MANAGEMENT OF FRACTURE OF MUSCULOSCELETAL TRAUMA
PENDAHULUAN
Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf. 1
Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-artikuler) yang sekaligus menimbulkan dislokasi sendi. Fraktur ini juga disebut fraktur dislokasi.1,2
Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dalam 1.000 per tahun. Insiden fraktur pada laki-laki adalah 11.67 dalam 1.000 per tahun, sedangkan pada perempuan
10,65 dalam 1.000 per tahun.2 Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan metodologi yang digunakan di area penelitian.2
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal
- rekognisi (mengenali),
- reduksi (mengembalikan),
- retaining (mempertahankan),
- rehabilitasi.1,2
Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung.3
Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi kembali dengan maksimal. Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi (imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme otot pada ekstremitas yang sakit sehingga terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali.1,2,4
Trauma Muskuloskeletal
Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan muskuloskeletal yang paling sering terjadi akibat suatu trauma adalah kontusio, strain, sprain, dislokasi dan subluksasi.1
GAMBARAN UMUM FRAKTUR
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma.
Terjadinya suatu
fraktur lengkap atau
tidak lengkap ditentukan oleh
kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta
jaringan lunak di sekitar
tulang.1
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai
fraktur terbuka, fraktur tertutup
dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup
adalah fraktur
dimana
kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk
dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi
seperti malunion, delayed
union, nounion dan infeksi
tulang 2
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang
terjadi. Tipe I: luka kecil kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tanda-tanda trauma yang
hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal,
oblik pendek atau komunitif. Tipe II: laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat
kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang
sedang
dan
jaringan. Tipe III: terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur
neovaskuler dengan kontaminasi yang
hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe lagi tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah, tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak, tulang tidak dapat di tutup jaringan lunak dan
tipe IIIC
: disertai cedera arteri yang memerlukan repair
segera. 3,4
Menurut Apley Solomon fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis patah tulang dan berdasarkan bentuk patah
tulang. Berdasarkan garis patah tulangnya: greenstick, yaitu fraktur dimana
satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok, transversal, yaitu
fraktur yang
memotong lurus pada tulang, spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi
tungkai/lengan tulang, obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut
melintasi tulang. Berdasarkan
bentuk patah tulangnya, komplet, yaitu garis fraktur menyilang
atau memotong
seluruh tulang
dan
fragmen tulang
biasanya tergeser,
inkomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada
sebelah sisi tulang, fraktur
kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain avulsi, yaitu fragmen tulang
tertarik oleh ligament, communited (segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian. simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh,
fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat yang
patah, fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya
yang normal, fraktur komplikata, yaitu tulang yang patah menusuk
kulit dan tulang
terlihat.5
Berdasarkan lokasinya fraktur dapat mengenai bagian
proksimal (plateau),
diaphyseal (shaft),
maupun
distal.1 Berdasarkan
proses osifikasinya, tulang panjang tediri dari diafisis (corpul/shaft) yang berasal dari pusat penulangan sekunder. Epifisis,
terletak di ujung
tulang panjang. Bagian dari diafisis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu bagian dari korpus yang
melebar. Fraktur dapat terjadi pada bagian-bagian tersebut. 1,3
DIAGNOSIS FRAKTUR
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan. 1,3,4,5
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.1,4,5
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni :
- inspeksi / look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak.
- Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi 4,5 Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. 4,5
- Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.4,5
Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation.
Perlindungan pada
vertebra dilakukan sampai
cedera
vertebra dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan
klinis
dan radiologis.4,5
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa 1,3 Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two: dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.,5
FASE PENYEMBUHAN FRAKTUR
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang secara cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi.4 Imobilisasi yang sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur fisiologis akan diikuti proses penyambungan.
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase.
- Fase hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
- Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur.
- Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
- Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal.
- Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun.4,5
Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien, banyaknya displacement fraktur,
jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan
darah pada fraktur, dan
kondisi medis yang menyertainya.2
PRINSIP PENANGANAN FRAKTUR
Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya, yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat, pemilihan pengobatan dengan tujuan tertentu, mengikuti “law of nature”, pengobatan yang realistis dan praktis, dan memperhatikan setiap pasien secara individu.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodeling.
Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan imobilisasi, (tidak menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips.1,2,4 Bidai dan gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal.1,2,4
Berapa lama patah tulang diperlukan untuk bersatu dan sampai terjadi konsolidasi? Tidak ada jawaban yang tepat mungkin karena faktor usia, konstitusi, suplai darah, jenis fraktur dan faktor lain mempengaruhi sepanjang waktu diambil.5
Prediksi yang mungkin adalah timetable Perkins yang sederhana. Fraktur spiral pada ekstremitas atas menyatu dalam 3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2; untuk ekstremitas bawah kalikan dengan 2 lagi; untuk fraktur transversal kalikan lagi oleh 2.5
Sebuah formula yang lebih sophisticated adalah sebagai berikut. Sebuah fraktur spiral pada ekstremitas atas memakan waktu 6-8 minggu untuk terjadinya konsolidasi. Ekstremitas bawah membutuhkan dua kali lebih lama. Tambahkan 25% jika bukan fraktur spiral atau jika melibatkan tulang paha. Patah tulang anak-anak, tentu saja, menyatu lebih cepat. 5 Angka-angka ini hanya panduan kasar, harus ada bukti klinis dan radiologis terkait konsolidasi sebelum tekanan penuh diperbolehkan tanpa splintage.5
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Oleh
karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin. 4,5
Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi, Reposisi dengan traksi, Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar, Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif. Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna, Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis.1,3,4
Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan dikemudian hari. Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur klavikula pada anak-anak, fraktur vertebrae dengan kompresi minimal. 1,3,4
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.3,4,5Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips.
Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.3,5
Reposisi
diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen
tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara
kokoh
dengan batangan logam di kulit
luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara
lain fraktur dengan rusaknya jaringan
lunak
yang berat
(termasuk
fraktur terbuka), dimana pemasangan
internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap
luka fraktur di sekitar
sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, asien dengan cedera multiple yang
berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala
fraktur dengan
infeksi. 3,5
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur. 1,4,5
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri). 3,5
Eksisi
fragmen fraktur dan
menggantinya
dengan prosthesis
dilakukan pada
fraktur kolum femur.
Caput femur
dibuang secara
operatif dan
diganti
dengan
prosthesis. Tindakan ini diakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur tidak
dapat
menyambung kembali.3,4,5
Penanganan Fraktur Tebuka
Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik infeki umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan.4 Empat hal penting yang perlu adalah antibiotik profilaksis, debridement urgent pada luka dan fraktur, stabillisasi fraktur, penutupan luka segera secara definitif. 3
RINGKASAN MANAGEMENT OF FRACTURE OF MUSCULOSCELETAL TRAUMA
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,tulang rawan, baik yang bersifat total
maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Gejala klasik fraktur adalah adanya
riwaayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi,
rotasi, diskrepansi, gangguan
fungsi muskuloskeletal akibat nyeri,
putusnya kontinuitas
tulang, dan gangguan neurovaskuler.
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan, dan rehabilitasi. Penanganan ortopedi adalah proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi, imobilisasi dengan fiksasi, reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi, reposisi dengan traksi, reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar, reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif, reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna, dan eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis.
Pada
fraktur terbuka harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik infeksi umum
maupun infeksi lokal
pada
tulang yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta: Salemba
Medika.
2011. p411-55
2. Bucholz RW, Heckman
JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures in
Adults, 6th Edition. USA:
Maryland
Composition. 2006. p80-331
3. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083
4. Salter RB. Textbook Disorders and Injuries of The Muskuloskeletal System Third
Edition. USA: Lippincott Williams and
Wilkins. 1999. p417-498
5. Nayagam S. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.
Apley’s
System
of
Orthopaedics and
Fractures
Ninth
Edition. London: Hodder
Education. 2010.
p687-732
6. Brunicardi
FC, Anderson DK,
Billiar
TR
Dunn DL, Huter JG,
Pollock RE.
Orthopaedics.
Dalam: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR Dunn DL, Huter
JG, Pollock RE. Schwartz's Principle
of Surgery. The McGraw-Hill Companies: USA. 2004.
7. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers, TA, Melby
SJ.
Dalam: Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers, TA, Melby SJ. Washington Manual of Surgery, The 5th Edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins. 2008. p578-597
Posting Komentar untuk "MANAGEMENT OF FRACTURE OF MUSCULOSCELETAL TRAUMA"