis B, Campak, IPV dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan +2°C s.d. +8°C dapat juga difungsikan untuk membuat kotak  dingin  cair  (cool  pack).  Freezer    adalah  untuk  menyimpan vaksin polio pada suhu  yang ditentukan antara -15oC s/d -25oC atau membuat kotak es beku (cold pack).


 

 

 

Vaccine Refrigerator dan freezer harus terstandarisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Product Information Sheet (PIS)/ Performance Quality and Safety (PQS) dari WHO.

Sistem Pendinginan:

 

a.    Sistem Kompresi

 

Pada sistem pendinginan kompresi, vaccine refrigerator/freezer menggunakan kompresor sebagai jantung utama untuk mengalirkan  refrigerant  (zat pendingin) ke ruang pendingin melalui evaporator. Kompresor ini digerakkan oleh listrik AC 110volt/220 volt/380 volt atau DC 12 volt/24 volt. Bahan pendingin yang digunakan pada sistem ini adalah refrigerant  tipe R-12 atau R-134a.

b.    Sistem absorpsi

 

Pada sistem pendingin absorpsi, Vaccine Refrigerator/freezer menggunakan pemanas litrik (heaterdengan tegangan 110 volt AC/220  volt  AC/12  Volt  DC)  atau  menggunakan  nyala  api minyak tanah atau menggunakan nyala api dari gas LPG (Propane/Butane). Panas ini diperlukan untuk menguapkan bahan pendingin berupa amoniak (NH3) agar dapat berfungsi sebagai pendingin di evaporator.

Perbedaan  antara  sistem  kompresi  dan  absorpsi berdasarkan   penggunaan   di   lapangan   dapat   digambarkan seperti di bawah ini:

 

Tabel 12. Perbandingan Sistem Kompresi dan Sistem Absorpsi

 

Sistem Kompresi

Sistem Absorpsi

a. Lebih cepat dingin

a. Pendinginan lebih lambat

b. Menggunakan kompresor

sebagai mekanik yang dapat menimbulkan aus

b.Tidak menggunakan mekanik

sehingga tidak ada bagian yang bergerak sehingga tidak ada aus

c. Hanya dengan listrik

AC/DC

c. Dapat dengan listrik AC/DC

atau nyala api minyak tanah/

gas

d. Bila terjadi kebocoran

pada sistem mudah diperbaiki

d. Bila terjadi kebocoran pada

sistem tidak dapat diperbaiki

 

 

Pemilihan sistem kompresi atau sistem absorpsi tergantung dari ketersediaan listrik.


 

 

 

Gambar 3 . Pemilihan Penggunaan Refrigerator Berdasarkan

Ketersedian Suply Energi

 


Apakah listrik tersedia  12-

24 jam per hari


Ya                      Gunakan Vaccine

Refrigerator

kompresi + Volt

Stabilizer


 


Tidak

 

 

Listrik hanya

8-12 jam per hari.


 

 

Ya

 

 

atau


Gunakan Vaccine Refrigerator absorpsi dengan minyak tanah atau Gas



 

 

 

Tidak


Gunakan Vaccine Refrigerator ILR dengan cold life 24

- 48 jam.


 


 

Listrik  < 8 jam per hari.


Gunakan Vaccine Refrigerator tenaga matahari


 

Imunisasi hanya menggunakan cold box atau vacine

carrier

 

 

Bagian yang sangat penting dari vaccine refrigerator/freezer adalah   thermostat. Thermostart   berfungsi untuk mengatur suhu bagian dalam pada vaccine refrigerator/freezer. Thermostat banyak sekali tipe dan modelnya, namun hanya 2 (dua) sistem cara kerjanya. Bentuk pintu vaccine refrigerator/freezer:

a.    Bentuk buka dari depan (front opening)

 

Vaccine Refrigerator/freezer dengan bentuk pintu buka dari depan banyak digunakan dalam rumah tangga atau pertokoan, seperti:  untuk  meyimpan  makanan  minuman,  buah-buahan yang sifat penyimpanannya sangat terbatas. Bentuk ini tidak dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.

b.    Bentuk buka keatas (top opening)

 

Bentuk  top  opening  pada  umumnya  adalah freezer  yang biasanya digunakan untuk menyimpan bahan makanan,   ice cream, daging sertaVaccine Refrigerator untuk penyimpanan vaksin. Salah satu bentuk Vaccine Refrigerator   top opening adalah ILR (Ice Lined Refrigerator)   yaitu: lemari es buka atas yang dimodifikasi khusus menjadi Vaccine Refrigerator dengan


 

 

 

suhu  bagian  dalam +2°C  s/d  +8oC,  hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan volume penyimpanan vaksin pada Vaccine  Refrigerator. Modifikasi dilakukan dengan meletakkan kotak  dingin  cair  (cool    pack)  pada  sekeliling  bagian  dalam freezer   sebagai penahan dingin dan diberi pembatas berupa aluminium atau multiplex atau acrylic plastic.

 

Tabel 13. Kelebihan dan Kekurangan VaccineRefrigerator Berdasarkan

Letak Pintu

 

Bentuk buka dari depan

Bentuk buka dari atas

 

Suhu tidak stabil

 Suhu lebih stabil

 

Pada   saat   pintu   vaccine

 Pada   saat   pintu   vaccine

 

refrigerator dibuka ke depan

maka suhu dingin dari atas

akan  turun  ke  bawah  dan keluar

refrigerator  dibuka  ke  atas

maka suhu dingin dari atas

akan  turun  ke  bawah  dan tertampung

 

Bila  listrik  padam  relative

 Bila  listrik  padam  relative suhu dapat bertahan lama

 

tidak dapat bertahan lama

 

Jumlah  vaksin  yang  dapat ditampung sedikit

 Jumlah  vaksin  yang  dapat ditampung lebih banyak

 

Susunan    vaksin    menjadi

 Penyusunan   vaksin   agak

 

mudah  dan  vaksin  terlihat

sulit        karena        vaksin

 

jelas dari samping

tertumpuk  dan  tidak  jelas

dilihat dari atas

 

Memperhatikan  kelebihan  dan  kekurangan  dari  pintu  buka depan dan pintu buka atas, maka direkomendasikan untuk memilih refrigerator pintu buka atas untuk menyimpan vaksin.

3.    Alat Pembawa Vaksin

 

Alat pembawa Vaksin harus terstandarisasi SNI dan PIS/PQS WHO.

a.     Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa vaksin.   Pada umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Kotak dingin (cold box) ada 2 macam   yaitu terbuat dari plastik atau kardus dengan insulasi poliuretan.

b.    Vaccine  carrier  adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan Imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan suhu +2°C s/d +8°C.


 

 

 

4.    Alat untuk mempertahankan Suhu

 

a.     Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastic berbentuk segi empat yang diisi dengan  air yang dibekukan dalam  freezer dengan suhu -15°C s/d -25°C selama minimal 24 jam.

b.     Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat yang diisi dengan air kemudian didinginkan dalam Vaccine Refrigerator dengan suhu  -3°C s.d +2°C selama minimal

12 jam (dekat evaporator).

 

Untuk mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi, perlu dilakukan pemeliharaan sarana peralatan Cold Chain sebagai berikut.

1.    Pemeliharaan Harian

 

a.     Melakukan      pengecekan      suhu      dengan      menggunakan thermometer atau alat pemantau suhu digital setiap pagi dan sore, termasuk hari libur.

b.     Memeriksa apakah terjadi bunga es dan memeriksa ketebalan bunga es. Apabila bunga es lebih dari 0,5 cm lakukan defrosting (pencairan bunga es).

c.     Memeriksa apakah terdapat cairan pada dasar lemari es. Apabila terdapat cairanharus segera dibersihkan atau dibuang

d.     Melakukan pencatatan langsung setelah pengecekan suhu pada thermometer atau pemantau suhu dikartu pencatatan suhu setiap pagi dan sore.

2.    Pemeliharaan Mingguan

 

a.     Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan obeng untuk mengencangkan baut.

b.     Melakukan  pengamatan  terhadap  tanda-tanda  steker  hangus dengan melihat perubahan warna pada steker, jika itu terjadi gantilah steker dengan yang baru.

c.     Agar tidak terjadi konsleting saat membersihkan badan vaccine refrigerator, lepaskan steker dari stop kontak.

d.     Lap   basah,   kuas   yang   lembut/spon   busa   dan   sabun dipergunakan untuk membersihkan badan vaccine refrigerator.

e.    Keringkan kembali badan vaccine refrigerator dengan lap kering. f.     Selama   membersihkan   badan   vaccin refrigerator jangan membuka pintu vaccine refrigerator agar suhu tetap terjaga 2°C

s.d. 8°C


 

 

 

g.     Setelah selesai membersihkan badan vaccine refrigerator colok kembali steker.

h.    Mencatat    kegiatan    pemeliharaan    mingguan    pada    kartu pemeliharaan vaccine refrigerator.

3.    Pemeliharaan Bulanan

 

a.     Sehari sebelum melakukan pemeliharaan bulanan, kondisikan cool pack  (kotak dingin cair), vaccine  carrier  atau cold box dan pindahkan vaksin ke dalamnya.

b.    Agar tidak terjadi konsleting saat  melakukan pencairanbunga es

 

(defrosting), lepaskan steker dari stop kontak.

 

c.     Membersihkan   kondensor   pada   vaccine   refrigerator   model terbukamenggunakan sikat lembut atau tekanan udara. Pada model tertutup hal ini tidak perlu dilakukan.

d.    Memeriksa  kerapatan  pintu  dengan  menggunakan  selembar kertas, bila kertas sulit ditarik berarti karet pintu masih baik, sebaliknya bila kertas mudah ditarik berarti karet sudah sudah mengeras atau kaku. Olesi karet pintu dengan bedak atau minyak goreng agar kembali lentur.

e.    Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan

 

obeng untuk mengencangkan baut.

 

f.     Selama   membersihkan   badan   vaccin refrigerator jangan membuka pintu vaccine refrigerator agar suhu tetap terjaga 2°C s.d. 8°C.

g.     Setelah selesai membersihkan badan vaccine refrigerator colok kembali steker.

h.    Mencatat    kegiatan    pemeliharaan    bulanan    pada    kartu pemeliharaan vaccine refrigerator.

i.     Untuk   vaccine   refrigerator   dengan   sumber   tenaga   surya, dilakukan                   pembersihan  panel  surya  dan  penghalang  sinar apabila berdekatan dengan pepohonan.

j.     Untuk  vaccine  refrigerator  dengan  sumber  tenaga  surya  dan aki/accu, lakukan pemeriksaan kondisi air aki.

4.    Pencairan bunga es (defrosting)

 

a.     Pencairan   bunga es   dilakukan minimal 1 bulan sekali atau ketika bunga es mencapai ketebalan 0,5 cm.

b.    Sehari sebelum pencairan bunga es, kondisikancool pack (kotak dingin cair), vaccine carrier ataucold box.


 

 

 

c.    Memindahkan vaksin ke  dalam vaccine  carrier  atau  cold box

 

yang telah berisi cool pack (kotak dingin cair).

 

d.    Mencabut steker saat ingin melakukan pencairan bunga es.

 

e.     Melakukan pencairan bunga es dapat dilakukan dengan cara membiarkan hingga mencair atau menyiram dengan air hangat.

f.     Pergunakan  lap  kering  untuk  mengeringkan  bagian  dalam

 

Vaccine Refrigerator termasuk evaporator saat bunga es mencair. g.    Memasang   kembali steker dan   jangan merubah   thermostat

hingga suhu Vaccine Refrigerator kembali stabil (2°C s.d. 8°C).

 

h.    Menyusun kembali vaksin dari dalam vaccine  carrier atau cold box        kedalam  Vaccine  Refrigerator  sesuai  dengan  ketentuan setelah suhu lemari es telah mencapai 2°C s.d. 8°C.

i.     Mencatatkegiatan     pemeliharaan     bulanan     pada     kartu pemeliharaan Vaccine Refrigerator.

j.     Pencairan bunga es (defrosting)

 

 

 

D.   Penyediaan Tenaga dalam Penyelenggaraan Imunisasi Program

 

Untuk terselenggaranya pelayanan Imunisasi dan surveilans KIPI, maka setiap jenjang administrasi dan unit pelayanan  dari Tingkat Pusat sampai Tingkat Puskesmas, harus memiliki jumlah dan jenis ketenagaan yang sesuai dengan standar, yaitu memenuhi persyaratan kewenangan profesi dan mendapatkan pelatihan kompetensi.

1.    Jenis dan jumlah ketenagaan

 

Jenis dan jumlah ketenagaan minimal yang harus tersedia di

 

Tingkat Daerah adalah sebagai berikut :

 

a.    Puskesmas

 

1)    Puskesmas Induk

 

a)    pengelola program Imunisasi dan KIPI

 

b)    pengelola logistik Imunisasi c)    pelaksana Imunisasi

2)     Puskesmas Pembantu pelaksana Imunisasi

3)     Polindes/ Poskesdes di Desa Siaga pelaksana Imunisasi

b.    Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Bersalin

 

1)    pelaksana Imunisasi dan KIPI

 

2)    pengelola logistik Imunisasi


 

 

 

c.    Klinik dan Praktik Swasta

 

1)    pelaksana Imunisasi

 

2)    pengelola logistik Imunisasi

 

d.    Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

 

1)    pengelola program Imunisasi  dan KIPI

 

2)    pengelola Logistik Imunisasi

 

e.    Tenaga Pengelola Program Tingkat Provinsi

 

1)    pengelola program Imunisasi  dan KIPI

 

2)    pengelola logistik Imunisasi

 

Pengelola program Imunisasi bertugas merencanakan, melaksanakan,  melakukan  monitoring  evaluasi program Imunisasi dan monitoring KIPI serta pencatatan pelaporan.

Pengelola   logistik   Imunisasi   bertugas   untuk   menyimpan,

 

mengelola,  mendistribusikan,  memelihara  dan  melaporkan  vaksin, alat suntik, dan peralatan cold chain serta logistik lainnya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Imunisasi.

Jumlah   tenaga pengelola program Imunisasi   dan tenaga pengelola logistik Imunisasi dapat lebih dari satu orang  disesuaikan jumlah dan kebutuhan  ketenagaan yang ada.

Pada kondisi tertentu misalnya jumlah tenaga terbatas,   maka dimungkinkan pengelola program Imunisasi merangkap   sebagai pengelola logistik Imunisasi.

Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota pengelola program Imunisasi sebaiknya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pembinaan (RR, PWS, Supervisi Suportif, DQS dan EVM).

2.    Peningkatan Kapasitas Petugas (Pelatihan)

 

Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas/pengelola Imunisasi dalam rangka meningkatkan kinerja dan kualitas petugas. Pelatihan yang dilaksanakan dimaksud diharapkan terakreditasi dan mempunyai sertifikat.

a.    Konsep Pelatihan

 

Konsep pelatihan dalam Imunisasi, terdiri dari:

 

1)     Pendidikan/pelatihan    sebelum    bertugas    (pre    service training) dengan memasukkan materi Imunisasi dalam pembelajaran/kurikulum                                             Institusi    pendidikan    tenaga


 

 

 

kesehatan (Fakultas Kedokteran, Keperawatan, FKM, Akper, Akbid, dan lain-lain).

2)     Pelatihan  dalam  tugas  (in  service  training)  dapat  berupa aspek            pemberian  pelayanan   Imunisasi  maupun  aspek manajemen            program  pelatihan  dasar  Imunisasi  (initial training in basic immunization)

3)     Pelatihan magang yaitu pelatihan bagi peserta yang pernah mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi ditemukan kekurangan dalam hal-hal tertentu. Petugas yang dilatih, diminta mengikuti kegiatan di unit lain dengan kinerja baik dan bekerja di bawah penyeliaan petugas di unit tempatnya magang. Materi yang diberikan diseleksi sesuai dengan inkompetensi yang ditemukan.

4)    Pelatihan    penyegaran,    yaitu    pelatihan    formal    yang

 

dilakukan terhadap peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya minimal 3   (tiga) tahun atau ada materi baru yang memerlukan pemahaman.

5)     On  the  job  training  (pelatihan  ditempat  tugas)  pelatihan untuk petugas yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan masalah dalam kinerjanya yang dapat diatasi dengan pembinaan pada saat supervisi.

6)    Pelatihan  lanjutan  (continued  training/advanced  training)

 

Pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan  program  pada  tingkatan/level  yang  lebih tinggi. Materi berbeda dengan pelatihan dasar. Pelatihan ini memberikan peluang bagi para pengelola program untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya. Disamping itu, pelatihan ini memberikan pengayaan bagi program.

7)     Tenaga   pengelola   yang   sudah   mendapatkan   pelatihan sebaiknya tidak dipindahtugaskan minimal 3 (tiga) tahun sejak dilatih.

b.    Pengembangan Pelatihan

 

Pelatihan bagi tenaga pelaksana dan pengelola Imunisasi menggunakan   pendekatan   Competency-Based   Training(CBT) yang telah terakreditasi atau tersertifikasi.


 

 

 

Pelatihan dapat diselenggarakan secara berjenjang oleh kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan/atau lembaga swasta. Lembaga swasta yang menyelenggarakan pelatihan harus telah terakreditasi oleh kementerian dan/atau dinas sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

 

 

E.    Pelaksanaan Pelayanan

 

Imunisasi  Program  dapat  dilaksanakan  secara  perorangan  atau massal dengan tetap mengacu pada prinsip dan aturan pelaksanaan.

Berdasarkan tempat pelayanan, Imunisasi Program dibagi menjadi:

 

1.    Pelayanan Imunisasi di dalam gedung (komponen statis)

 

Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan, Imunisasi dapat diberikan melalui fasilitas pemerintah maupun swasta, antara lain rumah sakit pemerintah, Puskesmas, instalasi pelayanan kesehatan di   pintu   masuk   Negara   (Kantor   Kesehatan   Pelabuhan),   Unit Pelayanan Kesehatan Swasta   (UPKS) seperti rumah sakit swasta, praktek dokter, praktek bidan, dan Klinik swasta. UPKS sebagai provider/pemberi pelayanan Imunisasi wajib menggunakan vaksin yang disediakan oleh Pemerintah dan menggunakan peralatan pelayanan serta logistik sesuai standar.

UPKS   dalam   penyelenggaraan   Imunisasi   program   harus membuat MoU atau perjanjian tertulis dengan unit/tempat pengambilan  vaksin/logistik  program  Imunisasi  terkaitpencatatan dan pelaporan hasil pelayanan dengan format yang standar, logistik vaksin yang dipergunakan serta melakukan penanganan dan melaporkan KIPI. Pencatatan Imunisasi pada fasilitas kesehatan sesuai dengan bukupetunjuk teknispencatatan dan pelaporan Imunisasi, serta bertanggung jawab menjaga kualitas vaksin, rantai dingin dan penerapasafe injection  sesuai standar dari Kementerian Kesehatan,     menyediakan  petugas  pelaksana  Imunisasi  terlatih sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan.Dalam meningkatkan keterampilan dan mempertahankan kualitas pelaksanaan Imunisasi, Dinas Kesehatan harus melakukan pembinaan dan supervisi kepada UPKS di wilayahnya yang dapat didelegasikan kepada Puskesmas.


 

 

 

2.    Pelayanan Imunisasi di luar gedung (komponen dinamis)

 

Pelayanan Imunisasi di luar gedung yang dimaksud adalah di posyandu, pos pelayanan Imunisasi, di sekolah, atau kunjungan rumah. Dalam pemberian Imunisasi, harus diperhatikan kualitas vaksin, pemakaian alat suntik, dan hal–hal penting saat pemberian Imunisasi (dosis, cara dan tempat pemberian, interval pemberian, tindakan antiseptik dan kontra indikasi).

a.    Kualitas Vaksin

 

Seluruh Vaksin yang akan digunakan dalam pelayanan Imunisasi harus sudah memenuhi standard WHO serta memiliki Certificate of Release (CoR) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kualitas dan keamanan vaksin adalah:

1)    Vaksin belum kadaluwarsa

 

Secara umum vaksin dapat digunakan sampai dengan akhir bulan masa kadaluarsa vaksin.

2)     Vaksin sensitif beku belum pernah mengalami pembekuan Apabila  terdapat  kecurigaan  vaksin  sensitif beku pernah mengalami pembekuan, maka harus dilakukan uji kocok (shake test) terhadap vaksin tersebut. Sebagai pembanding digunakan jenis  dan nomor batch vaksin yang sama.

3)    Vaksin belum terpapar suhu panas yang berlebihan.

 

Dalam setiap kemasan vaksin telah dilengkapi dengan alat pemantau paparan suhu panas yang disebut Vaccine Vial Monitor (VVM).

4)     Vaksin    belum    melampaui    batas    waktu    ketentuan pemakaian vaksin yang telah dibuka.

Vaksin yang telah  dipakai pada tempat pelayanan statis bisa digunakan lagi pada pelayanan berikutnya, sedangkan sisa pelayanan dinamis harus dibuang.

b.    Pemakaian alat suntik

 

Untuk menghindarkan terjadinya penyebaran penyakit yang diakibatkan oleh  penggunaan berulang  alat suntik bekas, maka setiap  pelayanan  Imunisasi  harus  menggunakan  alat  suntik yang akan mengalami kerusakan setelah sekali pemakaian (Auto


 

 

 

Disable   Syringe/ADS),   baik   untuk   penyuntikan   maupun pencampuran vaksin dengan pelarut.

c.    Hal-hal yang penting saat pemberian Imunisasi

 

1)    Dosis, cara pemberian dan tempat pemberian Imunisasi

 

Tabel 14. Dosis, Cara dan Tempat Pemberian Imunisasi

 

Jenis Vaksin

Dosis

Cara Pemberian

Tempat

Hepatitis B

  0,5 ml      

  Intra Muskuler          

Paha

BCG

  0,05 ml    

  Intra Kutan               

Lengan kanan atas

Polio

  2 tetes     

  Oral                          

Mulut

IPV

  0,5 ml      

  Intra Muskuler          

Paha kiri

 

DPT-HB-Hib

 

0,5 ml

 

Intra Muskuler

Paha untuk bayi; Lengan kanan untuk batita

 

                                  

Campak

  0,5 ml      

  Sub Kutan                

Lengan kiri atas

DT

  0,5 ml      

  Intra Muskuler          

Lengan kiri atas

Td

0,5 ml

Intra Muskuler

Lengan kiri atas

 

2)    Interval pemberian

 

Jarak minimal antar dua pemberian antigen yang sama adalah satu bulan. Tidak ada batas maksimal antar dua pemberian Imunisasi.

3)    Tindakan antiseptik

 

Setiap petugas yang akan melakukan pemberian Imunisasi harus  mencuci  tangan  dengan  sabun  terlebih  dahulu. Untuk tempat suntikan dilakukan tindakan aseptik sesuai aturan yang berlaku.

4)    Kontra indikasi

 

Pada umumnya tidak terdapat kontra   indikasi Imunisasi untuk  individu  sehat kecuali untuk kelompok risiko. Pada setiap   sediaan   vaksin   selalu   terdapat   petunjuk   dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin.


 

 

 

Tabel 15. Kontra Indikasi dan Bukan Pada Imunisasi Program

 

Indikasi Kontra dan Perhatian

Khusus

Bukan Indikasi Kontra (imunisasi

dapat dilakukan)

Berlaku umum untuk semua vaksin DPT-HB-Hib, Polio,

Campak, dan Hepatitis B

Riwayat reaksi anafilaktik pada pemberian imunisasi dengan antigen yang

sama sebelumnya

Indikasi Kontra dan Perhatian

Bukan Indikasi Kontra (imunisasi dapat dilakukan)

Khusus

Vaksin DPT-HB-Hib

Ensefalopati dalam 7 hari pasca

 

DPT-HB-Hib sebelumnya

 

Perhatian Khusus

 

 Demam >40,5°C dalam 48 jam     Demam <40,5°C  pasca DPT-HB-Hib pasca DPT-HB-Hib                          sebelumnya

sebelumnya, yang tidak                Riwayat kejang dalam keluarga berhubungan dengan                   Riwayat SIDS dalam keluarga penyebab lain                               Riwayat KIPI dalam keluarga pasca

 Kolaps dan keadaan seperti            DPT-HB-Hib

syok (episode hipotonik-

hiporesponsif) dalam 48 jam pasca DPT-HB-Hib sebelumnya

 Kejang dalam 3 hari pasca

DPT-HB-Hib sebelumnya

 Menangis terus 3 jam dalam

48 jam pasca DPT-HB-Hib

sebelumnya

 Sindrom Guillain-Barre dalam

6 minggu pasca vaksinasi

Vaksin Polio

Kontra Indikasi

Bukan Kontra Indikasi

 Infeksi  HIV  atau  kontak  HIV

-    Menyusui

serumah

-    Sedang dalam terapi antibiotic

 Imunodefisiensi (keganasan

-    Diare ringan

hematologi atau tumor padat,

 

imuno-defisiensi kongenital),

 

terapi imunosupresan jangka

 

panjang)

 

Perhatian Khusus

 

Kehamilan

 

Hepatitis B

Kontra indikasi

Bukan kontra indikasi

Reaksi anafilaktoid terhadap ragi

Kehamilan

 

Catatan :

Yang  dimaksud  dengan  perhatian  khusus  adalah  pemberian

Imunisasi diberikan di fasilitas kesehatan yang lengkap

 

Dalam penyelenggaraan program Imunisasi diperlukan dukungan peran serta masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemberian informasi melalui  media  cetak,  media  sosial,  media  elektronik,  dan  media  luar ruang, advokasi dan sosialisasi, pembinaan kader, pembinaan kepada kelompok   binaan   balita   dan   anak   sekolah,   dan/ata pembinaan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat.

Untuk mencapai tingkat perlindungan yang optimal di masyarakat

 

maka semua sasaran Imunisasi harus mendapat pelayanan Imunisasi.


 

 

 

Seseorang     atau     sekelompok     orang     yang     menghalang-halangi penyelenggaraan  Imunisasi  Program  termasuk  menolak  tanpa  alasan medis            dapat  dikenakan  sanksi  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.

 

 

F.    Pengelolaan Limbah

 

Pelayanan Imunisasi harus dapat menjamin bahwa sasaran memperoleh kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu serta tidak terjadi penularan penyakit kepada petugas dan masyarakat sekitar akibat limbah

Limbah dari penyelenggaraan Imunisasi diluar gedung harus dibawa kembali ke puskesmas untuk kemudian dimusnakan bersama dengan limbah Imunisasi yang dilaksanakan didalam gedung

Pada tahun 2000, WHO mencatat kasus infeksi akibat tusukan jarum

 

bekas yang terkontaminasi sebagai berikut: Infeksi virus Hepatitis B sebanyak 21 juta (32% dari semua infeksi baru), Infeksi virus Hepatitis C sebanyak 2 juta (40% dari semua infeksi baru), Infeksi HIV sebanyak 260 ribu (5% dari seluruh infeksi baru).

Limbah Imunisasi dibagi menjadi 2  (dua), yaitu limbah infeksius dan non infeksius.

1.    Limbah Infeksius

 

Limbah Infeksius kegiatan Imunisasi merupakan limbah yang ditimbulkan setelah pelayanan Imunisasi yang mempunyai potensi menularkan penyakit kepada orang lain, yaitu:

a.     Limbah medis tajam berupa alat suntik ADS yang telah dipakai, alat suntik untuk pencampur vaksin, alat suntik yang telah kadaluwarsa.

b.     Limbah farmasi berupa sisa vaksin dalam botol atau ampul, kapas pembersih/usap, vaksin dalam  botol atau ampul yang telah rusak karena suhu atau yang telah kadaluarsa.

2.    Limbah non Infeksius

 

Limbah non Infeksius kegiatan Imunisasi merupakan limbah yang ditimbulkan setelah pelayanan Imunisasi yang tidak berpotensi menularkan  penyakit  kepada  orang  lain,  misalnya  kertas pembungkus alat suntik serta kardus pembungkus vaksin.


 

 

 

Penanganan limbah yang tidak benar akan mengakibatkan berbagai dampak terhadap kesehatan baik langsung maupun tidak langsung.

1.    Dampak  langsung

 

Limbah kegiatan Imunisasi mengandung berbagai macam mikroorganisme patogen, yang dapat memasuki tubuh manusia melalui tusukan, lecet, atau luka di kulit.   Tenaga pelaksana Imunisasi adalah kelompok yang berisiko paling besar terkena infeksi akibat limbah kegiatan Imunisasi seperti Infeksi virus antara lain: HIV/AIDS, Hepatitis B dan Hepatitis   C. Risiko serupa juga bisa dihadapi oleh tenaga   kesehatan lain dan pelaksana pengelolaan limbah di luar tempat pelayanan Imunisasi termasuk para pemulung di lokasi pembuangan akhir.

2.    Dampak  tidak langsung

 

Sisa vaksin yang terbuang bisa mencemari dan menimbulkan mikroorganisme lain yang dapat menimbulkan risiko tidak langsung terhadap lingkungan. Berbagai risiko yang mungkin timbul akibat pengelolaan  limbah Imunisasi yang tidak agar dihindari.

 

Beberapa  prinsip  dalam  pelaksanaan  pengelolaan  limbah  adalah sebagai berikut:

1.    The ”polluter pays” principle atau prinsip “pencemar yang membayar” bahwa              semua   penghasil   limbah   secara   hukum   dan   finansial bertanggung jawab untuk menggunakan metode yang aman dan ramah lingkungan dalam pengelolaan limbah.

2.    The  ”precautionary principle  atau prinsip ”pencegahan” merupakan prinsip               kunci    yang    mengatur    perlindungan    kesehatan    dan keselamatan               melalui  upaya  penanganan  yang  secepat  mungkin dengan asumsi risikonya dapat terjadi cukup signifikan.

3.    The ”duty of care” principle atau prinsip “kewajiban untuk waspada” bagi  yang  menangani  atau  mengelola  limbah  berbahaya  karena secara etik bertanggung jawab untuk menerapkan kewaspadaaan tinggi.

4.    The ”proximity” principle atau prinsip ”kedekatan” dalam penanganan limbah berbahaya untuk meminimalkan risiko dalam pemindahan.


 

 

 

Pengelolaan limbah medis infeksius

 

1.    Limbah infeksius tajam

 

Ada beberapa alternatif dalam melakukan pengelolaan limbah infeksius tajam, yaitu dengan   incinerator, bak beton, alternatif pengelolaan jarum, alternatif pengelolaan syringe.

 

Gambar 5. Pengelolaan Limbah Infeksius

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

a.    Dengan Incinerator

 

Pengelolaan    limbah    medis    infeksius    tajam    dengan menggunakan Incinerator

 

Gambar 6. Pengelolaan Limbah Dengan Incenarator

 

 

1)     Tanpa melakukan penutupan jarum kembali,   alat suntik bekas            dimasukan   kedalam   safet box   segera   setelah melakukan penyuntikan.

2)     Safety box   adalah kotak tahan   air dan tusukan jarum yang dipakai untuk menampung limbah ADS sebelum dimusnahkan, terbuat dari kardus atau plastik.

3)    Safety box maksimum diisi sampai ¾ dari volume.

 

4)     Pembakaran dengan menggunakan  Incinerator  yang sudah berizin,               persyaratan   teknis   insinerator   mengacu   pada Peraturan perundang-undangan yang terkait .


 

 

 

b.    Alternatif dengan Bak Beton

 

Pengelolaan    limbah    medis    infeksius    tajam    dengan menggunakan pembuangan bak beton.

 

Gambar 7. Alternatif Pengelolaan Limbah ADS Dengan Bak Beton

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1)     Tanpa melakukan penutupan jarum kembali (no recapping), jarum bekas langsung dimasukkan kedalam safety box segera setelah melakukan penyuntikan.

2)     Safety box beserta jarum bekas dimasukkan  kedalam bak beton.

3)     Model bak beton dengan ukuran lebar 2 x 2 meter minimal kedalaman                     mulai   1,5   meter,   bak   beton   ini   harus mempunyai                     penutup kuat dan aman

c.    Alternatif Pengelolaan Jarum

 

Gambar 8. Alternatif Pengelolaan Limbah ADS Dengan encapsulation atau sharp pit

 

 

 

1)     Setelah  melakukan  penyuntikan,  dilakukan  pemisahan jarum dengan plastik  syringe  dengan menggunakan needle cutter atau needle burner. Jarum yang telah terpisah dari syringe  dimasukan kedalam encapsulation atau sharp pit.

2)     Alat pemisah antara jarum dengan   syringe plasti dapat menggunakan alat needle cutter atau needle destroyer.


 

 

 

Gambar 9. Alat Pemotong ADS

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

d.    Alternatif Pengelolaan Syringe (1)

 

Gambar 10. Alternatif Pengelolan ADS

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Setelah dilakukan pemisahan antara jarum dengan plastik syringe, plastik  syringe  ditampung terlebih dahulu melalui bak penampung,  selanjutnya  dihancurkan  dengan  menggunakan alat  shredding. Plastik syringe  yang telah hancur dimasukan ke dalam pit.

e.    Alternatif Pengelolaan Syrine (2)

 

1)     Selain dimasukkan kedalam pit, plastik syringe dapat juga didaur ulang (recycling).

2)    Syringe plastik yang sudah terpisah dari jarum, dicampur

 

dan direndam dalam cairan Chlorine solution 0,5 % selama

 

+ 30 menit atau disterilisasi dengan sterilisator selama 20 menit, kemudian syringe plastik dicacah/dihancurkan sehingga menjadi bijih (butiran) plastik dan dapat didaur ulang.

2.    Limbah Infeksius non tajam

 

a.     Pemusnahan  limbah  farmasi  (sisa  vaksin)  dapat  dilakukan dengan  mengeluarkan  cairan  vaksin  dari  dalam  botol  atau ampul,  kemudian  cairan  vaksin  tersebut didesinfeksi terlebih dahulu dalam killing tank (tangki desinfeksi) untuk membunuh mikroorganisme  yang  terlibat  dalam  produksi.  Limbah  yang


 

 

 

telah didesinfeksi dikirim atau dialirkan ke Instalasi Pengelolaan

 

Air Limbah (IPAL).

 

b.     Sedangkan botol atau ampul yang telah kosong dikumpulkan ke dalam             tempat   sampah   (kantong   plastik)   berwarna  kuning selanjutnya    diinsenerasi    (dibakar    dalam    incinerator)atau menggunakan    metode    non    insenerasi    (al.    autoclaving, microwave)

 

 

G.   Pemantauan dan Evaluasi

 

1.    Pemantauan

 

Salah satu fungsi penting dalam manajemen program adalah pemantauan. Dengan pemantauan kita dapat menjaga agar masing- masing kegiatan sejalan dengan ketentuan program. Ada beberapa alat pemantauan yang dimiliki:

a.    Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)

 

Alat pemantauan ini berfungsi untuk meningkatkan cakupan, jadi sifatnya lebih memantau kuantitas program. Dipakai pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1985 dan dikenal  dengan  nama    Local  Area  Monitoring     (LAM).  LAM terbukti efektif kemudian diakui oleh WHO untuk diperkenalkan di negara lain. Grafik LAM kemudian disempurnakan menjadi yang kita kenal sekarang dengan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS).

 

Prinsip PWS

 

1)     Memanfaatkan   data   yang   ada:   dari   cakupan/laporan cakupan Imunisasi.

2)    Menggunakan  indikator  sederhana  tidak  terlalu  banyak.

 

Indikator PWS, untuk masing-masing antigen:

 

a)     Hepatitis    0-7   hari    Jangkauan/aksesibilitas pelayanan

b)    BCG: Jangkauan/aksesibilitas pelayanan

 

c)    DPT-HB-Hib 1: Jangkauan/aksesibilitas pelayanan d)    Campak: Tingkat (efektivitas program)

e)    Polio4:Tingkat perlindungan (efektivitas program)

 

f)     Drop       out       DPT-HB-Hib       1       –       Campak: Efisiensi/manajemen program


 

 

 

3)    Dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan setempat.

 

4)    Teratur dan tepat waktu   (setiap bulan)

 

a)     Teratur   untuk   menghindari   hilangnya   informasi penting.

b)    Tepat  waktu  agar  tidak  terlambat  dalam mengambil keputusan.

5)     Lebih  dimanfaatkan  sendiri  atau  sebagai  umpan  balik untuk              dapat    mengambil    tindakan    daripada    hanya dikirimkan sebagai laporan.

6)     Membuat     grafik     dan     menganalisa     data     dengan menggunakan software PWS dalam program microsoft excel.

b.    Data Quality Self Assessment (DQS)

 

Data Quality Self Assessmen (DQS) terdiri dari suatu perangkat alat bantu yang   mudah dilaksanakan dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dan dirancang untuk pengelola Imunisasi pada tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota untuk mengevaluasi aspek-aspek yang berbeda dari sistim pemantauan  Imunisasi di provinsi, kabupaten/kota dan tingkat puskesmas, dalam rangka untuk menentukan keakuratan laporan Imunisasi, dan kualitas dari sistim pemantauan Imunisasi.

Pemantauan mengacu pada pengukuran pencapaian cakupan Imunisasi dan indikator sistim lainnya (contoh: pemberian Imunisasi yang aman, manajemen vaksin, dan lain- lain). Pemantauan berkaitan erat dengan pelaporan karena juga melibatkan kegiatan pengumpulan data dan prosesnya.

DQS dimaksudkan untuk mendapatkan masalah-masalah melalui analisa dan mengarah pada peningkatan kinerja pemantauan kabupaten/kota dan data untuk perbaikan. DQS bertujuan   untuk   menilai   kualitas   dan   kuantitas   kinerja Imunisasi dengan menilai alat pantau melalui pertanyaan- pertanyaan yang dimasukkan ke dalam tool DQS. Kualitas ditunjukkan dengan jaring laba-laba, kuantitas ditunjukkan dengan grafik batang. DQS dilakukan setiap tahun. oleh karena itu perhatian yang terus-menerus dapat diberikan untuk meningkatkan praktek pemantauan dan aktifitas menajemen Imunisasi.


 

 

 

c.    Effective Vaccine Management (EVM)

 

EVM adalah suatu cara untuk melakukan penilaian terhadap manajemen penyimpanan vaksin, sehingga dapat mendorong suatu provinsi untuk memelihara dan melaksanakan manajemen  dalam  melindungi  vaksin. Pengalaman menunjukkan bahwa tempat penyimpanan dingin primer adalah unsur  yang  paling  kritis  dalam  sistem  Imunisasi  karena  di tempat inilah vaksin diterima, disimpan dan didistribusikan dalam  jumlah  besar.  Pada  saat  terdapat kegagalan peralatan atau pengelolaan pada tingkat primer, sejumlah besar vaksin dapat rusak hanya dalam beberapa jam.

Pelayanan Imunisasi di seluruh negara dapat berisiko dan keuangan dapat mengalami kerugian berjuta-juta dolar. Hal ini bukan hanya teori,  tapi hal itu telah terjadi. Untuk mencegah atau menghindari ancaman dari kegagalan yang besar itu, maka peralatan perlu diadakan, dioperasikan dan dipelihara sesuai standar  internasional  tertinggi,  dan  vaksin  harus  ditangani secara rinci. Dengan cara yang sama, standar tinggi perlu dipelihara pada tempat penyimpanan tingkat bawahnya, tetapi komitmen dan usaha pada tingkat bawah  ini mungkin sia-sia bila tempat penyimpanan primer tidak memadai.

EVM didasarkan pada prinsip jaga mutu. Kualitas vaksin hanya dapat dipertahankan jika produk disimpan dan ditangani dengan   tepat   mulai   dari   pembuatan   hingga   penggunaan. Manager dan penilai luar hanya dapat menetapkan bahwa kualitas terjaga bila rincian data arsip dijaga dan dapat dipercaya. Jika arsip tidak lengkap atau tidak akurat, sistem penilaian  tidak  dapat  berjalan  dengan  baik.  Sekalipun  jika vaksin disimpan dan didistribusikan secara benar, sistem yang tidak dapat dinilai berarti tidak ‘terjamin mutunya’ dan tidak dapat dinilai sebagai ‘memuaskan’ dalam EVM.

d.    Supervisi Suportif

 

Supervisi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan meliputi pemantauan, pembinaan, dan pemecahan masalah serta tindak lanjut. Kegiatan ini sangat berguna untuk melihat bagaimana program atau  kegiatan  dilaksanakan  sesuai  dengan  standar  dalam


 

 

 

rangka menjamin tercapainya tujuan kegiatan Imunisasi. Supervisi suportif didorong untuk dilakukan dengan terbuka, komunikasi  dua  arah  dan  membangun  pendekatan tim yang memfasilitasi pemecahan masalah. Ini difokuskan pada pemantauan kinerja terhadap target, menggunakan data untuk mengambil keputusan dan di pantau oleh petugas untuk memastikan bahwa ilmu atau strategi yang baru tersebut dilaksanakan dengan baik.     Kegiatan supervisi dapat dimanfaatkan pula untuk melaksanakan on  the  job  training” terhadap petugas di lapangan. Diharapkan dengan supervisi ini, dari waktu ke waktu, petugas akan menjadi lebih terampil baik segi teknis maupun manajerial. Supervisi diharapkan akan menimbulkan motivasi untuk meningkatkan kinerja petugas lapangan.

e.    Surveilans Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi(KIPI)

 

Surveilans KIPI atau surveilans keamanan vaksin merupakan suatu strategi penyelesaian laporan KIPI.

Kegiatan yang dilakukan   berupa pengobatan/perawatan, pemantauan,pelaporan, danpenanggulangan (kajian dan rekomendasi oleh komite independen) terhadap semuareaksi simpang/KIPI yang terjadi setelah pemberian Imunisasi. Pelaporan dan kajian KIPI dilaksanakan dengan menggunakan instrumen website keamanan vaksin.

f.     Recording and Reporting (RR)

 

Setiap  fasilitas  pelayanan  kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala serta berjenjang kepada Menteri melalui Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud meliputi cakupan Imunisasi, stok dan pemakaian vaksin, auto disable syringe, dansafety box, monitoring suhu, kondisi peralatan cold chain, dan kasus KIPI atau  diduga  KIPI.  Khusus  untuk  laporan  KIPI  dilaporakan melalui website keamanan vaksin.

Pelaksana    pelayanan Imunisasi    harus melakukan pencatatan terhadap pelayanan Imunisasi yang dilakukan.


 

 

 

Pencatatan pelayanan Imunisasi  rutin dilakukan di  buku Kesehatan Ibu dan Anak, buku kohort ibu/bayi/ balita, buku Rapor Kesehatanku, dan buku rekam medis.

Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin yang dilakukan di pelayanan kesehatan swasta wajib dilaporkan setiap bulan ke Puskesmas wilayahnya dengan menggunakan format yang berlaku.

Pencatatan pelayanan Imunisasi tambahan dan khusus dicatat dan dilaporkan dengan format khusus secara berjenjang kepada Menteri melalui Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Laporan lengkap diterima selambat-lambatnya sebulan setelah pelaksanaan.

g.    Stock Management System (SMS)

 

Stock Management System adalah cara untuk memudahkan para pengelola Imunisasi dalam hal pencatatan baik vaksin maupun logistik lainnya dengan menggunakan metode komputerisasi. Pencatatan stock dengan sistem ini sangat menolong pengelola program Imunisasi dalam hal perencanaan, pendistribusian, maupun permintaan vaksin dan logistik lain untuk   kebutuhan   program   Imunisasi   daerahnya.   Setiap pengelola program Imunisasi diharapkan dapat melakukan manajemen stock, dengan menggunakan tools SMS yang telah disediakan. Dengan menggunakan sistem ini diharapkan ketersediaan vaksin dapat didistribusikan seefisien mungkin.

h.    Cold Chain Equipment Management (CCEM) untuk inventarisasi dan monitoring evaluasi peralatan Cold Chain

Inventarisasi peralatan cold chain adalah suatu bentuk kegiatan untuk melakukan intevarisasi peralatan cold chain di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas, dan unit pelayanan Imunisasi lainnya. Metode untuk melakukan inventarisasi peralatan coldchain ini dapat menggunakan format excel atau dengan menggunakan instrumen antara lain CCEM, DHIS 2.

i.     Rapid Convenience Assessment (RCA)

 

Merupakan penilaian cepat untuk mengukur akurasi hasil cakupan Imunisasi di komunitas. Kegiatan ini juga bertujuan


 

 

 

untuk mencari informasi alasan anak-anak/ibu tidak mendapatkan/melakukan Imunisasi atau mengapa mereka tidak kembali untuk menyelesaikan jadwal Imunisasi yang lengkap.Kegiatan ini dilakukan dengan cara melakukan kunjungan  ke  rumah  yang  terdekat  dengan pusat pelayanan kesehatan sampai ditemukan minimal 20 sasaran Imunisasi.

j.     Survei Cakupan Imunisasi

 

Survei cakupan Imunisasi ini merupakan pemantauan secara eksternal terhadap kualitas dan kuantitas data serta pelayanan Imunisasi. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib melaksanakan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan Imunisasi.

2.    Evaluasi

 

Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam kegiatan evaluasi dilakukan secara berkala dalam Imunisasi. Berdasarkan sumber data, ada dua macam evaluasi:

a.    Evaluasi dengan Data Sekunder

 

Dari  angka-angka  yang  dikumpulkan  oleh    puskesmas selain  dilaporkan  perlu  dianalisis.  Bila  cara  menganalisisnya baik dan teratur, akan memberikan banyak informasi penting yang dapat menentukan kebijaksanaan program.

1)    Stok Vaksin

 

Stok vaksin dilaporkan oleh petugas puskesmas, kabupaten dan provinsi ke tingkat yang di atasnya untuk pengambilan atau distribusi vaksin. Grafik dibuat menurut waktu, dapat dibandingkan dengan cakupan dan batas stok maksimum dan minimum untuk menilai kesiapan stok vaksin menghadapi kegiatan program. Data stok vaksin diambil dari kartu stok.

2)    Indeks Pemakaian Vaksin

 

Dari pencatatan stok vaksin setiap bulan diperoleh jumlah vial/ampul vaksin yang digunakan. Untuk mengetahui berapa rata-rata jumlah dosis diberikan untuk setiap vial/ampul, yang disebut indeks pemakaian vaksin (IP). Perhitungan IP dilakukan untuk setiap jenis vaksin.


 

 

 

Nilai IP biasanya lebih kecil dari jumlah dosis per vial/ampul.   Hasil   perhitungan   IP   menentukan   berapa jumlah vaksin yang harus disediakan untuk tahun berikutnya. Bila hasil perhitungan IP dari tahun ke tahun untuk masing-masing vaksin divisualisasikan, pengelola program akan lebih mudah menilai apakah strategi operasional yang diterapkan di puskesmas sudah memperhatikan masalah efisiensi program tanpa mengurangi cakupan dan mutu pelayanan.

3)    Suhu Vaccine Refrigerator

 

Pencatatan suhu Vaccine Refrigerator atau freezer dilakukan setiap hari pada grafik suhu yang tersedia untuk masing-masing unit penyimpanan vaksin (tercantum dalam formulir 26 terlampir).   Pencatatan suhu dilakukan 2 kali setiap hari pagi dan sore hari.  Dengan menambah catatan saat  terjadinya  peristiwa  penting  pada  grafik  tersebut, seperti  sweeping,  KLB,  KIPI,  penggantian  suku  cadang, grafik suhu ini akan menjadi sumber informasi penting.

4)    Cakupan per Tahun

 

Untuk setiap antigen grafik cakupan per tahun dapat memberikan gambaran secara keseluruhan tentang adanya kecendrungan:

a)    Tingkat pencapaian cakupan Imunisasi.

 

b)    Indikasi adanya masalah.

 

c)     Acuan untuk memperbaiki kebijaksanaan atau strategi yang perlu diambil untuk tahun berikutnya.

b.    Evaluasi dengan Data Primer

 

1)    Survei Cakupan (Coverage Survey)

 

Tujuan utama adalah untuk mengetahui tingkat cakupan Imunisasi dan tujuan lainnya adalah untuk memperoleh informasi tentang distribusi umur saat diImunisasi, mutu pencatatan danpelaporan, sebab kegagalan Imunisasi dan tempat memperoleh Imunisasi. Metodologi :

a)    Jumlah sampel yang diperlukan 210 anak.

 

b)    Cara pengambilan sample adalah 30 cluster.


 

 

 

c)     Lokasi  cluster  ditentukan  secara  acak/random,  (2 stage cluster sampling).

d)    Untuk tiap cluster diperlukan 210/30 = 7 sample lihat petunjuk teknis survei cakupan.

e)     Periode cakupan yang akan di   cross-check   dengan survei ini menentukan umur responden.

f)     Alat yang digunakan kuesioner standar.

 

2)    Survei Dampak

 

Tujuan utama adalah   untuk menilai keberhasilan Imunisasi  terhadap  penurunan  morbiditas  penyakit tertentu, misalnya:

a)    Pencapaian     eliminasi  tetanus  neonatorum     yang

 

ditunjukkan  oleh  insidens  rate  <1/10.000  kelahiran hidup.

b)    Pencapaian  eradikasi  polio  yang  ditunjukkan  oleh insiden rate 0.

c)     Pencapaian  reduksi  mortalitas  campak  sebesar  90% dan morbidilitas sebesar 50% dari keadaan sebelum program.

Tujuan lainnya adalah untuk memperoleh gambaran epidemiologis PD3I seperti distribusi penyakit menurut umur, tempat tinggal dan faktor-faktor resiko.

3)    Uji Potensi Vaksin

 

Tujuan utama adalah untuk mengetahui potensi dan keamanan dari vaksin serta   untuk mengetahui kualitas cold chain/pengelolaan vaksin.

Badan   Litbangkes   melakukan   uji   potensi   untuk menilai secara umum kualitas vaksin yang dipakai dalam Imunisasi program. Badan POM melakukan uji potensi vaksin bila ditemui indikasi tertentu seperti KIPI.

 

Metodologi :

 

a)     Yang dipakai sebagai indikator/sample adalah: vaksin DPT-HB-Hib (sensitif terhadap pembekuan); dan vaksin polio (sensitif terhadap panas).


 

 

 

b)    Batas minimal vaksin polio yang poten adalah: (1)   type 1   106.0  CCID 50

(2)   type 2   105.0 CCID 50 (3)   type 3   105.5 CCID 50

c)     Dalam vaksin DPT-HB-Hib potensi  50 vaksin tetanus minimal adalah 60 IU/dosis, batas minimal vaksin pertussis yang poten adalah 4 IU / dosis.

d)    Sample diambil dari tempat penyimpanan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan puskesmas. Jumlah sample        untuk  masing-masing  tempat  penyimpanan adalah 3 (tiga) vial.


 

 

 

BAB IV

 

KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)

 

 

 

Seiring dengan cakupan Imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat dan sebagai  akibatnya kejadian berupa reaksi simpang yang diduga berhubungan dengan Imunisasi juga meningkat. Hal ini bisa dilihat dalam maturasi Imunisasi yang digambarkan oleh Robert T. Chen.

 

Gambar 11. Maturasi Program Imunisasi

 

Fase

Fase

Fase

Fase

Fase

1

2

3

4

5

Prevaksinasi                   Cakupan    Kepercayaan Kepercayaan   Eradikasi

meningkat masyarakat      timbul menurun          kembali

Kejadian, jumlah kasus (penyakit)

 

I

n

 

 

 

 

Imunisasi berhenti

s

 

 

 

 

i

 

 

 

 

d

 

 

 

 

e

n

Cakupan imunisasi

 

KLB

 

 

P

 

 

 

 

D

 

 

 

 

3

 

KIPI

 

 

I

 

 

 

 

Eradikasi

 

 

Maturasi Program Imunisasi

 

 

Keterangan:

 

1.    Prevaksinasi.

 

Pada saat ini insidens penyakit masih tinggi (jumlah kasus banyak), Imunisasi belum dilakukan sehingga KIPI belum menjadi masalah.

2.    Cakupan meningkat.

 

Pada  fase  ini,  Imunisasi  telah  menjadi  program  di  suatu  negara, maka makin lama cakupan makin meningkat yang berakibat penurunan insidens penyakit. Seiring dengan peningkatan cakupan Imunisasi terjadi peningkatan KIPI di masyarakat.

3.    Kepercayaan masyarakat (terhadap Imunisasi) menurun.

 

Meningkatnya KIPI dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program Imunisasi. Fase ini sangat berbahaya oleh karena akan menurunkan cakupan Imunisasi, walaupun   kejadian KIPI tampak   menurun tetapi berakibat meningkatnya kembali insidens penyakit sehingga terjadi kejadian luar biasa (KLB).


 

 

 

4.    Kepercayaan masyarakat timbul kembali.

 

Apabila KIPI dapat diselesaikan dengan baik, yaitu pelaporan dan pencatatan yang baik, penanganan KIPI segera, maka kepercayaan masyarakat terhadap  program Imunisasi akan pulih kembali. Pada saat ini, cakupan Imunisasi yang tinggi akan tercapai kembali dan diikuti penurunan angka kejadian penyakit, walaupun KIPI tampak akan meningkat lagi.

5.    Eradikasi.

 

Hasil  akhir    program  Imunisasi  adalah  eradikasi  suatu  penyakit. Pada   fase   ini   telah   terjadi   maturasi   kepercayaan   masyarakat terhadap Imunisasi, walaupun KIPI tetap dapat dijumpai.

Robert T. Chen telah membuat prakiraan perjalanan program Imunisasi dihubungkan dengan maturasi kepercayaan masyarakat dan dampaknya pada angka kejadian penyakit. Keberhasilan Imunisasi akan diikuti dengan pemakaian vaksin dalam dosis besar. Namun, pada perjalanan program Imunisasi akan memacu proses maturasi persepsi masyarakat sehubungan dengan efek samping vaksin yang mungkin timbul sehingga berakibat munculnya kembali penyakit dalam bentuk kejadian luar biasa (KLB). Perlu upaya yang maksimal dalam mengelola KIPI sehingga timbul kembali kepercayaan masyarakat terhadap Imunisasi dan tujuan Imunisasi berupa eradikasi, eliminasi dan reduksi PD3I akan bisa dicapai.

Jenis dan pelaporan KIPI dibedakan atas KIPI serius dan Non Serius. KIPI serius (Serious Adverse Event/SAE) atau KIPI berat   adalah setiap kejadian medis setelah Imunisasi yang menyebabkan rawat inap kecacatan, dan kematian   serta   yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dilaporkan setiap  ada  kejadian  dan  berjenjang  dilengkapi investigasi untuk dilakukan kajian serta rekomendasi oleh Komda dan atau Komnas PP KIPI. (tercantum dalam formulir  1, formulir 2, dan formulir 3 terlampir)

KIPI non serius   atau KIPI ringan adalah kejadian medis yang terjadi

 

setelah Imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan si penerima. Dilaporkan rutin setiap bulan bersamaan dengan hasil cakupan Imunisasi (tercantum dalam formulir  27 terlampir).

Rekomendasi WHO mengenai pemantauan KIPI tertuang pada pertemuan

 

WHO-SEARO tahun 1996 sebagai berikut:

 

1.    Imunisasi  harus mempunyai perencanaan rinci dan terarah sehingga dapat memberikan tanggapan segera pada laporan KIPI


 

 

 

2.    Setiap KIPI serius harus dianalisis oleh tim yang terdiri dari para ahli epidemiologi   dan   profesi   (di   Indonesia   oleh   Komite   Nasional Pengkajian dan Penangulangan KIPI/Komnas PP KIPI) dan temuan tersebut harus disebarluaskan melalui jalur Imunisasi dan media massa

3.    Imunisasi  harus  segera  memberikan  tanggapan  secara  cepat  dan akurat kepada media massa, perihal dugaan kasus KIPI yang terjadi

4.    Pelaporan KIPI karena kesalahan prosedur misalnya abses, BCGitis, harus dipantau demi perbaikan cara penyuntikan yang benar di kemudian hari

5.    Imunisasi  harus  melengkapi  petugas  lapangan  dengan  formulir pelaporan kasus, definisi KIPI yang jelas, dan instruksi yang rinci perihal jalur pelaporan

6.    Imunisasi  perlu  mengkaji  laporan  KIPI  dari  pengalaman  dunia

 

internasional  sehingga  dapat  memperkirakan  besar  masalah  KIPI

 

yang dihadapi.

 

 

 

A.    Tata Cara Penanganan KIPI

 

Beberapa ketentuan dalam penanganan KIPI adalah:

 

1.    Setiap KIPI yang dilaporkan oleh petugas maupun  oleh masyarakat harus dilacak, dicatat, dan ditanggapi oleh pelaksana Imunisasi;

2.    KIP harus   dilaporkan   oleh   pelaksana   Imunisasi   ke   tingkat administrasi yang lebih tinggi;

3.    Untuk   setiap   KIPI masyarakat   berhak   untuk   mendapatkan penjelasan resmi atas hasil analisis resmi yang dilakukan Komda PP KIPI atau Komnas PP KIPI;

4.    Hasil  kajian  KIPI  oleh  Komda  PP  KIPI  atau  Komnas  PP  KIPI

 

dipergunakan untuk perbaikan Imunisasi; dan

 

5.    Pemerintah dan pemerintah daerah turut bertanggung jawab dalam penanggulangan   KIPI   di   daerahnya   atau   sistem   penganggaran lainnya.

Komnas  PP  KIPI  mengelompokkan  etiologi  KIPI  dalam  2  (dua)

 

klasifikasi yaitu klasifikasi etiologi lapangan dan klasifikasi kausalitas.

 

1.    Klasifikasi Etiologi Lapangan

 

Sesuai  dengan  manfaat  di  lapangan  maka  Komnas  PP  KIPI

 

berdasarkan kriteria WHO Causality Assessment of an Adverse Event


 

 

 

Following Immunization (AEFI) dan Global manual on surveillance  of adverseevents following immunization.

Klasifikasi etiologi lapangan terdiri dari:

 

a.     Vaccine product-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan produk vaksin)

b.    Vaccine  quality  defect-related  reaction  (reaksi  yang  berkaitan dengan defek kualitas vaksin)

c.    Immunization error-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan

 

adanya penyimpangan dalam pemberian Imunisasi)

 

d.    Immunization  anxiety-related  reaction  (reaksi  yang  berkaitan dengan kecemasan yang berlebihan yang berhubungan dengan Imunisasi)/ reaksi suntikan

e.    Coincidental event (kejadian yang secara kebetulan bersamaan).

 

2.    Klasifikasi kausalitas

 

Klasifikasi kausalitas mengelompokkan KIPI menjadi  4 (empat)

 

kelompok yaitu:

 

a.    Klasifikasi konsisten

 

Klasifikasi yang namun bersifat temporal oleh karena bukti tidak cukup untuk menentukan hubungan kausalitas.

1)     Data rinci KIPI harus di simpan di arsip data dasar tingkat nasional

2)     Bantu   dan   identifikasi   petanda   yan mengisyaratkan adanya aspek baru yang berpotensi untuk terjadinya KIPI yang mempuyai hubungan kausal Imunisasi.

b.    Klasifikasi inderteminate

 

Klasifikasi berbasis bukti yang ada dan dapat diarahkan pada beberapa kategori definitif.

Klarifikasi informasi tambahan yang dibutuhkan agar dapat membantu finalisasi penetapan kausal dan harus mencari informasi dan pengalaman dari nara sumber baik nasional, maupun internasional.

c.    Klasifikasi inkonsisten

 

Suatu   kondisi   utama   atau   kondisi   yang   disebabkan paparan terhadap sesuatu selain vaksin

d.    Klasifikasi Unclassifiable

 

Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk memungkinkan dilakukan penilaian dan identifikasi penyebab.


 

 

 

 

 

B.    Pemantauan KIPI

 

Untuk mengetahui hubungan antara Imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan pelaporan semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian Imunisasi yang merupakan kegiatan dari surveilans KIPI. Surveilans KIPI tersebut sangat membantu Imunisasi, untuk mengetahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah terjadi secara kebetulan hal ini penting untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya Imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.

Pemantauan KIPI  yang efektif melibatkan:

 

1.    Masyarakat  atau  petugas  kesehatan  di  lapangan,  yang  bertugas melaporkan    bila   ditemukan   KIPI   kepada   petugas   kesehatan Puskesmas setempat;

2.    Supervisor     tingkat     Puskesmas     (petugas     kesehatan/Kepala Puskesmas)    dan    Kabupaten/Kota,    yang    melengkapi    laporan kronologis KIPI;

3.    Tim KIPI  tingkat Kabupaten/Kota, yang menilai laporan KIPI dan menginvestigasi KIPI apakah memenuhi kriteria klasifikasi lapangan, dan melaporkan kesimpulan investigasi ke Komda PP KIPI;

4.    Komda PP KIPI;

 

5.    Komnas PP KIPI; dan

 

6.    Badan  Pengawas  Obat  dan  Makanan,  yang  bertanggung  jawab terhadap keamanan Vaksin.

Tujuan utama pemantauan KIPI adalah untuk mendeteksi dini, merespon KIPI dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif Imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap Imunisasi. Hal ini merupakan indikator kualitas program.   Bagian yang terpenting dalam pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi KIPI secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisis untuk mengidentifikasi dan merespon suatu masalah. Respon merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI.

Pemantauan KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan, pelacakan, analisis kejadian, tindak lanjut, pelaporan dan evaluasi, seperti tertera pada diagram berikut:


 

 

 

Gambar 12. Alur Pelaporan dan Pelacakan Kasus KIPI

 

 


Penemuan Laporan


 

 

24 jam


Informasi dari Masyarakat

Petugas Kesehatan



1.Pengobatan/Perawatan Jika diperlukan

 

2.Pelaporan, Pelacakan/Investigasi

 

Konfirmasi       : Positif  atau negatif

 

 Identifikasi      : Kasus Vaksin Petugas

Tata laksana

Sikap Masyarakat

 

 Tunggal/berkelompok

 

 Apakah ada kasus lain  yang serupa


 

 

 

 

Petugas Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi


 


Analisis  Sementara  Penyebab dan Klasifikasi KIPI melengkapi investigasi


 

Pokj KIPI Kabupaten/Kota


 

 

 


Tindak  Lanjut

 

Pengobatan

 

 Komunikasi

 

 Perbaikan Mutu Pelayanan


 

 

Puskesmas                            RS


 

 

Dinas  Kes Kab.

 

 

 


Website  Keamanan Vaksin

 

Kajian  Laporan

 

Etiologi  Lapangan

 

 Kausalitas


KomDa PP KIPI


KomNas

PP-KIPI


 

Subdit  Imunisasi  , BPOM

 

 

 

 

 

 

 

Pada keadaan tertentu  KIPI yang menimbulkan perhatian berlebihan dari masyarakat, maka pelaporan dapat dilakukan langsung kepada Kementerian Kesehatan cq. Sub Direktorat Imunisasi/Komnas PP KIPI. Skema alur kegiatan pelaporan dan pelacakan KIPI, mulai dari penemuan KIPI di   masyarakat kemudian dilaporkan dan dilacak hingga akhirnya dilaporkan pada Menteri Kesehatan seperti skema berikut:


 

 

 

Gambar 13. Alur Pelaporan dan Kajian KIPI

 

 

 

Menteri Kesehatan

 

 

Komnas PP-KIPI                                          Ditjen PP & PL                                      BPOM Cq. Subdit Imunisasi


 

 

Website Keamanan Vaksin


Produsen

Vaksin


 

Komda PP-KIPI                                         Dinas Kesehatan                             Balai POM Provinsi

 

Dinas Kesehatan                            Rumah Sakit

Kabupaten/Kota

 


 

Memberikan laporan Mengirimkan laporan Pelacakan

 

Koordinasi


Puskesmas

 

 

 

Masyarakat


 

 

Dari gambar di atas masyarakat akan melaporkan adanya KIPI ke Puskesmas,   UPS   atau   RS.   Kemudian   UPS   akan   melaporkan   ke Puskesmas, sementara Puskesmas dan RS akan melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk kasus KIPI serius maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota akan melakukan konfirmasi kebenaran kasus KIPI serius tersebut, bila ternyata benar maka akan melaporkan ke Dinas Kesehatan  Provinsi.  Kemudian  bila  perlu  dilakukan  investigasi,  maka Dinas Kesehatan Provinsi akan berkoordinasi dengan Komda PP KIPI dan Balai POM Provinsi serta melaporkan kedalam website keamanan vaksin untuk dilakukan kajian oleh komite independen (KOMDA dan atau KOMNAS PP KIPI). (format laporan KIPI tercantum dalam formulir 1, formulir 2, dan formulir 3 terlampir).

 

 

C.    Kurun Waktu Pelaporan

 

Laporan seharusnya selalu dibuat secepatnya sehingga keputusan dapat dibuat secepat mungkin untuk tindakan atau pelacakan. Kurun waktu pelaporan agar mengacu pada   tabel di bawah. Pada keadaan tertentu, laporan satu KIPI dapat dilaporkan beberapa kali sampai ada kesimpulan  akhir  dari  kasus.  Kurun  waktu  pelaporan  berdasarkan jenjang administrasi yang menerima laporan terlihat seperti tabel dibawah ini:


 

 

 

Tabel 16. Kurun waktu pelaporan KIPI Serius

 

Jenjang Administrasi

Kurun Waktu Diterimanya Laporan

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

24 jam dari saat penemuan kasus

Dinas Kesehatan Provinsi/ Komda PP-KIPI (melalui website keamanan vaksin)

 

24-72 jam dari saat penemuan kasus

Sub Direktorat Imunisasi/ Komnas PP-KIPI

(melalui website keamanan vaksin)

 

24 jam-7 hari dari saat penemuan kasus

 

Kurun    waktu    pelaporan    KIPI    diatas    berdasarkan    jenjang

 

Administrasi dan kurun waktu diterimanya laporan KIPI serius. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian pada pelaporan KIPI :

1.    Identitas:  nama anak, tanggal dan tahun lahir (umur), jenis kelamin, nama orang tua dan alamat.

2.    Waktu dan tempat pemberian Imunisasi (tanggal, jam, lokasi).

 

3.    Jenis vaksin yang diberikan, cara pemberian, dosis, nomor   batch, siapa yang memberikan, bila disuntik tuliskan lokasi suntikan.

4.    Saat timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui berapa lama interval

 

waktu antara pemberian Imunisasi dengan terjadinya KIPI.

 

5.    Adakah gejala KIPI pada Imunisasi terdahulu?

 

6.    Bila gejala klinis atau diagnosis yang terdeteksi tidak terdapat dalam kolom isian, maka dibuat dalam laporan tertulis.

7.    Pengobatan   yang   diberikan   dan   perjalanan   penyakit   (sembuh, dirawat atau meninggal).

8.    Sertakan hasil laboratorium yang pernah dilakukan.

 

9.    Apakah terdapat gejala sisa, setelah dirawat dan sembuh.

 

10.  Tulis juga apabila terdapat penyakit lain yang menyertainya.

 

11.  Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI (kronologis).

 

12.  Adakah tuntutan dari keluarga.

 

13.  Nama dokter yang bertanggung jawab.

 

14.  Nama pelapor KIPI.

 

 

 

D.   Faktor Pendukung Pelaporan KIPI

 

Agar  petugas  kesehatan  mau  melaporkan  KIPI  sesuai  dengan ketentuan pelaporan, maka perlu:

1.    meningkatkan  kepedulian  terhadap  pentingnya  pelaporan,  melalui sistim            pelaporan  yang  telah  ada  sehingga  membuat  pelaporan menjadi mudah, terutama pada situasi yang tak pasti;

2.    membekali petugas kesehatan dengan pengetahuan mengenai KIPI

 

dan safety injection;


 

 

 

3.    menekankan bahwa  investigasi adalah untuk menemukan masalah pada           sistim   sehingga   segera   dapat   diatasi   dan   tidak   untuk menyalahkan seseorang;

4.    memberikan  umpan  balik  yang  positif  terhadap  laporan.  Paling sedikit, penghargaan pribadi terhadap petugas kesehatan dengan pernyataan terima  kasih untuk laporannya, walaupun laporannya tidak lengkap;

5.    menyediakan  formulir  laporan  dan  formulir  investigasi  KIPI;  dan Laporan KIPI juga meliputi pelayanan Imunisasi pada UPS (Dokter praktek swasta dan RS).

 

 

E.    Pelacakan KIPI

 

Pelacakan KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan epidemiologi, dengan memperhatikan kaidah pelacakan vaksin, teknik dan prosedur Imunisasi serta melakukan perbaikan berdasarkan temuan yang didapat.


 

 

 

Tabel 17. Langkah-Langkah dalam Pelacakan KIPI

 

Langkah

Tindakan

1) Pastikan informasi

 Dapatkan catatan medik pasien (atau catatan klinis lain)

 Periksa informasi tentang pasien dari catatan medik dan dokumen lain

 Isi setiap kelengkapan yang kurang dari formulir laporan

KIPI

 Tentukan informasi dari kasus lain yang dibutuhkan untuk mengelengkapi pelacakan

pada laporan

2) Lacak dan

Tentang pasien

Kumpulkan data

 Riwayat imunisasi

 Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat sebelumnya dengan reaksi yang sama atau reaksi alergi yang lain

 Riwayat keluarga dengan kejadian yang sama

 

Tentang kejadian

 

 Riwayat,  deskripsi klinis,  setiap  hasil  laboratorium yang

relevan dengan KIPI dan diagnosis dari kejadian

 Tindakan apakah dirawat dan hasilnya

 

Tentang tersangka vaksin-vaksin

 Pada  keadaan-keadaa bagaimana vaksidikirim, kondisi penyimpanan, keadaan vaccine vial  monitor, dan catatan

suhu pada lemari es.

 Penyimpanan vaksin sebelum tiba di fasilitas kesehatan, dimana vaksin ini tiba dari pengelolaan cold chain  yang

lebih tinggi, kartu suhu.

 

Tentang orang-orang lain

 

 Apakah    ada  orang  lain  yang  mendapat  imunisasi  dari

 

vaksin yang sama dan menimbulkan penyakit

 Apakah  ada  orang  lain  yang  mempunyai  penyakit  yang sama  (mungkin  butuh  definisi  kasus);  jika  ya  tentukan

paparan pada kasus-kasus terhadap tersangka vaksin yang

dicurigai.

 Investigasi pelayanan imunisasi

3) Menilai pelayanan

 Penyimpanan  vaksin  (termasuk  vial/ampul  vaksin  yang telah dibuka), distribusi dan pembuangan limbah.

 Penyimpanan pelarut, distribusi

 Pelarutan vaksin (proses dan waktu/ jam dilakukan)

 Penggunaan dan sterilisasi dari syringe dan jarum.

 Penjelasan tentang pelatihan praktik imunisasi, supervisi dan pelaksana imunisasi.

dengan menanya-

kan tentang:

4) Mengamati

Apakah  melayani  imunisasi  dalam  jumlah  yang  lebih

pelayanan:

 

 

 

 

 

banyak daripada biasa? Lemari pendingin; Apa saja yang disimpan (catat jika ada kotak penyimpanan yang serupa dekat dengan vial vaksin yang dapat menimbulkan kebingungan); vaksin/pelarut apa saja yang disimpan dengan obat lain, apakah ada vial yang kehilangan labelnya. Prosedur imunisasi (pelarutan, menyusun vaksin, teknik

 

 

penyuntikan,    kemanan    jarum    suntik    dan    syringe;

 

 

pembuangan vial-vial yang sudah terbuka)

 

Apaka ad vial-via yan suda terbuk tampak

 

 

terkontaminasi?

5) Rumuskan suatu

 Kemungkinan besar/ kemungkinan penyebab dari kejadian tersebut.

hipotesis kerja

6) Menguji hipotesa

 Apakah distribusi kasus cocok dengan hipotesa kerja?

 Kadang-kadang diperlukan uji laboratorium

kerja

7) Menyimpulkan

 Buat kesimpulan penyebab KIPI

 Lengkapi formulir investigasi KIPI

 Lakukan tindakan koreksi dan rekomendasikan tindakan lebih lanjut

pelacakan

 

 

 

F.    Uji Laboratorium Vaksin

 

Uji   laboratorium   diperlukan   untuk   dapat   memastikan   atau menyingkirkan dugaan penyebab seperti: vaksin untuk uji sterilitas dan


 

 

 

toksisitas; pelarut untuk uji sterilitas; jarum suntik dan  syringe   untuk uji  sterilitas.  Pemeriksaan  yang  diperlukan  (uji  laboratorium)  adalah untuk menjelaskan kecurigaan dan bukan sebagai prosedur rutin. Jenis KIPI yang perlu dilakukan pengujian sampel adalah KIPI yang dicurigai berhubungan dengan reaksi vaksin berat Serious Adverse Event (SAE), dan KIPI berkelompok (cluster). Pemeriksaan (uji laboratorium) dilakukan oleh Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN), Badan POM.

Badan   POM   menugaskan   Balai   Besar   POM   (BBPOM)   untuk melakukan pengambilan sampel, jika diperlukan. Pengambilan sampel dilakukan oleh BBPOM/BPOM setelah berkoordinasi dengan KomNas PP KIPI/KomDa PP KIPI dan Dinas Kesehatan setempat untuk identifikasi lot/Batch.

Jumlah  sampel  vaksin  yang  diambil  sesuai  kebutuhan.  Apabila

 

jumlah vaksin di tempat kejadian KIPI/lapangan tidak mencukupi kebutuhan pengujian, maka pengambilan sampel dapat dilakukan di Puskesmas/Dinas Kesehatan setempat yang merupakan sumber penyediaan dari vaksin yang terkait KIPI pada tingkat Kecamatan/Kabupaten. Apabila sampel masih tidak mencukupi/ habis maka pengambilan sampel dilakukan pada Dinas Kesehatan Provinsi dengan nomor batch yang sama.   Proses pengambilan dan pengiriman sampel harus dilakukan sesuai ketentuan dan persyaratan pengiriman vaksin dan dilengkapi dengan Berita Acara.

 

Gambar 12. Sistematika Pengambilan dan Pengiriman sampel


 

 

 

KOMDA KIPI


Informasi kasus KIPI


 

 

KOMNAS PP KIPI


 

 


 

 

 

Pengiriman sampel


Hasil pengujian


Informasi kasus KIPI


Dinas

Kesehatan


BB/BPOM

 

 

 

 

Pengambilan


 

 

Pengambilan sampel


Badan POM Deputi 1 u.p Ditwas Distribusi

PT dan PKRT


sampel vaksin                                                              Hasil pengujian


Tempat kasus KIPI/ Tempat Pengadaan vaksin terkait


PPOMN


 

 

 

Pengambilan Sampel.

 

Pengiriman  sampel  vaksin  dilakukan  oleh  BBPOM/BPOM  yang ditujukan kepada:

Kepala Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) Jl. Percetakan Negara No. 23

Jakarta Pusat, 10560 dengan tembusan kepada:

Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Jl. Percetakan Negara No. 23

Jakarta Pusat. 10560

 

Kebutuhan sampel yang diperlukan dalam uji  laboratorium  vaksin adalah sebagai berikut:

 

Tabel 18.Sampel Vaksin untuk Pemeriksaan Sterilitas dan Toksisitas Vaksin

 

1.

Campak

5

22 + diluent/pelarut

2.

DT

5

29

3.

Td

5

29

4.

DPT-HB-Hib

5

29

5.

Polio

10 dosis

40

6.

Polio

20 dosis

40

7.

IPV

5

29

8.

Hepatitis B Uniject

0,5

56

9.

BCG

1

50


 

 

 

Berita Acara Pengambilan Sampel Vaksin

 

 

 

Pada  hari  ini......................,tanggal....…..,bulan  ................................., tahun .............., berdasarkan Surat   Perintah   Melaksanakan   Tugas No......................................dari.............,tanggal....…...................,telah dilakukan pengambilan sample untuk pengujian mutu produk pada :

 

Nama Sarana   : Alamat  :

 

 

 

Nama

Produk

Nomor Izin Edar (NIE)

Produsen

No.Bets

Tanggal

Produksi

Expiry

Date

Jumlah

 

 

Demikian berita acara dibuat dengan sebenarnya.

 

……………..,     -     - Pihak Sarana                                                                        Petugas :

G.   Kelompok Risiko Tinggi  KIPI

 

Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah:

1.    Anak yang mendapat reaksi simpang pada Imunisasi terdahulu.

 

2.    Bayi berat lahir rendah.

 

Pada dasarnya jadwal Imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:

1.    Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi cukup bulan

2.    Apabila  berat  badan  bayi  sangat  kecil  (<1000  gram)  Imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan; kecuali untuk Imunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif.


 

 

 

Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia,  sehingga  tidak menyebabkan penyebaran virus vaksin polio melalui tinja.

1.    Pasien imunokompromais

 

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat peyakit dasar  atau  pengobatan  imunosupresan  (kemoterapi, kortikosteroid jangka  panjang).  Jenis  vaksin  hidup  merupakan  indikasi  kontra untuk pasien imunokompromais, untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi Imunisasi  harus  ditunda  pada  anak  dengan  pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah satu bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau tiga bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

2.    Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin

 

Imunisasi virus hidup diberikan setelah tiga bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

3.    Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi Walaupun  responnya  terhadap  Imunisasi  tidak  optimal  atau kurang,  penderita  HIV  memerlukan  Imunisasi.  Pasien  HIV  dapat diImunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati

sesuai dengan rekomendasi yang tercantum pada tabel 18.

 

Tabel 19. Rekomendasi Imunisasi untuk Pasien HIV Anak

 

Vaksin

Rekomendasi

Keterangan

IPV

Ya

Pasien dan keluarga serumah

DPT

Ya

Pasien dan keluarga serumah

Hib

Ya

Pasien dan keluarga serumah

Hepatitis B*

Ya

Sesuai jadwal anak sehat

Hepatitis A

Ya

Sesuai jadwal anak sehat

MMR**

Ya

Diberikan umur 12 bulan

Influenza

Ya

Tiap tahun diulang

Pneumokok

Ya

Sedini mungkin

BCG***

Ya

Dianjurkan untuk Indonesia

 

 

*)     Dianjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan dua kali.

**)   Diberikan  pada  penderita  HIV  yang  asimptomatik  atau  HIV

dengan gejala ringan.

***)  Tidak diberikan bila HIV yang berat.


 

 

 

H.   KIPI Berkelompok

 

KIPI  berkelompok  adalah  dua  atau  lebih  KIPI  yang  serupa  yang terjadi pada saat yang bersamaan, di tempat yang sama. KIPI berkelompok kemungkinan besar meningkat akibat kesalahan program. Jika kejadian serupa juga terjadi pada orang lain yang tidak diImunisasi, kemungkinan penyebabnya adalah karena kebetulan/koinsiden dan bukan KIPI.

Pada pelacakan KIPI berkelompok yang harus dilakukan adalah :

 

1.    Menetapkan  definisi untuk KIPI tersebut .

 

2.    Lacak orang lain di daerah tersebut yang mempunyai gejala penyakit yang serupa dengan definisi KIPI tersebut.

3.    Dapatkan riwayat Imunisasi (kapan, dimana, jenis dan nomor batch

 

vaksin yang diberikan).

 

4.    Tentukan persamaan paparan  di antara kasus-kasus tersebut.

 

5.    Laporkan   bila   ad berapa   anak   yang   pada   saat   bersamaan mendapatkan vaksin yang sama tetapi tidak ada gejala KIPI

 

Cara   melakukan   identifikasi   KIP berkelompok   terlihat   seperti diagram berikut:

 

Gambar 13. Alur Identifikasi KIPI berkelompok

 

KIPI Berkelompok

 

 

 


Apakah s emua kasus berasal

dari satu fasilitas yg sama (mengunakan bacth yg sama)?


 

Tidak


Apakah semua kasus mendapat vaksin dari bacth  yg

s?ama


 

Tidak


Apakah reaksi vaksin diken?al


 

Tidak


Adakah penyakit yg sama pada orang lain yang tidak dimunisasi ?


 

Tidak


Kesalahan prosedur koinsidental atau tidak diketahui


 

 

Ya                                                   Ya                                                  Ya                                                  Ya


Kesalahan Prosedur


Koinsidental



 

Kesalahan pembuatan vaksin, batch vaksin tertentu bermasalah, atau  kesalahan pengiriman/ penyimpanan


Tidak


Adakah penya-kit yg sama    pd orang lain yg yang tidak diimunisasi?


Apakah rasio reaksi  berada dalam rasio diharapkan ?


 

Tidak


 

Kesalahan prosedur atau masalah

vaksin


 

 

Ya                                                  Ya

 

Koinsidental                                    Reaksi Vaksin


 

 

 

I.     Tindak lanjut KIPI

 

1.    Pengobatan

 

Dengan adanya data KIPI dokter Puskesmas dapat memberikan pengobatan  segera.  Apabila  KIPI  tergolong  serius  harus  segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian pengobatan segera.

 

Tabel 20. Gejala KIPI dan Tindakan yang Harus Dilakukan

 


 

 

 

2.    Komunikasi

 

Kepercayaan merupakan kunci utama komunikasi pada setiap tingkat, terlalu cepat menyimpulkan    penyebab kejadian KIPI dapat merusak kepercayaan masyarakat. Mengakui ketidakpastian, investigasi menyeluruh, dan tetap beri informasi ke masyarakat. Hindari membuat pernyataan yang terlalu dini tentang penyebab dari kejadian sebelum pelacakan lengkap. Jika penyebab diidentifikasi sebagai kesalahan program, penting untuk tidak berbohong tentang kesalahan  seseorang  pada  siapapun,  tetapi  tetap  fokus     pada masalah yang berhubungan dengan sistim yang menyebabkan kesalahan program dan langkah–langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat, akan bermanfaat apabila membangun jaringan dengan tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan di daerah, jadi informasi tersebut bisa dengan cepat disebarkan.

3.    Perbaikan Mutu Pelayanan

Setelah didapatkan kesimpulan penyebab dari hasil investigasi KIPI maka dilakukan tindak lanjut perbaikan seperti pada tabel berikut:

 

Tabel 21. Tindak Lanjut Perbaikan

 

 

 

J.    Evaluasi

 

Evaluasi  rutin  dilakukan  oleh  Komda  PP    KIPI/Dinas  Kesehatan

 

Provinsi minimal enam bulan sekali. Evaluasi tahunan dilakukan oleh


 

 

 

Komda PP KIPI/Dinas Kesehatan Provinsi untuk   tingkat provinsi dan

 

Komnas PP KIPI/Sub Direktorat Imunisasi untuk tingkat nasional.

 

Kriteria penilaian efektivitas pemantauan KIPI adalah:

 

1.    Ketepatan waktu laporan

 

2.    Kelengkapan laporan

 

3.    Keakuratan laporan

 

4.    Kecepatan investigasi

 

5.    Keadekuatan tindakan perbaikan yang dilakukan

 

6.    KIPI tidak mengganggu Imunisasi

 

Perkembangan pemantauan KIPI dapat dinilai dari data laporan tahunan di tingkat   provinsi dan nasional. Data laporan tahunan KIPI mengandung hal-hal di bawah ini:

1.    Jumlah laporan KIPI yang diterima, dikelompokkan berdasarkan :

 

a.    Vaksin

 

b.    Klasifikasi etiologi lapangan c.    Klasifikasi kausalitas

2.    Rate masing-masing KIPI berdasarkan vaksin yang diberikan (dan nomor batch) tingkat provinsi dan nasional.

3.    KIPI berat yang sangat jarang.

 

4.    KIPI langka lainnya.

 

5.    KIPI berkelompok yang besar.

 

6.    Ringkasan pelacakan KIPI yang jarang terjadi/penting.


 

 

 

BAB VI PENCATATAN DAN PELAPORAN

 

 

Pencatatan dan pelaporan dalam pelaksanaan Imunisasi program sangat penting   dilakukan   di   semua   tingkat   administrasi   guna   mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun evaluasi.

A.    Pencatatan

 

Untuk masing-masing tingkat administrasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1.    Tingkat Desa

 

a.    Sasaran Imunisasi

 

Pencatatan bayi, baduta dan WUS untuk persiapan pelayanan Imunisasi meliputi nama, orang tua, suami, tanggal lahir dan alamat. Petugas mengkompilasikan data   sasaran tersebut ke dalam buku pencatatan hasil Imunisasi bayi, baduta dan WUS.  Status Imunisasi juga dicatat dalam buku  Kesehatan Ibu dan Anak  (KIA), Kohort, dan rekam medis.

b.    Pencatatan Hasil Imunisasi bayi dan baduta

 

Pencatatan hasil Imunisasi untuk bayi dan  Baduta dibuat oleh petugas Imunisasi di kohort bayi (tercantum dalam formulir

4   terlampir)  dan  kohort  anak  balita  dan  anak  prasekolah (tercantum dalam formulir 9 terlampir). Masing-masing formulir untuk satu desa.

Dalam perkembangan introduksi vaksin program, untuk pencatatan yang belum tercantum dalam kohort maka formulir pencatatan hasil Imunisasi akan ditetapkan kemudian.

c.    Pencatatan hasil Imunisasi Td untuk WUS

 

Pencatatan hasil Imunisasi Td untuk WUS termasuk ibu hamil   dan   calon   pengantin   menggunakan   buku   catatan Imunisasi WUS atau dicatat buku kohort ibu (tercantum dalam formulir 13 dan formulir 14 terlampir). Imunisasi Td hari itu juga dicatat dalam buku KIA.

d.    Pencatatan hasil Imunisasi Anak Usia Sekolah Dasar

 

Untuk pencatatan Imunisasi anak usia sekolah Dasar, Imunisasi DT, campak atau Td  yang diberikan,dicatat di buku KIA/Buku  Sehat  anak  Sekolah  dan  dicatat     pada  format


 

 

 

pelaporan BIAS  dan satu salinan diberikan kepada sekolah. Bila pada  waktu  bayi  terbukti  pernah  mendapat  DPT-HB-Hib1 dicatat sebagai T1. Kemudian mendapat DPT-HB-Hib2 dicatat sebagai T2. Kemudian mendapat  DPT-HB-Hib pada usia baduta dicatat sebagai  T3.Sehingga pemberian DT  dan Td  di sekolah dicatat sebagai T4 dan T5. Bila tidak terbukti pernah mendapat suntikan DPT-HB-Hib pada waktu bayi dan Baduta, maka DT dicatat sebagai T1.

e.    Pencatatan dan pelaporan untuk fasilitas kesehatan swasta

 

Format pelaporan pelayanan Imunisasi yang dilaporkan minimal memuat data sebagai berikut : nama sasaran, nama orang tua, tanggal lahir, alamat lengkap, jenis kelamin, dan jenis Imunisasi   serta   tanggal   pemberiannya.   (tercantum   dalam formulir 5 terlampir)

 

Begitu juga jumlah kualitas dan kuantitas semua logistik Imunisasi pilihan (vaksin, ADS dan logistik lainnya)  harus diketahui oleh penyelenggara program Imunisasi nasional untuk dilakukan monitoring bersama.

2.    Tingkat Puskesmas

 

a.    Hasil Cakupan Imunisasi

 

1)     Hasil kegiatan Imunisasi di lapangan dicatat di kohort desa dan  direkap  di  buku  pencatatan  Imunisasi  puskesmas (buku biru) (tercantum dalam formulir 6 dan formulir 10 terlampir).

2)     Hasil  Imunisasi  anak  sekolah  di  rekap  di  buku  hasil Imunisasi anak sekolah (tercantum dalam formulir 15 terlampir).

3)     Laporan hasil Imunisasi di pelayanan swasta menggunakan format buku kohort kemudian dicatat di buku kohort desa asal sasaran.

4)    Setiap  catatan  dari  buku  biru  ini  dibuat  rangkap  dua.

 

Lembar  ke  2  dibawa  ke  kabupaten  sewaktu  mengambil vaksin/konsultasi.

5)     Dalam  menghitung  persentase  cakupan,  yang  dihitung hanya pemberian Imunisasi pada kelompok sasaran dan


 

 

 

periode yang dipakai adalah tahun anggaran mulai  dari 1

 

Januari sampai dengan 31 Desember pada tahun tersebut. b.    Pencatatan Vaksin

Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah nomor batch dan tanggal kadaluwarsa harus dicatat ke dalam laporan penerimaan vaksin atau kartu stok (tercantum dalam formulir

20 terlampir). Sisa atau stok vaksin harus selalu dihitung pada setiap kali penerimaan dan pengeluaran vaksin. Masing-masing jenis vaksin mempunyai kartu stok tersendiri. Selain itu kondisi VVM sewaktu menerima dan mengeluarkan vaksin juga perlu dicatat di SBBK (Surat Bukti Barang Keluar).

Jumlah vial dan dosis vaksin yang digunakan dan tersisa dalam penyelengaraan Imunisasi harus dilaporkan kembali (tercantum dalam formulir 16 terlampir) beserta jumlah limbah Imunisasi  ADS  dan  vial  bekas  untuk  dimusnahkan  dengan berita acara.

c.    Pencatatan Suhu Vaccine Refrigerator

 

Temperatur Vaccine Refrigerator yang terbaca pada termometer yang diletakkan di tempat yang seharusnya, harus dicatat  dua  kali  sehari  yaitu  pagi  waktu  datang  dan  sore sebelum pulang(lampiranGrafik 1. Pencatan   Suhu Lemari Es). Pencatatan harus dilakukan dengan upaya perbaikan:

1)    Bila suhu tercatat di bawah 2   oC, harus dicurigai vaksin

 

Hepatitis B,   DPT-HB-Hib, DT, IPV,dan T telah beku. Lakukan uji kocok (kecuali vaksin IPV), jangan gunakan vaksin yang rusak dan buatlah catatan pada kartu stok vaksin.

2)     Bila suhu tercatat diatas 8  oC, segera pindahkan vaksin ke cold box, vaccine carrier   atau termos   yang berisi cukup cool    pack  (kotak  dingin  cair).  Bila  perbaikan  Vaccine Refrigerator  lebih  dari 2 hari, vaksin  harus dititipkan di puskesmas terdekat atau kabupaten. Vaksin yang telah kontak   dengan  suhu  kamar  lebih  dari  periode  waktu tertentu,  harus  dibuang  setelah    dicatat  di  kartu  stok vaksin


 

 

 

d.    Pencatatan Logistik Imunisasi

 

Disamping vaksin, logistik Imunisasi lain seperti  cold chain harus dicatat jumlah, keadaan, beserta nomor seri serta tahun (Vaccine Refrigerator, mini freezer, vaccine carrier, container) harus  dicatat  ke  dalam  kolom  keterangan.  Untuk  peralatan habis pakai seperti ADS, safety box dan spare part cukup dicatat jumlah dan jenisnya.

3.    Tingkat Kabupaten/Kota

 

a.    Hasil cakupan Imunisasi

 

Kompilasi laporan hasil Imunisasi dari semua puskesmas dan RSU kabupaten maupun rumah sakit swasta dilakukan setiap  bulan  dan  dicatat  di  buku  hasil  Imunisasi kabupaten/Kota (tercantum dalam formulir 5 terlampir). Setiap catatan dari buku ini dibuat dalam rangkap dua. Lembar ke 2 dibawa ke provinsi pada waktu mengambil vaksin/konsultasi.

b.    Pencatatan vaksin

 

Penerimaan dan pengeluaran   vaksin terperinci menurut jumlah, nomor batch dan tanggal  kadaluwarsa harus dicatat dalam   buku   stok   vaksin   (tercantum   dalam   formulir   21 terlampir). Sisa atau stok vaksin harus dihitung pada setiap kali penerimaan  atau  pengeluaran  vaksin.  Masing-masing  jenis vaksin mempunyai buku stok  tersendiri. Selain itu kondisi VVM sewaktu menerima dan mengirimkan vaksin ke puskesmas juga perlu dicatat pada buku stok dan SBBK (Surat Bukti Barang Keluar).

c.    Pencatatan logistik Imunisasi

 

Disamping penerimaan dan pengeluaran vaksin juga dicatat nomor seri untuk sarana   cold chain   (Vaccine Refrigerator, freezer, vaccine carrier) dan keadaan sarana dicatat ke dalam kolom  keterangan.  Untuk  peralatan  habis  pakai  seperti  ADS perlu juga dicatat nomor seri/lot masa kadaluwarsa, jumlah dan merk, safety box cukup dicatat jumlah dan jenisnya.

4.    Tingkat Provinsi

 

a.    Hasil Cakupan Imunisasi

 

Kompilasi laporan hasil Imunisasi dari semua kabupaten/kota  dilakukan  setiap  bulan  dan  dicatat  di  buku hasil Imunisasi provinsi (tercantum dalam formulir 8 terlampir).


 

 

 

Setiap catatan di buku ini dibuat dalam rangkap dua. Lembar ke

 

2 dikirimkan ke pusat. b.    Pencatatan Vaksin

Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa harus dicatat ke dalam buku stok vaksin (tercantum dalam formulir 22 terlampir). Sisa atau stok vaksin harus selalu dihitung pada setiap kali penerimaan atau  pengeluaran  vaksin.  Masing-masing  jenis  vaksin mempunyai buku stok tersendiri. Keluar masuknya barang termasuk vaksin harus dicatat di buku umum. Jenis vaksin, nomor batch dan kondisi VVM saat diterima atau dikeluarkan untuk vaksin

c.    Pencatatan Barang Imunisasi

 

Disamping vaksin sarana  cold chain  (Vaccine Refrigerator, freezer, vaccine carrier, container) harus dicatat nomor seri, tahun   dan   keadaan   ke   dalam   format   pencatatan.   Untuk peralatan seperti jarum, syringe dan spare part cukup dicatat jumlah dan jenisnya.

 

 

B.    Pelaporan

 

Hasil pencatatan Imunisasi   yang dilakukan oleh setiap unit yang melakukan kegiatan Imunisasi, mulai dari puskesmas pembantu, puskesmas, rumah sakit umum, Kantor Kesehatan Pelabuhan, balai Imunisasi  swasta, rumah  sakit  swasta,    klinik    swasta    disampaikan kepada pengelola program Imunisasi kabupaten/kota (tercantum dalam formulir 7 dan formulir 11 terlampir) dan provinsi (tercantum dalam formulir 8 dan formulir 12 terlampir) sesuai waktu yang telah ditetapkan. Sebaliknya,  umpan  balik  laporan  dikirimkan  secara  berjenjang  dari tingkat atas ke tingkat lebih bawah.


 

 

 

Gambar.14. Sistematika Pencatatan dan Pelaporan Imunisasi Rutin :

 

 

 

 

Gambar 15. Sistematika Pencatan Pelaporan Imunisasi dasar dan lanjutan WUS


 

 

 

Gambar 16 . Sistematika Pencatan Pelaporan Imunisasi lanjutan Anak Usia

Sekolah

 

 

 

 

 

Bagan alur laporan sebagai berikut :

 

Gambar 17. Bagan Alur Pelaporan

 

DITJEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT CQ. DITJEN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

 

l 15

 

 

 

 

Setiap tangga

DINAS KESEHATAN PROVINSI

 

 

Setiap tang

 

 

 

 

DINAS KESEHATAN KABUPATEN/ KOTA

 

 

Setiap tang

 

 

gal 10

 

 

 


 

 

 

PUSKESMAS, FASYANKES (RUMAH SAKIT, PRAKTEK SWASTA, dll)


gal 5


Alur Pelaporan

 

Umpan Balik


 

 

KOHORT (BAYI, ANAK, IBU)


 

 

 

Gambar 18. Bagan Alur Pelaporan Imunisasi Khusus

 

DITJEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT CQ. DITJEN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

 

 

Setiap tangg

DINAS KESEHATAN PROVINSI

 

 

Setiap tangga

 

 

al 15 bulan pelaksanaan

 

 

 

 

 

DINAS KESEHATAN KABUPATEN/ KOTA

 

Setiap tangga

 

 

l 10 bulan pelaksanaan

 

 

 

 

l 5 bulan pelaksanaan

 


PUSKESMAS, FASYANKES (RUMAH SAKIT, PRAKTEK SWASTA, dll)


Alur Pelaporan

 

Umpan Balik


 

 

 

Hal-hal yang dilaporkan adalah:

 

1.    Cakupan Imunisasi.

 

2.    Dalam melaporkan cakupan Imunisasi, harus dipisahkan pemberian Imunisasi terhadap kelompok di luar umur sasaran. Pemisahan ini sebenarnya sudah dilakukan mulai saat pencatatan, supaya tidak mengacaukan perhitungan persen cakupan.

3.    Stok dan Pemakaian Vaksin.

 

4.    Penerimaan,   pemakaian   dan   stok   vaksin   setiap   bulan   harus dilaporkan bersama-sama dengan laporan cakupan Imunisasi.

5.    Sarana peralatan   cold chai di   puskesmas   dan unit pelayanan lainnya  diidentifikasi  baik  jumlah  maupun  kondisinya  dilaporkan oleh puskesmas, kabupaten/kota, dan provinsi secara berjenjang minimal sekali setahun (tercantum dalam formulir 17, formulir 18, dan formulir 19 terlampir).


 

 

 

BAB VI PENUTUP

 

 

Dengan ditetapkannya Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi ini, maka diharapkan semua instansi terkait termasuk swasta dan masyarakat dapat bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan Imunisasi dengan benar dan berkualitas optimal serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya melalui upaya pencegah terjadinya suatu penyakit melalui upaya maksimal pemberian Imunisasi dasar lengkap pada bayi, Imunisasi lanjutan pada anak umur di bawah dua tahun dan pada anak usia sekolah serta wanita usia subur.

 

 

 

 

 

 

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

ttd

 

 

 

NILA FARID MOELOEK


Formulir 1. Pelaporan KIPI Serius

 

Isi dengan Ballpoin (tembus karbon)                                                                                                                     Data diisi dengan benar dan valid

FORMULIR PELAPORAN KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI

(KIPI)                                              Tgl. terima              : …./…./20....

Identitas pasien                                                                     Tanggal lahir : ...../...../………

Nama                    :     .........................................

Nama Orang Tua  :     .........................................             Jenis Kelamin

Penanggung jawab (dokter)

.........................................................................

Alamat

: ..........................................................

..........................................................

1. Laki-laki;

2. Perempuan

Alamat (RS, Puskesmas, Klinik)

...........................................................................

RT/RW

: ....../...... Kel./Desa ............................

Bagi Wanita Usia Subur (WUS)

RT/RW   : ....../...... Kel./Desa ............................

 

Kec.

 

: ..........................................................

1. Hamil       2. Tidak Hamil

Kec.       : .........................................................

Kab/Kota

: ..........................................................

 

Kab/Kota: ..........................................................

Prop.

: ..........................................................

KU sebelum imunisasi :

Prop.      : ..........................................................

Telp.

: ..........................................................

.............................................

Telp.       : ..........................................................

 

 

 

 

 

 

 

Kode Pos:                                                                                                                                                     Kode Pos:


Pemberi Imunisasi  :  Dokter / Bidan / Perawat / Jurim/ ....................

No.

Jenis Vaksin

Pabrik

No. Batch

1

 

2

3

4

 

 

Vaksin-vaksin yang  diberikan dalam 4 minggu terakhir


 

 

Pemberian

Tanggal         Jam         Oral / intrakutan /

subkutan / i.m


 

 

 

Lokasi penyuntikan


 

 

 

Jumlah dosis


 

 

 

 

 

Tempat pemberian imunisasi  :                   1. RS 2. RB;  3. Puskesmas;   4. Dokter Praktek;  5. Bidan Praktek;    6. BP;    7. Posyandu;   8. Sekolah;

9. Balai  Imunisasi;  10. Bidan Desa (Polindes);  11. Rumah;  12. Pustu ; 13. Pos PIN

 

Manifestasi kejadian ikutan (keluhan, gejala klinis)

 

 

 

 

 

 

Keluhan & Gejala Klinis                   Waktu gejala timbul           Lama gejala          Perawatan / tindakan

Tanggal       Jam     Mnt          Mnt    Jam    Hari                           Tindakan darurat

Bengkak pada  lokasi penyuntikan                                                                                                                                           Rawat jalan

Perdarahan pada lokasi penyuntikan                                                                                                                                        Rawat Inap (tgl....................) Perdarahan lain....................................................                                                                                                                     Dirujuk ke........................ Kemerahan lokal                                                                                                                                                                       (tgl......................... ) Kemerahan tersebar

Gatal                                                                                                                                                                         Kondisi  akhir  pasien

Bengkak pada bibir / kelopak mata / kemaluan                                                                                                                        Sembuh

Bentol disertai gatal                                                                                                                                                                   Meninggal

Muntah                                                                                                                                                                                       (tgl ................................) Diare

Pingsan (sinkop)

Kejang

Sesak nafas

Demam tinggi (>390 C) lebih dari satu hari Pembesaran kelenjar aksila Kelemahan/kelumpuhan otot: lengan/tungkai Kesadaran menurun

Menangis menjerit terus menerus > 3 jam

Lain-lain   1. .........................................................

2. .........................................................

 

Apakah ada anak lain yang diimunisasi pada saat yang sama mengalami gejala serupa?

Ya

Tidak                                    

Apakah ada anak lain yang tidak diimunisasi pada saat yang sama mengalami gejala serupa?

Ya

Tidak                                    

 

 

 

Informasi kesehatan lainnya (alergi, kelainan kongenital, dalam terapi obat-obatan tertentu)

 

 

Berita KIPI  diperoleh dar : (kader, keluarga, masyarakat, ...........................)      ............................................, tanggal ...../...../..........

Nama                                 :                                                                                            Tanda tangan pelapor     Tanda tangan pemberi imunisasi

Hubungan dengan pasie :

Tanggal                             : ...../...../..........

 

(............................)     (........................................)



Formulir 2. Investigasi  KIPI

 

 

FORMULIR INVESTIGASIKEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (Otopsi Verbal)

 

Wawancara dilakukan oleh :

(nama, kedudukan, instansi, telelepon, email)

1. Nama :                                                                                                                              Instansi :                                                                                                                             Telepon/Fax/Email :                                                                                                        

2. Nama :                                                                                                                            

Istansi :                                                                                                                             Telepon/Fax/Email :                                                                                                         


Tanggal :                                                 Responden :


Jam :                                                              


1.    Nama :                                                                 

Hubungan dengan kasus KIPI                                                                          

2.    Nama :                                                                   

Hubungan dengan kasus KIPI                                                                            

 

IDENTITAS KASUS KIPI

Nama             :                                                                         Lelaki/Perempuan

Tanggal lahi :           /            /            

Usia               :          Tahun               _Bulan            Hari

Nama ayah     :                                              Nama ibu       :                                            

Alamat :  Jalan …………………………    Nomer .     RT/RW ……………….

Dusun/Kampung…………..   Desa/Kelurahan ………………Kecamatan ………………..    Kabupaten ………………………… Provinsi ……………………….…

Jumlah saudara kandung:

 

IMUNISASI

 

Imunisasi terdahulu (lebih dari 30 hari, dari imunisasi terakhir)

 

 

Imunisasi

 

(Vaksin)

Tgl

Jam

No.

Batch

Tgl.

Kadalu arsa

VVM

Cara Pemberian

 

(Intra kutan, Sub- kutan, IM, tetes)

Jumlah vaksin

 

(ml / tetes)

Lokasi

penyuntikan

KIPI*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

* Jika Ya: Reaksi timbul pada tgl ..........................................

Gejala & Waktu timbulnya gejala ............................................................................. Diagnosis ....................................

Imunisasi sekarang (dalam kurun 30 hari terakhir) :

 

 

Imunisasi

 

(Vaksin)

Tgl

Jam

No.

Batch

Tgl.

Kadalu arsa

VVM

Cara Pemberian

 

(Intra kutan, Sub- kutan, IM, tetes)

Jumlah

vaksin

 

(ml / tetes)

Lokasi

penyuntikan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tempat imunisasi  :    Posyandu                   Puskesmas                        Praktek swasta


 

Pos PIN

Balai pengobatan

RS/RB

Sekolah

Rumah

Lainlain :         

 

Pemberi imunisas :  Jurim

Perawat

D

r

Kader

Bidan

 

 

KONDISI RANTAI DINGIN

 

okte

 

1.    Apakah   vaksi disimpan   pada   tempat   yang   sesuai (bukan refrigerator rumah tangga dan bukan freezer untuk OPV)

 

2.    Apakah vaksin disimpan pada suhu yang sesuai? ( 2 – 80 C)

 

 

3.    Apakah dilakukan monitoring suhu dan pencatatan secara berkala? (suhu dicatat dua kali sehari dan terdapat grafik pencatatan suhu)

 

4.    Apakah terdapat vaksin DPT-HB, DT, TT, HB Uniject yang beku atau diduga beku di dalam tempat penyimpanan vaksin?

 

5.    Apakah    terdapat    barang    selain    vaksin    di    dalam    tempat penyimpanan vaksin?

 

6.  Apakah vaksin disimpan bersama dengan obat lain dengan pemisahan dan penandaan yang jelas, sehingga menjamin tidak terjadi kontaminasi/kontaminasi silang?

 

 

 

7.    Apakah   terdapat   vaksi yang   kadaluars atau   mengalami kerusakan   fisi d dalam   tempat   penyimpanan   vaksi dan dipisahkan serta diberi penandaan yang jelas?

 

8.     Apakah terdapat sisa vaksin yang telah dilarutkan di dalam tempat penyimpanan vaksin dan dipisahkan serta diberi penandaan yang jelas?

 

9.     Apakah terdapat vaksin dengan kondisi VVM C atau D di dalam tempat penyimpanan vaksin dan dipisahkan serta diberi penadaan yang jelas?

 

 

10.  Apakah tempat penyimpanan vaksin dilengkapi dengan termometer yang berfungsi dengan baik dan terkalibrasi? (Kalibrasi minimal satu kali/tahun)

 

 

11.  Apakah  terdapat  generator  yang  berfungsi  dengan  baik  untuk menjamin jika terjadi listrik padam?

 

KEADAAN BAYI/ANAK/WUS SEBELUM IMUNISASI

 

Gejala

Tidak

Ya

Jika ya, timbulnya gejala sejak :

Tanggal

Pukul

Demam

 

 

 

 

Batuk/pilek

 

 

 

 

Mencret

 

 

 

 

Muntah

 

 

 

 


 

Sesak Napas

 

 

 

 

Kuning/ikterik

 

 

 

 

Lain-lain :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

T

 

T

 

T

 

Kondisi kesehatan

 

- Alergi terhadap : - telur

 

- antibiotik (neomisin)

Ada

 

Ada

idak ada

 

idak ada

 

 

- Alergi lainnya:                                                       Ada                  Sebutkan                       Tidak Ada

 

 

Pengobatan saat ini

 

- Pemakaian obat-obat steroid

Ada

idak ada

- Pengobatan lainnya:

Ada

Sebutkan                   Tidak ada

 

Riwayat alergi pada keluarga:                                                                                               

 

 

PERJALANAN MANIFESTASI KLINIS  KASUS KIPI PADA BAYI/ANAK / WUS

 

 

Gejala

Tidak

Ya

Jika ya, timbulnya gejala sejak :

Lama gejala

Tanggal

Pukul

Jam / Hari

Bengkak di tempat suntikan

 

 

 

 

 

Perdarahan di tempat suntikan

 

 

 

 

 

Ruam lokal, bengkak, merah & gatal

-     pada kulit

-     pada bibir

-     pada mata

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ruam tersebar:

-     pada muka

-     pada anterior tubuh

-     pada posterior tubuh

-     pada anggota gerak

-     seluruh tubuh

 

 

 

 

 

Demam tinggi > 390

 

 

 

 

 

Nyeri kepala

 

 

 

 

 

Nyeri Otot

 

 

 

 

 

Lesu

 

 

 

 

 

Batuk/pilek

 

 

 

 

 

Mencret

 

 

 

 

 

Muntah

 

 

 

 

 

Sesak Napas

 

 

 

 

 

Kuning / ikterik

 

 

 

 

 

Perdarahan

 

 

 

 

 

Kejang

 

 

 

 

 

Kelemahan/kelumpuhan otot lengan

/ tungkai

 

 

 

 

 

Pingsan (sinkop)

 

 

 

 

 

Penurunan Kesadaran

 

 

 

 

 

Tanda-tanda syok anafilaktik

 

 

 

 

 

Sakit Kepala

 

 

 

 

 

Menangis menjerit > 3 jam

 

 

 

 

 

Lemas & kebas seluruh tubuh

 

 

 

 

 


 

Pembengkakan kelj.getah bening

(leher/ketiak/lipat paha)

 

 

 

 

 

Sakit disertai kelemahan pada lengan

yg disuntik

 

 

 

 

 

Bengkak, kemerahan, nyeri (reaksi

Arthus)

 

 

 

 

 

 

 

 

Identitas pelapor

 

Gejala awal KIPI diketahui pertama kali oleh :

 

 

Nama :                                            

 

Hubungan dengan penderita :                                                         

 

Pada tanggal …………………….. jam …………

 

 

Alur penanggulangan kasus KIPI

 

Laporan I adanya KIPI dilakukan pada tanggal …………………..…  jam……

 

 

dan disampaikan kepada

 

 

Nama institusi :                                                                     

 

Alamat    :                                                                     

 

Tindakan yang dilakukan oleh penerima laporan pertama : Memberi pengobatan

Nama obat, waktu, dosis dan cara pemberian obat:

 

 

Nama obat (usahakan

 

nama generik)

Waktu pemberian

dosis

Cara pemberian

tanggal

jam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hasil pengobatan:

 

membaik

 

tidak ada kemajuan memburuk

sembuh pada tanggal ………./…………../…………

 

 

 

Merujuk

 

Waktu merujuk : tanggal………….… jam…………. Rujukan kepada :


Nama institusi :                                                       

 

Alamat    :                                                       

 

 

Rujukan pertama KIPI tiba tanggal ………… jam …… pada

 

Nama     :                                                                 Jabatan   :                                                                                 

Nama institusi dan alamat :                                                                

 

Gejala klinis/keadaan saat di tempat rujukan :

 

 

 

Diagnosis :                                                     Tindakan

R

 

-        Rawat Inap                   awat Jalan

 

em

 

-         M    beri pengobatan

 

Nama obat, waktu, dosis dan cara pemberian obat:

 

Nama obat (usahakan

 

nama generik)

Waktu pemberian

Dosis

Cara pemberian

tanggal

jam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ka

 

-  Tinda   n lain :                                                                           Hasil pengobatan:

membaik

 

tidak ada kemajuan memburuk

sembuh pada tanggal ………./…………../…………

 

Rujukan kedua KIPI

 

Waktu merujuk : tanggal…………………… jam…………. Oleh: Nama                       :                                                                                                                 Jabatan                    :     Rujukan II tiba tanggal …… jam ……… pada

Nama institusi :                                                                        Alamat           :                                                                                                   

Gejala klinis/keadaan saat di tempat rujukan :                                        

 

 

Diagnosis :                                                     Tindakan

R

 

-        Rawat Inap                   awat Jalan

 

em

 

-         M    beri pengobatan

 

Nama obat, waktu, dosis dan cara pemberian obat:


 

Nama obat (usahakan

 

nama generik)

Waktu pemberian

Dosis

Cara pemberian

tanggal

jam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ka

 

-  Tinda   n lain :                                                                           Hasil pengobatan:

membaik

 

tidak ada kemajuan memburuk

sembuh pada tanggal ………./…………../…………

 

 

 

Rujukan ketiga KIPI

 

Waktu merujuk : tanggal…………………… jam…………. Oleh: Nama                       :                                                                                                                    Jabatan     :               

Rujukan III tiba tanggal …… jam ……… pada

 

Nama     :                                                                 Jabatan   :      

Nama institusi dan alamat :                                                                

 

Gejala klinis/keadaan saat di tempat rujukan :                                            

 

 

Diagnosis :                                                     Tindakan

R

 

-        Rawat Inap                   awat Jalan

 

em

 

-         M    beri pengobatan

 

Nama obat, waktu, dosis dan cara pemberian obat:

 

Nama obat (usahakan

 

nama generik)

Waktu pemberian

Dosis

Cara pemberian

tanggal

jam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ka

 

-  Tinda   n lain :                                                                           Hasil pengobatan:

membaik

 

tidak ada kemajuan memburuk


sembuh pada tanggal ………./…………../…………

 

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

 

………………………………………………………………………………………………………………………

 

………………………………………………………………………………………………………………………

 

………………………………………………………………………………………………………………………

 

………………………………………………………………………………………………………………

 

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN

 

………………………………………………………………………………………………………………………

 

………………………………………………………………………………………………………………………

 

………………………………………………………………………………………………………………………

 

………………………………………………………………………………………………………………

 

 

 

HASIL AKHIR

SEMBUH SEMPURNA

 

SEMBUH DENGAN GEJALA SISA BERUPA :

 

MENINGGAL,  tanggal ………….………… jam …………….

 

 

 

KESIMPULAN DOKTER YANG MERAWAT PALING AKHIR

DIAGNOSIS :

 

1.

 

2.

 

3.

 

SEBAB KEMATIAN :                                                        

 

 

HASIL PEMERIKSAAN UJI VAKSIN

 

Petugas BPOM

 

-     Nama: ……………………..

 

-     Institusi: …………………. Waktu pengambilan sampel

-     Tanggal: ……/……./……

 

-     Waktu: ……………….. Jumlah sampel*: ……………….. No Batch. : …………………………

Hasil: Tes Toksisitas: ………………….. ………..  Tes Sterilitas: ……………. …………………..

 

 

 

TANDA TANGAN PENGISI FORMULIR INVESTIGASI

 

 

 

 

 

 

(                                        )                                (                                     ) Jabatan:                                                                  Jabatan :


Formulir 3. Kajian KIPI Serius

 


 

 

Nama Pasien

No. Kasus

LANGKAH 1 (KELAYAKAN)


LEMBAR KERJA KLASIFIKASI KAUSALITAS KIPI


 

Kelengkapan

Data


Nama satu atau lebih vaksin yang diberikan sebelum KIPI?


Apakah diagnosis yang valid?


Apakah diagnosis memenuhi definisi kasus?


 

 

 


 

Apakah vaksin/vaksinasi


Buat pertanyaan tentang kausalitas disini menyebabkan


? (Kejadian direview di Langkah 2)


 

LANGKAH 2 (DAFTAR KIPI) Beri tanda pada kotak yang sesuai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

I.        Apakah ada bukti kuat untuk penyebab lain?

YA

TDK

TD NA*

 

Keterangan

Apakah pemeriksaan klinis, atau uji laboratorium pada pasien,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

mengkonfirmasi penyebab lain?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II.      Apakah terdapat hubungan kausal yang diketahui

dengan vaksin/vaksinasi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Produk Vaksin (Vaccine product(s))

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah terdapat bukti dalam literatur bahwa vaksin ini dapat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

menyebabkan KIPI bahkan jika diberikan secara tepat?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah tes spesifik menunjukkan peran kausal dari vaksin atau

 

 

 

 

 

 

 

 

 

komposisinya?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kesalahan Imunisasi (Immunization Error)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah      terjadi      kesalahan      dalam      meresepkan      atau

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ketidakpatuha terhadap   rekomendas penggunaan   vaksin?

(contoh:  penggunaan  melewati  tanggal  kadaluarsa,  penerima salah, dll)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah vaksin (atau komposisi) diberikan secara tidak steril?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah kondisi fisik vaksin (contoh: warna, kekeruhan, adanya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

substansi asing, dll) abnormal saat diberikan?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah    terdapat    kesalahan    saat    persiapan    vaksin    oleh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

vaksinato (contoh kesalahan   produk,   kesalahan   pelarut,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

pencampuran tidak tepat, pengisian spuit tidak tepat, dll)?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah terdapat kesalahan dalam penanganan vaksin (contoh:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

gagalnya cold chain selama pengiriman, penyimpanan, dan/atau

 

 

 

 

 

 

 

 

 

saat imunisasi, dll)?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah vaksin diberikan secara tidak tepat? (contoh: kesalahan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

dosis,  tempat  atau  cara  pemberian;  kesalahan  ukuran  jarum

 

 

 

 

 

 

 

 

 

suntik, dll)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Immunization Anxiety

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkah KIPI disebabkan kegelisahan akibat imunisasi (contoh:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

vasovagal, hiperventilasi atau penyakit terkait stress)?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah  KIPI  terjadi  dalam  time  window  yang  sesuai  setelah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

pemberian vaksin?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

III.     Apakah terdapat bukti kuat untuk menyangkal hubungan

kausalitas?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah   terdapat   bukti   kuat   untu menyangka hubungan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

kausalitas?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IV.     Faktor kualifikasi lain untuk klasifikasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah KIPI  dapat  terjadsecara  independen tanpa  vaksinasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(background rate)?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah KIPI merupakan manifestasi dari kondisi kesehatan yang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

lain?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah KIPI yang sebanding terjadi setelah dosis vaksin yang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

sama sebelumnya?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah terdapat paparan terhadap faktor risiko potensial atau

 

 

 

 

 

 

 

 

 

toksin sebelum KIPI?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah terdapat penyakit akut sebelum KIPI terjadi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah   KIP yan terjad sebelumnya   tidak   berhubungan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

dengan vaksinasi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah pasien menggunakan obat-obatan sebelum vaksinasi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah terdapat sebab biologis yang masuk akal bahwa vaksin

 

 

 

 

 

 

 

 

 

dapat menyebabkan KIPI?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II.      (waktu). Jika Yapada pertanyaan di II, apakah KIPI berada di dalam time window peningkatan risiko?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*TD: Tidak Diketahui, NA: Not Applicable


LANGKAH 3 (Algoritma) Review semua langkah dan √ kotak yang tepat

 


I A. Hubungan kausal inkonsisten

terhadap imunisasi


III A. Hubungan kausal inkonsisten

terhadap imunisasi



Ya

 

I.    Apakah terdapat bukti kuat untuk penyebab lain?


 

 

 

 

Tidak


 

II. Apakah terdapat hubungan kausal yang diketahui dengan

vaksin/vaksinasi?


 

 

 

 

Tidak


Ya

 

III. Apakah terdapat bukti kuat untuk menyangkal hubungan kausal?


 

 

 

 

Tidak


 

 

 

IV. Review faktor kualifikasi lain



Ya

 

II (Waktu). Apakah KIPI terjadi dalam time window

peningkatan risiko?


 

 

 

Tidak


 

 

Apakah KIPI

terklasifikasi?

 

Ya


 

Tidak


 

IV D. Unclassifiable


 

Ya

 

 

II A. Hubungan

IV A. Hubungan

IV B.

IV C. Hubungan

kausal konsisten terhadap imunisasi

kausal konsisten terhadap imunisasi

Indeterminate

kausal inkonsisten terhadap

Catatan untuk Langkah 3:

 

 

 

 

LANGKAH 4 (Klasifikasi) Beri √ kotak yang tepat


 

 

 

 

Terdapat Informasi yang tersedia dan memenuhi syarat


A Hubungan kausal konsisten dengan imunisasi

 

A1. Reaksi terkait produk vaksin

 

A2. Reaksi terkait defek kualitas vaksin

 

A3. Reaksi terkait kesalahan pada pelaksanaan imunisasi

 

A4. Ansietas terkait imunisasi


B. Indeterminate

B1. Hubungan sementara konsisten tetapi terdapat bukti yang cukup pasti untuk vaksin menyebabkan KIPI (kejadian yang berhubungan dengan

vaksin baru)

 

B2. Faktor pertimbangan menghasilkan tren yang bertentangan antara hubungan kausal konsisten dan inkonsisten dengan

imunisasi


C.  Hubungan kausal

inkonsisten dengan imunisasi

 

C. Koinsiden

 

Kondisi utama atau kondisi yang disebabkan paparan terhadap sesuatu selain vaksin


 

 

 

Tidak terdapat Informasi yang tersedia dan memenuhi syarat

 

Tidak dapat ditentukan (Unclassifiable)

 

Tuliskan informasi

Yang diperlukan

Untuk klasifikasi


*B1: Merupakan sinyal potensial dan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan investigasi

 

Simpulkan klasifikasi:

Dengan bukti yang tersedia, kami menyimpulkan bahwa klasifikasinya adalah


 

 

_ karena


Formulir 4. Kohort Bayi

 


Formulir 5.Pelaporan Imunisasi Dasar di Rumah Sakit/Unit Pelayanan Swasta

 


Formulir 6. Rekapan Pelaporan Imunisasi Dasar di Puskesmas

 

 

 


Formulir 7.Rekapan Pelaporan Imunisasi Dasar di Kabupaten/Kota

 

 

 


Formulir 8. Rekapan Pelaporan Imunisasi Dasar di Provinsi

 

 

 


Formulir 9. Kohor anak balita dan anak prasekolah

 

Puskesmas  :                                   Bulan : Kode            :                                  Tahun :

 

 

 

 

N o U r

ut

 

 

 

 

 

 

NIK

 

 

 

 

 

NAM A

 

 

 

 

 

Tgl La hir

 

 

 

 

 

L

/

P

 

 

 

 

 

Na ma Ibu

Al a m at RT

/R W, No Tel p.

Punya Buku KIA

Imun

isasi Lanju tan

 

 

PELAYANAN ANAK BALITA

DPT-HB-Hib

(18-24 bln)

Campak

(18-24bln)

Januari

Febuari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TAHUN..........

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pelayana    Me


 

 

n

 

Anak  ni

 

 

 

Tg

l & Pe ny eb ab Ke m ati an

 

K

et

 

Tahun …….

 

.

 

 

 

 

 

 

 

Tahun

 

…….

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pelayanan Anak Balita


Pra

Text Box: sambung
Januari
Februari Maret April
Mei Juni Juli
Agustus September Oktober Nopember Desember Januari Februari Maret
April Mei Juni Juli
Agustus
September Oktober Nopember Desember
66 bln
72 bln
78 bln
84 bln
Sekolah


ng gal


Formulir 10.      Rekapan    Pelaporan  Imunisasi  Lanjutan  BADUTA  Tingkat

Puskesmas

 

 

 


Formulir 11.  Rekapan   Pelaporan   Imunisasi   Lanjutan   BADUT Tingkat

Kabupaten/Kota

 

 

 


Formulir 12. Rekapan  Pelaporan Imunisasi Lanjutan BADUTA Tingkat Provinsi

 

 

 


Formulir 13. Pencatatan Imunisasi Vaksin Tetanus Difteri (Td) Wanita Usia

Subur(WUS)

 

 

 


Formulir 14. Kohort Ibu

 

 

 


Formulir 15. Pencatatan Imunisasi Lanjutan Pada Anak Usia Sekolah

 

 

 


Formulir 16. Format Rekapitulasi Pemakaian Vaksin dan Logistik

 

 

 


Formulir 17. Laporan Rantai Vaksin Tingkat Puskesmas

 


Formulir 18. Laporan Rantai Vaksin Tingkat Kabupaten/Kota

 

 

 


Formulir 19. Laporan Rantai Vaksin Tingkat Provinsi

 

 

 


Formulir 20. Laporan Penerimaan Vaksin Puskesmas

 

 

 


Formulir 21. Laporan Penerimaan Vaksin Kabupaten/Kota

 

 

 


Formulir 22. Laporan Penerimaan Vaksin Provinsi

 

 

 


Formulir 23. Laporan Permintaan Vaksin Provinsi ke Pusat

 

 

 


Formulir 24.Laporan Permintaan Vaksin Kabupaten/Kota ke Provinsi

 

 

 


Formulir 25. Permintaan Vaksin Provinsi ke Pusat

 


Formulir 26.Grafik Pencatatan Suhu Lemari Es

 

 

 


Formulir 27.Laporan KIPI Non Serius

 

Posting Komentar untuk "PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI"