ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTISME

 

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

 KEBUTUHAN KHUSUS

“AUTISME’’

 

 

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN   KEBUTUHAN KHUSUS  “AUTISME’’
 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 


 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

        Puji syukur alhamdulilah kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat-nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

        Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga asuhan keperawatan ini bisa disusun dengan baik.

        Kami berharap semoga asuhan keperawatan ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun, terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya asuhan keperawatan selanjutnya yang lebih baik.

 

 

 

 

Makassar,  Oktober 2022

 

Penulis

             

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.Latar Belakang

 

Autis adalah gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai nampak sebelum anak berusia 3 tahun, bahkan pada autistic infantile gejalanya sudah ada sejak lahir. Prevalensi autis di dunia mencapai 10-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15-0,20%. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Center for Desease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat terjadi peningkatan dari tahun 2002-2008 yaitu sebesar 78%, tahun 2006-2008 yaitu sebesar 23% dan bulan Maret 2013 terjadi peningkatan menjadi 50%. Jumlah penyandang autis di Indonesia mencapai 150.000-200.000 anak dan jumlah penyandang autis laki-laki lebih banyak empat kali lebih besar dari pada anak perempuan (Kusumayanti, 2011).

Sampai saat ini penyebab autis belum diketahui secara pasti. Berdasarkan penelitian, diperkirakan penyebab munculnya gejala autis adalah bahan metabolit sebagai hasil proses metabolisme (asam organik) merupakan bahan yang dapat mengganggu fungsi otak dan keadaan tersebut biasanya didahului dengan gangguan pencernaan. Penelitian yang dilakukan Rahel, 2018 terdapat kandungan peptida yang tidak normal dalam urine penderita autisme. Sebagian besar dari peptida yang terkandung dalam urine tersebut terbentuk karena penderita mengonsumsi gluten atau kasein, atau keduanya. Bagian yang tidak dapat terpisah dari peptida, yang disebut beta-casomorphin dan gliadinomorphin, adalah zat yang mirip dengan opioid. Zat ini memiliki efek sama seperti heroin atau morfin dan akan menimbulkan gejala sama seperti pecandu heroin

Penelitian menurut Sofia, 2017 Makanan anak autis pada umumnya sama dengan makanan untuk anak normal lainnya, yaitu harus memenuhi gizi seimbang dan tetap harus memperhatikan aspek pemilihan makanan. Konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari karena penderita autis umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein. Gluten dan kasein dapat mempengaruhi sistem susunan syaraf pusat, dapat menimbulkan diare, dan dapat meningkatkan hiperaktivitas yang berpengaruh pada tingkah laku mereka.

Perilaku autis ada 2 jenis yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan perilaku deficit (berkekurangan). Perilaku ekesif adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) seperti menjerit, mengepak, menggigit, mencakar, memukul dan termasuk juga menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit adalah perilaku yang menimbulkan gangguan bicara ataukurangnya perilaku sosial seperti tertawa atau menangis tanpa sebab atau melamun (Pratiwi, 2019).

Menurut Mashabi dan Tajudin (2019), secara sederhana masalah yang sering terdapat pada penyandang autis adalah sebagai berikut yaitu kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti berbicara dan berbahasa, terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsangan melalui panca indra (pendengaran, pengelihatan, perabaan dan lain-lain), masalah gerak/ motorik,kelemahan kognitif, perilaku yang tidak biasa, masalah fisik. Jika anak autis terlambat atau tidak mendapat intervensi hingga dewasa maka gejala autisme bisa semakin parah bahkan tidak tertanggulangi. Salah satu jenis terapi anak autis adalah melalui makanan atau disebut terapi diet. Para ahli sepakat bahwa anak autis melakukan diet bebas kasein dan gluten atau Casein Free Gluten Free. Karena selain diyakini dapat memperbaiki gangguan pencernaan diet, ini juga bisa mengurangi gejala dan tingkah laku anak autis (Sofia, 2017).

 

B.Tujuan

 

a.      Tujuan Umum

             Tujuan penulisan secara umum adalah agar Mahasiswa dapat memahami cara penanganan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Autisme

 

b.Tujuan Khusus

1. Dapat memahami mengenai definisi, etiologi, manifestasi klinik, patofisiologi dan penatalaksanaan pada Anak Autisme

2.Dapat memahami asuhan keperawatan (Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi,) pada anak Autisme.

BAB II

PEMBAHASAN

 

I. Definisi

Autisme berasal dari kata yunani yaitu autos yang berarti “diri sendiri” dan “isme” yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism, pembalikkan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan  stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan didalam lingkungannya (Dawson dan Castelloe, 2007).

Autism adalah perkembangan kekacauan otak dan gangguan pervasive yang di tandai dengan terganggunya interaksi sosial, keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi social, gangguan dalam perasaan sensoris, serta tingkah laku yang berulang-ulang. Gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri: berbicara, tertawa, menangis dan marah - marah sendiri. Gejala autism dapat terdeteksi pada usia sebelum 3 tahun (Huzaemah, 2010).

Banyaknya jumlah autisme diatas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia (Winarno dan Agustina, 2008).

II. Epidemiologi

Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi, pada tahun 1988 terdapat sekitar 1 dari 10.000 anak terkena autisme. Pada tahun 2003, 1 dari 1000 anak, tahun 2007 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autisme baru (Winarno dan Agustina, 2008).

Banyaknya jumlah autisme diatas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia (Winarno dan Agustina, 2008).

 

III. Etiologi

      Beberapa tahun lalu, penyebab autisme masih merupakan suatu misteri, oleh karena itu banyak hipotesis yang berkembang mengenai penyebab autisme. Salah satu hipotesis yang kemudian mendapat tanggapan yang luas adalah teori “ibu yang dingin” menurut teori ini dikatakan bahwa anak masuk kedalam dunianya sendiri oleh karena merasa ditolak oleh ibu yang dingin. Teori ini yang banyak menentang karena banyak ibu yang bersifat hangat tetap mempunyai anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme. Teori tersebut tidak memberi gambaran secara pasti, sehingga hal ini mengakibatkan penanganan yang diberikan kurang tepat bahkan tidak jarang berlawanan dan berakibat kurang menguntungan bagi pekembangan individu autisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang kedokteran akhir-akhir ini telah menginformasikan individu dengan gangguan autisme mengalami kelainan neurobiologis pada susunan saraf pusat. Kelainan ini berupa pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada beberapa bagian otak. Gangguan pertumbuhan sel otak ini, terjadi selama kehamilan, terutama kemahilan muda dimana sel-sel otak sedang dibentuk. (individu)

      Pemeriksaan dengan alat khusus yang disebut Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak ditemukan adanya kerusakan yang khas di dalam otak pada daerah apa yang disebut dengan limbik sistem (pusat emosi). Pada umumnya individu autisme tidak dapat mengendalikan emosinya, sering agresif terhadap orang lain dan diri sendiri, atau sangat pasif seolah- olah tidak mempunyai emosi. Selain itu muncul pula perilaku yang berulang-ulang (stereotipik) dan hiperaktivitas. Kedua peilaku tersebut erat kaitannya dengan adanya gangguan pada daerah limbik sistem di otak. Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak yang menimbulkan gangguan autisme di antaranya adanya pertumbuhan jamur candida yang berlebihan di dalam usus. Akibat terlalu banyak jamur , maka sekresi enzim ke dalam usus berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tak dapat dicerna dengan sempurna. Beberapa protein jika tidak dicerna secara sempurna akan menjadi “racun” bagi tubuh. Protein biasanya suatu rantai yang terdiri dari 20 asam amino. Bila pencernaan baik, maka rantai tersebut seluruhnya dapat diputus dan ke-20 asam amino tersebut akan diserap oleh tubuh. Namun bila pencernaan kurang baik, maka masih ada beberapa asam amino yang rantainya belum terputus. Rangkaian yang terdiri dari beberapa asam amino disebut peptida. Oleh karena adanya kebocoran usus, maka peptida tersebut diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, menembus ke dalam otak. Di dalam otak peptida tersebut ditangkap oleh reseptor oploid, dan ia berfungsi seperti opium atau morfin. Melimpahnya zat-zat yang bekerja seperti opium ini ke dalam otak menyebabkan terganggunya kerja susunan saraf pusat. Yang terganggu biasanya seperti persepsi, kognisi  (kecerdasan), emosi, dan perilaku. Dimana gejalanya mirip dengan gejala yang ada pada individu autisme. Tentu masih terdapat dugaan-dugaan lain yang menimbulkan keruskan pada otak seperti adanya timbal ,  mercury atau zat beracun lainnya yang termakan bersama makanan yang dikonsumsi ibu hamil, yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan otak janin yang dikandungnya. Apapun yang melatarbelakangi penyebab gangguan pada individu autisme, yang jelas bukan karena ibu yang frigit (ibu yang tidak memberi kehangatan kasih sayang), seperti yang dianut dahulu, akan tetapi gangguan pada autisme terjadi erat kaitannya dengan gangguan pada otak.

 

 

Gejala-gejala autisme

Gejala autisme timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi dengan orang lain.

Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3 - 4 bulan. Bila ibu merangsang bayinya dengan menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan berespon dan bereaksi dengan ocehan serta gerakan. Makin lama bayi makin responsive terhadap rangsang dari luar seiring dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur 6-8 bulan ia sudah bisa berinteraksi dan memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak muncul atau sangat kurang pada bayi autistik. Ia bersikap acuh tidak acuh dan seakan-akan menolak interaksi dengan orang lain. Ia lebih suka bermain dengan “dirinya sendiri” atau dengan mainannya.

Perkembangan yang terganggu pada anak yang mengalami autisme:

1.      Gangguan komunikasi

Munculnya kualitas komunikasi yang tidak normal ditunjukkan dengan:

  Kemampuan wicara tidak berkembang atau mengalami keterlambatan

  Pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.

  Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan komunikasi dua arah dengan baik.

  Anak tidak imajinatif dalam hal permainan atau cenderung monoton.

  Bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik.

2.      Gangguan Interaksi Sosial

Timbulnya gangguan kualitas interaksi sosial yaitu:

  Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah yang tidak berekspresi.

  Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.

  Ketidakmampuan anak untuk berempati dan mencoba membaca emosi yang dimunculkan orang lain. 

3.      Gangguan Perilaku

Aktivitas, perilaku dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas.

Banyak penggulangan terus-menerus seperti:

  Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna.

  Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada sutu pola perilaku yang tidak normal.

  Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti menggoyang-goyang badan dan geleng-geleng kepala.

4.      Gangguan Sensoris

  Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.

  Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

  Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.

  Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

5.      Gangguan Pola Bermain

  Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.

  Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.

  Tidak bermain sesuai fungsi mainan.

  Menyenangi benda-benda yang berputar.

  Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.

6.      Gangguan Emosi

Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan.

  Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang.

  Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri, serta tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.

Gangguan perkembangan di atas tidak  semua muncul pada setiap anak autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita anak. Ada beberapa gejala yang harus  diwaspadai pada anak yang mengidap autisme. Gejala-gejala tersebut terlihat sejak bayi atau anak menurut usia sebagai berikut.

 


 

Tabel  2.1  Gejala-Gejala Autisme Menurut Usia Anak

Usia

Gejala-gejala

0-6 bulan

         Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)

         Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik

         Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi

         Tidak “babbling” (mengoceh)

         Tidak ditemukan senyum sosial di atas umur 3 bulan

         Perkembangan motorik kasar/halus sering tampak normal

6-12 bulan

         Sulit bila digendong

         Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan

1-2 tahun

         Kaku bila di gendong

         Tidak mau bermain permainan sederhana (“cilukba”)

         Tidak mengeluarkan kata

         Memperhatikan tangannya sendiri

         Terdapat keterlambatan dan perkembangan motorik kasar dan halus

         Mungkin tidak dapat menerima makanan cair

2-3 tahun

         Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain

         Melihat orang sebagai “benda”

         Kontak mata terbatas

         Tertarik pada benda tertentu

 

Tipe-tipe Autisme

Berdasarkan perilaku

Tipe-tipe autisme berdasarkan perilakunya dibedakan menjadi:

  1. Aloof adalah anak autis yang berusaha menarik diri dari kontak sosial dengan orang lain dan lebih suka menyendiri
  2. Passive adalah anak autis yang hanya menerima kontak sosial tapi tidak berusaha untuk menanggapinya
  3. Active but odd  adalah anak autis yang melakukan pendekatan tapi hanya bersifat satu sisi saja dan bersifat aneh

Berdasarkan tingkat kecerdasan

Tipe-tipe autisme berdasarkan tingkat kecerdasannya dibedakan menjadi:

  1. Low functioning (IQ rendah)

Anak autis tipe low functioning tidak dapat mengenal huruf dan membaca. Tuntutan yang paling penting adalah kemandirian yang bersifat basic life skills, misalnya cara menggunakan sabun, menggosok gigi dan sebagainya.

  1. High functioning (IQ tinggi)

Anak autis tipe high functioning memiliki komunikasi yang baik, pintar, sangat senang dan berminat pada satu bidang, tetapi kurang berinteraksi sosial (tidak bisa bersosialisasi).

Berdasarkan munculnya gangguan

Tipe-tipe autisme berdasarkan munculnya gangguan dibedakan menjadi:

  1. Autisme klasik adalah autisme yang disebabkan kerusakan saraf sejak lahir. Kerusakan saraf disebabkan oleh virus rubella (dalam kandungan) atau terkena logam berat (merkuri dan timbal).
  2. Autisme regresif adalah autisme  yang muncul saat anak berusia antara 12-24 bulan. Perkembangan anak sebelumnya relatif normal, namun setelah usia dua tahun kemampuan anak menjadi merosot.

 

 


 

Karakteristik autisme

Karakteristik  gangguan autisme pada sebagian individu sudah mulai muncul sejak bayi. Kciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan reaksi yang. Sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya.Ciri ini semakin jelas dengan bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari individu penyandang autisme, perkembangannya sudah terjadi secara “.relatif normal”. Pada saat bayi sudah menatap, mengoceh, dan cukup menunjukkan reaksi pada orang lain, tetapi kemudian pada suatu saat sebelum usia 3 tahun ia berhenti berkembang dan terjadi kemunduran. Ia mulai menolak tatap mata, berhenti mengoceh, dan tidak bereaksi terhadap orang lain.

Oleh karena itu kemudian diketahui bahwa seseorang baru dikatakan mengalami gangguan autisme , jika ia memiliki gangguan perkembangan dalam tiga aspek yaitu kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan Ciri-ciri tersebut harus sudah terlihat sebelum anak berumur 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek gangguan perkembangan  di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa autisme  sesungguhnya adalah sekumpulan gejala/ciri yang melatar-belakangi berbagai faktor yang sangat bervariasi, berkaitan satu sama lain dan unik karena tidak sama untuk masing-masing anak.

Dengan demikian, maka sering ditemukan ciri-ciri yang tumpang tindih dengan beberapa gangguan perkembangan lain. Gradasi manifestasi gangguan juga sangat lebar antara  yang berat hingga yang ringan. Di satu sisi ada individu yang memiliki semua gejala, dan di sisi lain  ada individu yang memiliki sedikit gejala. Adapun ciri gangguan pada autisme tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Gangguan dalam komunikasi

         terlambat bicara, tidak ada usaha untuk berkomunikasi dengan gerak dan mimik

         meracau dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain

         sering mengulang apa yang dikatakan orang lain

         meniru kalimat-kalimat iklan atau nyanyian tanpa mengerti

         bicara tidak dipakai untuk komunikasi

         bila kata-kata telah diucapkan, ia tidak mengerti artinya

         tidak memahami pembicaraab orang lain

         menarik tangan orang lain bila menginginkan sesuatu

2.  Gangguan dalam interaksi sosial

         menghindari atau menolak kontak mata

         tidak mau menengok bila dipanggil

         lebih asik main sendiri

         bila diajak main malah menjauh

         tidak dapat merasakan empati

3.  Gangguan dalam tingkah laku

         asyik main sendiri

         tidak acuh terhadap lingkungan 

         tidak mau diatur, semaunya

         menyakiti diri

         melamun, bengong dengan tatapan mata kosong

         kelekatan pada benda tertentu

         tingkah laku tidak terarah, mondar mandir tanpa tujuan, lari-lari, manjat-manjat,berputar-putar, melompat-lompat, mengepak-ngepak tangan, berteriak-teriak, berjalan berjinjit-jinjit.

4.  Gangguan dalam emosi

         rasa takut terhadap objek yang sebenarnya tidak menakutkan

         tertawa, menangis, marah-marah sendiri tanpa sebab

         tidak dapat mengendalikan emosi;  ngamuk bila tidak mendapatkan keinginannya

5.  Gangguan dalam sensoris atau penginderaan

         menjilat-jilat benda

         mencium benda-benda atau makanan

         menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu

         tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar

Karakteristik tersebut di atas sering juga disertai dengan adanya ketidak mampuan untuk bermain, seperti; tidak menggunakan mainan sesuai dengan fungsinya,kurang mampu bermain spontan dan imjinatif, tidak mampu meniru orang lain, dan sulit bermain pura-pura. Gangguan makan seperti; sangat pemilih dalam hal menu makanannya, cenderung ada maslah dalam pecernaan atau sangat terbatas asupannya, dan gangguan tidur seperti; sulit tidur atau terbangun tengah malam dan berbagai permasalahan lainnya. 

 

IV. Kriteria diagnostik

Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorder) menurut DSM IV (1995). Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai Autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasif meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic Disorder) dengan gangguan Rett (Rett’s Disorder), gangguan disintegatif masa anak (Childhood Disintegrative Disorder) dan gangguan Asperger (Asperger’s Disorder).  Gangguan autistik berbeda dengan gangguan Rett dalam rasio jenis kelamin penderita dan pola berkembangnya hambatan. Gangguan Rett hanya dijumpai pada wanita sementara gangguan Autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 3:1. Selanjutnya pada sindroma Rett dijumpai pola perkembangan gangguan yang disebabkan perlambatan pertumbuhan kepala  (head growth deceleration), hilangnya kemampuan ketrampilan tangan dan munculnya hambatan koordinasi gerak. Pada masa prasekolah, sama seperti penderita autistik, anak dengan gangguan Rett mengalami kesulitan dalam interaksi sosialnya. Selain itu gangguan Autistik berbeda dari Gangguan Disintegratif masa anak, khususnya dalam hal pola kemunduran perkembangan. Pada gangguan disintegratif, kemunduran (regresi) terjadi setelah perkembangan yang normal selama minimal 2 tahun sementara pada gangguan autistik abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran. Selanjutnya, gangguan  autistik dapat dibedakan dengan gangguan Asperger karena pada penderita asperger tidak terjadi keterlambatan bicara. Penderita Asperger sering juga disebut dengan istilah “High Function Autism” , selain karena kemampuan komunikasi mereka yang cukup normal juga disertai dengan kemampuan kognisi yang memadai.

 

Secara detail, menurut DSM IV ( 1995), kriteria gangguan autistik adalah sebagai berikut :

  1. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :

1.      Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini :

         Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah,  sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.

         Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.

         Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.

         Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2.      Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini:

         Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak  tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.

         Bila anak bisa bicara, maka  bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi

         Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulang-ulang.

         Kurang mampu bermain imajinatif  (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.

3.      Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini :

         Preokupasi terhadap satu atau  lebih kegiatan dengan fokus dan intensitas yang abnormal/ berlebihan.

         Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas

         Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.

         Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari obyek.

  1. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif.
  2. Bukan disebabkan oleh Sindroma  Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak

 

V. Penatalaksanaan gangguan autistik

Tujuan dari terapi pada autistik adalah untuk

·         Mengurangi masalah perilaku

·         Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penguasaan bahasa

·         Mampu bersosialisasi dan beradaptasi dilingkungan sosialnya

Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara merupakan komponen yang penting. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa masing-masing individu anak adalah unik, sehingga jangan beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu anak berarti metode tersebut akan berhasil pula untuk anak yang lain. Akan lebih bijaksana bila metodenyalah yang disesuaikan untuk si anak, bukan anak yang harus menyesuaikan diri untuk metode terapi tertentu.

Suatu tim kerja terpadu yang terdiri dari: tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater, dokter anak), psikolog, ahli terapi wicara, terapi okupasi, pekerja sosial, dan perawat, sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini, dan memberi penanganan yang sesuai dan tepat waktu. Semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat, akan dapat tercapai hasil yang optimal.

Terapi Perilaku

Beberapa jenis terapi perilaku yang banyak digunakan:

·         Metode ABA (Applied Behavioral Analysis): Terapi dilakukan dengan memberikan positive reinforcement bila anak menuruti perintah terapis. Disini anak diarahkan untuk mengubah perilaku yang tidak diinginkan dan menggantikannya dengan perilaku yang lebih bisa terima.

·         Metode Option: lebih child intered, dimana terapis selalu mengikuti perilaku anak. Yang direkankan disini adalah “acceptance” and “love”. Orang tua justru harus berusaha untuk masuk kedalam dunia anak tersebut.

·         Metode Floor time. Ini sejenis terapi bermain yang dilakukan pada anak.

Psikoterapi

Dengan adanya pengetahuan tentang faktor biologi pada autisme, psikodinamik psikoterapi yang dilakukan pada anak yang masih kecil termasuk disini terapi bermain yang tidak terstruktur, adalah tidak sesuai lagi. Psikoterapi individual, baik dengan atau tanpa obat, mungkin lebih sesuai pada mereka yang telah mempunyai fungsi lebih baik, saat usia mereka meningkat, mungkin timbul perasaan cemas dan depresi ketika mereka menyadari kelainan dan kesukaran dalam membina hubungan dengan orang.

Terapi obat

Pada sekelompok anak autistik, dengan gejala-gejala seperti temper tantrums, agregasivitas, melukai diri sendiri, hiperaktivitas dan stereotipi, pemberian obat-obattan yang sesuai dapat merupakan salah satu bagian dari program terapi yang komprehensif. Juga sering dipakai untuk mengobati kondisi yang terkait seperti depresi, cemas, perilaku obsesif-kompulsif, membantu mencegah self-injury dan perilaku lain yang menimbulkan masalah.

            Menempatkan anak ke level fungsional, dimana anak memperoleh manfaat dari terapi yang lain.

            Pemeriksaan yang lengkap dari kondisi fisik dan laboratorium harus dilakukan sebelum memulai pemberian obat setiap 6 bulan, dianjurkan untuk menilai lagi apakah obat masih diperlukan dalam terapi.

Obat-obatan yang digunakan a.l.:

·         Antipsikotik-memblok reseptor dopamin

·         SSRI-merupakan selective serotonin reuptake inhibitor

·         Methylphenidate-merupakan hiperaktivitas, inatensi

·         Naltrexsone-antagonis opioda

·         Clomipramine-antidepresan

·         Clonidine-menurunkan aktivitas noradenergik

 


 

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTISME

 

Contoh Kasus

Seorang anak laki-laki, usia 4 tahun 3 bulan, datang dengan keluhan belum dapat  berbicara  dan  aktivitas  berlebihan,  pasien Terdiagnosis dengan  autisme, dengan  tanda-tanda  keterlambatan  bicara,  mengucapkan  bahasa  “planet”, menghindar bertatap muka, perilaku kelebihan, mengamuk dan menutup telinga  bila  ada  suara  keras.  Komorbid  yang  ada  pada  pasien  ini  adanya gejala hiperaktivitas. 

Riwayat  perkembangan : tidak  ada  regresi  perkembangan  namun terdapat  keterlambatan  bicara  dan  personal  sosial. 

Hasil  penilaian  dengan Checklist  for  Autism  in  Toddlers (CHAT)  didapatkan kesimpulan resiko sedang gangguan  autisme.  Hasil  penilaian  dengan Childhood   Autism   Rating   Scale(CARS)  didapatkan  skor  36  (autisme  ringan).  Kesimpulan  hasil  pemeriksaan menunjukkan adanya gangguan perkembangan autisme.

 

Status gizi baik : berat badan 19 kg, tinggi badan 111 cm (BB//U 0< Z < 2; TB//U  0< Z <2 ;BB//TB 0< Z <1 (chart WHO-NCHS).

Hasil pemeriksaan fisik normosefal, tidak ditemukanwajah  dismorfik,  pemeriksaan  fisik  lain  dalam  batas  normal.  Status  neurologis dalam batas normal. Hasil tes pendengaran : anak tidak mau merespon terhadap suara panggilan nama namun mau melihat sumber suara di televisi. Riwayat  kehamilan  baik,  riwayat  persalinan kurang  baik, riwayat pasca persalinan baik. Riwayat imunisasi baik. Riwayat pemberian makan kurang  baik,  sejak  lahir  pasien  mendapat  ASI  ditambah  dengan  susu  formula hingga usia 6 bulan, setelah usia 6 bulan diberikan bubur susu.Anak  merupakan  anak  pertama  dari  pasangan  42  tahun  dan  33  tahun, bukan  dari  perkawinan  keluarga.

 


 

Klasifikasi data

 

Data Subyektif

Data Obyektif

·         Keluarga mengatakan anak belum dapat berbicara dan aktifitas berlebih

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

·         Klien nampak keterlambatan bicara

·         mengucapkan Bahasa “planet”

·         Menghindar bertatap muka

·         Perilaku berlebih

·         Mengamuk

·         Menutup telinga bila ada suara keras

·         Hasil CHAT resiko sedang gangguan Autisme

·         Hasil CARS skor 36 (autism sedang)

·         BB 19 kg

·         Tinggi badan 111 cm

·         pemeriksaan fisik tampak normosefal

·         Status  neurologis dalam batas normal

·         Tes pendengaran: anak tampak tidak mau merespon terhadap suara panggilan nama tapi melihat sumber suara di TV

·         Ibu memiliki riwayat kehamilan baik

·         Ibu memiliki riwayat persalinan kurang baik

·         Imunisasi lengkap (baik)

·         Memiliki riwayat pemberian makan kurang baik

·         Klien mendapat ASI dan Susu formula hingga 6 bulan

 

 


 

Patoflow Autisme


 

Analisa Data

 

Data

Etiologi

masalah

 

Data Subyektif

·         Keluarga mengatakan anak belum dapat berbicara dan aktifitas berlebih

·         Keluarga mengatakan klien mengucapkan Bahasa “planet”

 

Data Obyektif

 

·         Hasil CHAT resiko sedang gangguan Autisme

·         Hasil CARS skor 36 (autism sedang)

 

 

 

 

 

Autis

 

 

 

 


Gangguan komunikasi

 

 

 


Keterlambatan dalam berbicara

 

 

 

 


Gangguan komunikasi verbal

Gangguan komunikasi verbal

 

Data Subyektif

·         Keluarga mengatakan anak belum dapat berbicara dan aktifitas berlebih

 

Data Obyektif

 

·         Menghindar bertatap muka

·         Menutup telinga bila ada suara

·         Tes pendengaran: anak tampak tidak mau merespon terhadap suara panggilan nama tapi melihat sumber suara di TV

·         Hasil CHAT resiko sedang gangguan Autisme

·         Hasil CARS skor 36 (autism sedang)

 

 

 

 

 

Autis

 

 

 

 


Gangguan perilaku

 

 

 


Hiperaktif

 

 

 

 


Agresif

Gangguan interaksi social

 

Diagnosa Keperawatan

 

1.      Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan neuromuskuler (D.0119) d.d anak belum mampu berbicara dan menggunakan Bahasa “planet”

2.      Gangguan interaksi social b.d hambatan perkembangan (D.0118) d.d acuh dan mengabaikan orang lain


 

Intervensi keperawatan

 

SDKI

SLKI

SIKI

Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan neuromuskuler (D.0119) d.d anak belum mampu berbicara dan menggunakan Bahasa “planet”

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka komunikasi verbal meningkat L.13118, dengan kriteria hasil:

 

·         Kemampuan berbicara meningkat

·         Kesesuaian ekspresi wajah/tubuh meningkat

 

Promosi Komunikasi: Defisit Bicara (I.13492)

 

Observasi

·         Monitor kecepatan, tekanan, kuantitias, volume, dan diksi bicara

·         Monitor progress kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berkaitan dengan bicara (mis: memori, pendengaran, dan Bahasa)

·         Monitor frustasi, marah, depresi, atau hal lain yang mengganggu bicara

·         Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk komunikasi

Terapeutik

·         Gunakan metode komunikasi alternatif (mis: menulis, mata berkedip, papan komunikasi dengan gambar dan huruf, isyarat tangan, dan komputer)

·         Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan (mis: berdiri di depan pasien, dengarkan dengan seksama, tunjukkan satu gagasan atau pemikiran sekaligus,  bicaralah dengan perlahan sambal menghindari teriakan, gunakan komunikasi tertulis, atau meminta bantuan keluarga untuk memahami ucapan pasien)

·         Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan

·         Ulangi apa yang disampaikan pasien

·         Berikan dukungan psikologis

·         Gunakan juru bicara, jika perlu

Edukasi

·         Anjurkan berbicara perlahan

·         Ajarkan pasien dan keluarga proses kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berhubungan dengan kemampuan bicara

Kolaborasi

·         Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis

 

Gangguan interaksi social b.d hambatan perkembangan (D.0118) d.d acuh dan mengabaikan orang lain

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka interaksi sosial meningkat (L.13115) , dengan kriteria hasil:

 

·         Perasaan nyaman dengan situasi sosial meningkat

·         Perasaan mudah menerima atau mengkomunikasikan perasaan meningkat

·         Responsif pada orang lain meningkat

·         Minat melakukan kontak emosi meningkat

·         Minat melakukan kontak fisik meningkat

Modifikasi Perilaku Keterampilan Sosial (I.13484)

 

Observasi

·         Identifikasi penyebab kurangnya keterampilan sosial

·         Identifikasi focus pelatihan keterampilan sosial

Terapeutik

·         Motivasi untuk berlatih keterampilan sosial

·         Beri umpan balik positif (mis: pujian atau penghargaan) terhadap kemampuan sosialisasi

·         Libatkan keluarga selama Latihan keterampilan sosial, jika perlu

Edukasi

·         Jelaskan tujuan melatih keterampilan sosial

·         Jelaskan respons dan konsekuensi keterampilan sosial

·         Anjurkan mengungkapkan perasaan akibat masalah yang dialami

·         Anjurkan mengevaluasi pencapaian setiap interaksi

·         Edukasi keluarga untuk dukungan keterampilan sosial

·         Latih keterampilan sosial secara bertahap

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.        American Psychiatric Association Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text revision. Washington, DC, American Psychiatric Association, 2000.

 

2.        Cvejib, Mental Handicap-Mental illness (Dual Diagnosis). Dalam simposium Masalah Perilaku Pada Anak, Penanggulangan, dan Dampaknya terhadap Masa Depan. Jakarta 22 Oktober 1996.

 

3.        Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III (PPDGJ). 1993

 

4.        PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.

 

5.        PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

 

6.        PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

 

Posting Komentar untuk "ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTISME"